Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia meluncurkan produk asuransi usaha budidaya udang untuk pembudiya udang skala kecil, semiintensif, dan intensif. Tujuannya, memberikan perlindungan atas risiko kegagalan usaha budidaya.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia meluncurkan produk asuransi usaha budidaya udang atau AUBU komersial. Skema asuransi mandiri yang ditujukan bagi pembudidaya udang berskala kecil, semiintensif, dan intensif itu untuk memberikan perlindungan atas risiko kegagalan usaha budidaya.
Tahun ini, pemerintah menargetkan 50-100 tambak udang diasuransikan secara mandiri setiap bulan. Proyek percontohan AUBU antara lain di Pemalang, Purworejo, dan Lampung. Pembudidaya udang akan mengeluarkan modal kerja kurang lebih 20-30 persen, termasuk membayar seluruh premi tanpa subsidi.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto di Jakarta, Jumat (2/8/2019), mengemukakan, asuransi usaha budidaya udang itu diharapkan memberikan jaminan usaha bagi pembudidaya sehingga akses pembiayaan diharapkan lebih mudah untuk pengembangan usaha.
Langkah pembudidaya menerapkan asuransi usaha budidaya ikan itu sekaligus diharapkan meningkatkan minat swasta untuk bersinergi dengan pembudidaya melalui dukungan teknologi, digitalisasi budidaya, serta permodalan. Pemerintah akan mendorong akses pembiayaan usaha dengan berbagai pihak, baik perbankan maupun perusahaan teknologi finansial (tekfin).
”Ke depan, pembudidaya tidak bergantung kepada bantuan pemerintah, mampu bangkit dengan cepat jika terjadi musibah, serta memiliki jiwa wirausaha sehingga kesejahteraannya dapat meningkat,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah menggulirkan skema asuransi perikanan bagi pembudidaya ikan kecil (APPIK) sejak 2017. Tahun 2019, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 3 miliar untuk bantuan premi APPIK. Komoditas budidaya yang mendapat bantuan asuransi, yaitu udang, bandeng, nila, patin dan lele. Hingga akhir tahun, jumlah total lahan budidaya skala kecil yang mendapatkan APPIK ditargetkan mencapai 20.000 hektar (ha).
Sepanjang 2017-2018, program APPIK menjangkau 8.918 pembudidaya ikan yang tersebar di 22 provinsi dengan total luas lahan terlindungi 13.520,67 ha. Per Juli 2019, sebanyak 382 peserta asuransi telah melakukan klaim asuransi dengan nilai Rp 2.004.186.500 untuk lahan di 26 kabupaten/kota. Klaim asuransi antara lain untuk kegagalan produksi akibat wabah virus udang, dan banjir.
Turun harga
Sementara itu, harga sejumlah komoditas perikanan mengalami penurunan. Badan Pusat Statistik merilis, nilai tukar pembudidaya ikan (NTPi) pada Juli 2019 turun 0,45 jika dibandingkan pada Juni 2019. Penurunan nilai tukar pembudidaya ikan itu dipicu oleh turunnya harga sejumlah komoditas.
Di Kalimantan Selatan, harga patin di pembudidaya Rp 14.500 per kilogram pada bulan Juli, atau turun dari bulan sebelumnya Rp 16.000 per kg.
Ketua Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia Imza Hermawan mengemukakan, saat ini pasokan ikan patin cenderung normal, tetapi terjadi penurunan harga. Harga itu diduga akibat berkurangnya konsumsi masyarakat terhadap komoditas patin. Namun, pihaknya memprediksi penurunan konsumsi ikan hanya berlangsung sementara.
Sementara itu, Slamet mengemukakan, pihaknya terus mendorong konsumsi ikan, diversifikasi komoditas, dan perluasan pasar, karena di beberapa tempat permintaan akan ikan cenderung meningkat.