logo Kompas.id
UtamaSelat Sunda Rawan Tsunami
Iklan

Selat Sunda Rawan Tsunami

Berdasarkan kondisi geologi dan tektoniknya, wilayah Selat Sunda secara umum memiliki beberapa potensi kerawanan terkait bencana kebumian. Secara tektonik, wilayah Selat Sunda merupakan kawasan seismik aktif dan kompleks.

Oleh
Daryono
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/riu7D0AbCl7H3EwVdx9ZcuDxVKU=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2F20190506_ENGLISH-SERIAL-TEMATIS-BENCANA_C_web_1557145851.jpg
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pemukiman penduduk Desa Sumber Jaya, Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten, masih porak poranda saat dipantau melalui helikopter bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Willem Rampangilei, Rabu (26/12/2018), pasca diterjang tsunami pada Sabtu (22/12/2018). Pemukiman penduduk di bibir pantai ini layak direlokasi ke tempat yang lebih aman karena tingginya ancaman bencana tsunami.

Catatan Redaksi: Opini ini terbit di halaman 6 harian Kompas edisi 4 Januari 2019 dengan judul ”Selat Sunda Rawan Tsunami.

Berdasarkan kondisi geologi dan tektoniknya, wilayah Selat Sunda secara umum memiliki beberapa potensi kerawanan terkait bencana kebumian. Secara tektonik, wilayah Selat Sunda merupakan kawasan seismik aktif dan kompleks.

Di zona ini terdapat beberapa unsur tektonik pembangkit gempa bumi, seperti zona tumbukan lempeng (plate collision), zona gempa di luar subduksi (outer rise), dan sebaran sesar aktif (active fault).

Zona tumbukan lempeng yang populer disebut megathrust merupakan bidang kontak antarlempeng dan menjadi kawasan paling berpeluang terjadi gempa kuat. Adanya zona sepi gempa kuat di Selat Sunda seolah memberi pesan adanya proses akumulasi energi terkait potensi gempa yang mungkin terjadi.

Keberadaan sesar aktif di Selat Sunda cukup banyak. Ada beberapa sistem sesar di wilayah ini, seperti terusan Sesar Mentawai, terusan Sesar Semangko, Sesar Ujung Kulon, dan sesar aktif lainnya yang belum teridentifikasi dan terpetakan.

https://cdn-assetd.kompas.id/c3DmioYrKGxyVZKvbnnlx6JJYnA=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2F20190207_170030_1549542218.jpg
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS

Pengendara sepeda motor lewat di depan rumah yang rusak karena tsunami di Desa Bulakan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (7/2/2019).

Tingginya tingkat aktivitas gempa di Selat Sunda tecermin dari rapatnya sebaran episentrum gempa di Selat Sunda. Jika gempa kuat terjadi di laut tentu dapat berpotensi tsunami.

Keberadaan Gunung Anak Krakatau yang aktif di Selat Sunda memiliki potensi erupsi seperti yang sedang berlangsung saat ini. Jika proses erupsi menjadikan material letusan terakumulasi atau terjadi pembongkaran badan gunung yang kemudian runtuh ke laut, maka dapat memicu tsunami seperti megatsunami Selat Sunda akibat erupsi katastropik pada 27 Agustus 1883 yang menewaskan 36.417 jiwa manusia.

Kondisi geologi dan tektonik Selat Sunda masih termasuk labil, adanya struktur geologi graben yang terbentuk akibat adanya zona peregangan (stretching) di Selat Sunda dapat memicu gempa tektonik dan longsoran bawah laut yang juga dapat memicu tsunami.

https://cdn-assetd.kompas.id/8zVXc9Cu-ou6V0NOG8x9fOKfwlk=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2F20190206_PARIWISATA-BANTEN_C_web_1549435306.jpg
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Resor dan hotel di pesisir pantai di kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten, Sabtu (2/2/2019). Tsunami Selat Sunda yang melanda pesisir Serang hingga Pandeglang, Banten pada 22 Desember tahun lalu membuat sektor pariwisata sepi, kini kawasan wisata pantai mulai bangkit perlahan. Tsunami di pesisir Banten menunjukkan pentingnya mengurangi risiko bencana di area wisata. Kepentingan ekonomi mesti diimbangi mitigasi bencana.

Rentan tsunami

Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami, di wilayah Selat Sunda memang sering terjadi tsunami. Menurut Yudhicara dan Budiono (2008) tsunami Selat Sunda tahun 1722, 1852, dan 1958 disebabkan oleh gempa bumi. Peristiwa tsunami tahun 416, 1883, dan 1928 berkaitan dengan erupsi Krakatau. Adapun tsunami tahun 1851, 1883, dan 1889 dipicu aktivitas longsoran.

Mungkin kita tidak akan tahu banyak mengenai catatan kuno tsunami Selat Sunda jika Soloviev dan Go (1974) tidak mengompilasinya dalam tulisan yang berjudul ”A Catalogue of Tsunamis on the Western Shore of the Pacific Ocean”. Dalam katalog ini disebutkan bahwa tsunami Selat Sunda pernah dibangkitkan oleh erupsi gunung Krakatau kuno pada tahun 416 yang tertulis di dalam kitab Pustaka Raja.

