PUISI
Goenawan Mohamad
Selalu Billie Holiday
Selalu Billie Holiday: syair terakhir
dari pintu itu.
Suara hitam.
Kafe kita makin terpisah, kataku,
di tikungan ke utara.
Meja-meja diisolir malam,
katamu,
di tikungan ke utara.
Tapi pelancong di sudut itu mengerti,
Ia tersenyum.
We lived our little drama.
We kissed in a field of white
And stars fell on Alabama last night.
Aku menyukai bunyi nafas, katanya,
yang teriris.
Kadang-kadang kita heran:
tamu itu selalu datang, tapi
tak mencapai pelabuhan.
Aku tak pergi lagi, katanya.
Umurku 80, aku
tak pergi lagi.
Tengah malam
kota dan kapal-kapal
pelan-pelan
berpelukan.
Tuan tak akan tidur di dalamnya, bukan? tanyaku.
Aku tak akan tidur di dalamnya, jawab tamu itu.
… Willow weep for me
Willow weep for me
Bend your branches down along the ground
and cover me
Tapi kita tahu esok
ia akan datang lagi.
Bandar makin kosong
seperti cangkang
Dan Billie Holiday
menyanyi
di pintu itu.
Black bodies swinging in the southern breeze
Strange fruit hanging from the poplar trees
2019
Ia Ditemukan Mati
Ia ditemukan mati, dengan gelas kusam,
tiga jam setelah pesta lajang.
Mempelai tak akan datang, kata kawan-kawannya.
Jangan menangis.
Di pemakaman, sang pengantin mengenakan
hijab gelap dan gelang kaki
yang berbunyi.
Dan ia tak menangis.
Hari terik.
Payung-payung dibuka.
Kacamata-kacamata dipasang.
Dan matahari pergi.
Ajal, adik, adalah peralihan
yang lugas
dan sederhana.
Kenangan kini album
pada rak
yang kadang ditandai
(atau tak ditandai)
gambar hati,
huruf merah,
huruf lama…
Tiga hari kemudian,
di sebuah kedai kembang, sang pengantin
memesan krans
dengan melur
dan soka,
dan kenanga.
Dan kata-kata
yang tak untuk siapa-siapa.
Tapi ia menangis.
2019
Seorang Gadis Pedikur
Seorang gadis pedikur
membersihkan kuku tua itu
dari daki hutan.
Ia meletakkan baskom air
di mana ia simpan tiap wajah
yang tak ia kenal.
Celupkan kakimu di sini, katanya
kepada si empunya kaki.
Tidurlah, tapi
jangan mengigau.
Tapi semenit kemudian ia dengar percakapan
tentang pohon yang tak meninggalkan humus.
Jangan mengigau, katanya lagi.
Lelaki dengan kuku tua itu membuka matanya,
Kau tahu aku di kota mana? tanyanya.
Gadis pedikur itu menyebut sebuah nama
yang ia kadang lihat, vertikal
pada peta.
Ia sendiri pernah berjalan
jauh
dari umbut hutan
yang tak menenteramkan.
Kini lelaki itu dengan kuku tua itu berkata,
Terima kasih. Bersihkan kakiku.
Aku tak ingin
ingatanku.
Gadis itu menatap wajah
di baskom itu.
2019
Di Rumah Ini
Di rumah ini potret kita
berdiri
seperti ajal.
Di tembok
yang diperpucat
matahari.
Esok akan kau cium aku dari lumut,
dari retak.
Pelan,
putih,
rata.
Seperti waktu.
Tapi tiap kali
kita bersihkan pagi
dengan pagi
alur rutin
kematian kita.
Tiap kali
lupa berulang.
Lupa
berulang.
2019
Di Peron
Sudah lama ia siapkan kopor
sebelum Tugu.
Dua jam kemudian sinyal jatuh
dan pagi mendesak.
Peluit, seperti pekik burung,
tak memulai apa-apa
selain sebuah garis:
arah, jarak,
tempat jauh –
Sejenak ia merasa seperti sepatu tua
yang dikekalkan Van Gogh:
migrasi ada
dan tak ada.
Dan ia meraba kopornya –
Ia meraba kopornya
sebelum gerbong pertama.
2019
Goenawan Mohamad baru-baru ini meluncurkan kumpulan esainya tentang seni rupa, Pigura Tanpa Penjara (2019). Buku-buku puisinya antara lain Don Quixote (2011) dan Fragmen: Sajak-sajak Baru (2016).