Polisi dan Psikologi
Baru-baru ini terjadi peristiwa fatal. Seorang polisi menembak polisi lain hingga tewas karena rekan kerjanya menolak permintaan dia agar keponakannya yang ditangkap akibat terlibat tawuran dan membawa celurit dapat dibebaskan.
Berita itu dimuat Kompas, Sabtu, 27 Juli 2019, ”Maksud Baik Dibalas 7 Peluru”. Di waktu-waktu sebelumnya ada pula berita mengenai kasus-kasus serupa, seperti polisi menembak sesama rekan kerja, polisi menembak istri atau teman intim hingga tewas, atau polisi yang bunuh diri.
Kita dapat membayangkan ancaman atau bahaya fisik yang dihadapi polisi, misalnya harus membekuk perampok, berminggu-minggu di udara panas menghadapi perusuh, atau menjadi sasaran serangan teroris. Tetapi, masyarakat mungkin kurang menyadari atau menyepelekan adanya ancaman psikis dari kerja polisi, yang dapat meningkatkan risiko gangguan psikologis.
Risiko psikis pekerjaan
Bayangkan jam kerja yang tak terbatas, setiap saat harus bertemu dengan pelaku pelanggaran hukum, melihat berbagai bentuk kekerasan dan perilaku buruk dari anggota masyarakat, bertemu dengan korban kejahatan yang menjadi kacau dan tak berdaya. Belum lagi dilema moral berhadapan dengan iming-iming uang untuk membebaskan pengedar narkoba atau tersangka pemerkosaan.
Satu lagi yang cukup viral saat ini: ada beberapa rekaman video tentang warga yang melanggar aturan lalu lintas dan bersikap sangat menghina dan melecehkan polisi. Sikap warga yang demikian sesungguhnya sudah di luar batas kewajaran untuk dapat dihadapi dengan sikap tetap tenang, santun, dan wajah yang terus tersenyum.
Beberapa penelitian menemukan bahwa karakteristik kerja polisi dengan stres kerja yang dapat sangat tinggi lebih berisiko meningkatkan tekanan psikis daripada jenis-jenis pekerjaan lain. Sangat mungkin muncul kelelahan, frustrasi, kebingungan, rasa marah, sekaligus rasa tak berdaya. Kesulitan yang dihadapi dapat menjadi pencetus hadirnya gangguan stres pasca-trauma, dorongan untuk bunuh diri, melakukan agresi, atau munculnya delusi dan halusinasi.
Papazoglou dan McQuerrey Tuttle (2018) melakukan tinjauan tentang bagaimana organisasi kepolisian perlu berbenah merespons tantangan kerja yang dihadapi anggota-anggotanya. Tantangan kerja polisi bersifat majemuk. Di satu sisi dituntut siap menyelesaikan situasi sarat kekerasan; jika perlu menggunakan kekuatan fisik untuk mencegah bahaya lebih lanjut bagi masyarakat. Di sisi lain juga harus mampu menjadi pelindung yang bersikap lembut, penuh empati, dan kepedulian.
Papazoglou dan McQuerrey Tuttle (2018) juga menemukan berbagai penelitian yang melaporkan mengenai efek positif dari bentuk-bentuk penanganan psikologis pada polisi. Sayang bahwa karakteristik budaya maskulin dari kepolisian menyebabkan anggota enggan untuk meminta pertolongan karena khawatir dinilai lemah atau memperoleh diagnosis yang dapat merugikan perkembangan kariernya.
Beban psikologis diatasi dengan cara-cara lain yang menghadirkan masalah baru di tempat kerja ataupun dalam rumah tangga. Misalnya, dengan lari ke narkoba, melampiaskan kemarahan melalui agresi kepada pihak yang lebih lemah, mengisolasi diri.
Akibatnya, anggota kepolisian dapat terjebak dalam lingkaran setan karena stres dan trauma di tempat kerja diatasi secara mala-adaptif. Hal ini menyebabkan makin menurunnya kondisi kesehatan mental, yang berdampak buruk terhadap kinerja, demikian seterusnya.
Intervensi khusus
Tampaknya diperlukan kerja sama lebih erat antara institusi kepolisian dan institusi psikologi. Psikologi khususnya psikologi klinis perlu memahami dengan baik budaya di lingkungan kepolisian dan karakteristik kerjanya agar mengerti karakteristik yang kompleks dari stres dan trauma yang dihadapi polisi. Dengan demikian, dapat dikembangkan praktik-praktik intervensi yang lebih tepat dan terukur efektivitasnya.
Perlu diperhatikan situasi khusus ketika polisi sangat mungkin menghadapi persoalan moral, kelelahan batin, kehilangan, dan berduka yang berbeda dari lingkungan kerja lain. Kepedulian pada korban kriminal dan terus-menerus berhadapan dengan korban pelanggaran hukum dapat menghadirkan kelelahan. Tanpa disadari, mungkin ada trauma sekunder dan perasaan tidak berdaya atau skeptis.
Persoalan moral juga menjadi hal yang cukup khusus. Selain dilema moral yang telah disebutkan sebelumnya, banyak situasi moral lain yang mungkin dihadapi. Misalnya, bagaimana jika kita yakin bahwa seseorang memang pelaku kejahatan serius, sementara aturan hukum menyatakan ia harus dibebaskan karena bukti fisik belum cukup terkumpul, sementara waktu penahanan telah habis? Bagaimana pula, misalnya, melihat atasan atau rekan kerja menyalahgunakan kekuasaan?
Intervensi perlu melibatkan anggota keluarga atau orang-orang terdekat dari polisi, mengingat persoalan yang dialami polisi dapat berimbas pada keluarganya. Dengan demikian, diperoleh informasi lebih lengkap mengenai polisi yang sedang dalam intervensi sambil penguatan dilaksanakan kepada keluarga atau orang dekat. Keluarga memperoleh edukasi mengenai kompleksitas serta stres kerja polisi dan keterampilan untuk beradaptasi.
Bentuk-bentuk kelompok dukungan akan banyak membantu keluarga memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru, misalnya bagaimana mengidentifikasi masalah, mengembangkan pola komunikasi lebih efektif, memberikan dukungan, dan menguatkan diri sendiri.
Di negara-negara yang telah baik sistem dukungannya, ada yang disebut ”police peer-support” dengan berbagai program. Kepolisian menyelenggarakan kelompok dukungan bagi anggotanya dan petugas-petugas yang melaksanakan kelompok dukungan ini dapat bekerja sama dengan praktisi kesehatan mental.
Banyak hal dapat dilaksanakan oleh praktisi kesehatan mental, antara lain memberikan materi tentang aspek psikologi dari kompleksitas kerja kepolisian, memberikan edukasi mengenai apa yang masih dianggap ”masalah normal” versus ”gangguan psikologi serius”, memberikan pelatihan berbagai keterampilan untuk menyesuaikan diri dengan lebih optimal menghadapi tekanan kerja, serta memfasilitasi pola relasi yang lebih baik dalam keluarga.