Pasca-erupsi tahun 1883, Krakatau kembali erupsi tahun 1884 yang menyebabkan tsunami. Katalog Soloviev juga mengungkap gempa bumi Selat Sunda tahun 1722, 1757, dan 1852. Catatan mengenai adanya dugaan tsunami lokal juga dilaporkan terjadi pada 1851, 1883, dan 1889.

https://cdn-assetd.kompas.id/hWtqsEl_HMxqbL3lqXVtvkOLfjM=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2F20190119_FOTO-PILIHAN_G_web_1547892012.jpg
KOMPAS/AHMAD ARIF

Kawah Gunung Anak Krakatau kembali muncul di atas daratan, Minggu (13/1/2019). Ini menandai evolusi baru gunung ini setelah erupsi dan longsornya sebagian tubuhnya sehingga memicu tsunami pada 22 Desember 2018. Anak Krakatau memulai kembali siklus membangun tubuh gunungnya.

Iklan

Katalog ini juga mencatat tsunami Selat Sunda setelah tahun 1900-an, seperti tsunami Selat Sunda pada 26 Maret 1928 akibat erupsi Krakatau. Tsunami juga terjadi pada 22 April 1958 yang dibangkitkan peristiwa gempa bumi kuat yang mengguncang Selat Sunda dan sekitarnya.

Berdasarkan catatan di atas tampak bahwa Selat Sunda sudah mengalami peristiwa tsunami lebih dari sembilan kali. Catatan sejarah ini kiranya cukup menjadi bukti bahwa Selat Sunda memang kawasan rawan tsunami.

Hari Sabtu malam, 22 Desember 2018, sekira pukul 21.30 WIB, kita dikejutkan oleh adanya peristiwa ”tsunami senyap” yang menerjang pantai-pantai di Banten dan Lampung pasca-erupsi Gunung Anak Krakatau pada pukul 21.03 WIB.

https://cdn-assetd.kompas.id/r1nncVUT9DO6ph6QdZPhQTPlDqw=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2F20190106_ENGLISH-KRAKATAU_A_web_1546778761.jpg
KOMPAS/RIZA FATHONI

Erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda terpantau dari udara yang diambil dari pesawat Cessna 208B Grand Caravan milik maskapai Susi Air, Minggu (23/12/2018).

Dampak tsunami ini dilaporkan menimbulkan korban jiwa cukup banyak dan merusak banyak bangunan rumah. Bencana tsunami Selat Sunda ini menambah daftar panjang peristiwa tsunami Selat Sunda.

Hasil monitoring muka air laut menunjukkan bahwa tsunami terpantau dengan baik oleh beberapa alat pendeteksi tsunami (tide gauge) di sejumlah tempat. Tide gauge Pantai Jambu mencatat tsunami pukul 21.27 WIB (0,9 meter). Tide gauge Pelabuhan Ciwandan mencatat tsunami pukul 21.33 WIB (0,35 meter). Sementara tide gauge Kota Agung mencatat tsunami pukul 21.35 WIB (0,36 meter). Adapun tide gauge Pelabuhan Panjang Kota Bandar Lampung mencatat tsunami pukul 21.53 WIB (0,28 meter).

Disebut sebagai ”tsunami senyap” karena BMKG tidak mencatat adanya gempa kuat sebelum terjadinya tsunami. Masyarakat Banten dan Lampung pun saat itu juga tidak merasakan adanya guncangan gempa sehingga tsunami ini dipastikan tidak disebabkan oleh gempa bumi tektonik.

Meski demikian, pada sensor gempa BMKG di Cigeulis (CGJI) tampak ada catatan seismik sekitar pukul 20.56 WIB. Tampak jelas kalau dalam analisisnya menggunakan low pass filter, maka aktivitas seismik ini tipikal longsoran. Setelah dihitung magnitudonya setara dengan M 3,4 dengan episentrum di Gunung Anak Krakatau. Berdasarkan analisis ini, dugaan kuat bahwa pemicu tsunami adalah longsoran yang bersumber dari Gunung Anak Krakatau.

https://cdn-assetd.kompas.id/fPKzEt7vVT4yTL6WU2kkeJWGMyg=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F12%2F20181228_KRAKATAU_A_web_1546011235.jpg
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Erupsi Anak Krakatau - Kepulan abu vulkanik erupsi Gunung Anak Krakatau terlihat dari kawasan Pantai Carita, Pandeglang, Banten, Jumat (28/12/2018).

Pelajaran penting

Dalam perkembangannya, pakar InSAR BPPT Dr Agustan menemukan bukti-bukti lain yang mendukung adanya longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau, di mana ada bagian Gunung Anak Krakatau yang mengalami perubahan permukaan yang mencolok.

Analisis citra satelit pada Gunung Anak Krakatau sebelum dan sesudah tsunami juga menunjukkan adanya sebagian daratan yang hilang dan diduga longsor ke laut.

Ada fakta lain di mana Dr Adit Gusman memodelkan inversi waktu tiba tsunami (back propagation) yang tercatat pada empat tide gauge di sekitar Selat Sunda. Terbukti bahwa sumber tsunami berasal dari suatu tempat di sebelah selatan Anak Krakatau.

https://cdn-assetd.kompas.id/A8z4MlnNpf3XqMFsBEYkwp9fG-s=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F12%2F20181229_GELOMBANG-PASANG_C_web_1546069629.jpg
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Gelombang Pasang Akhir Tahun - Warga melintas di sekitar deburan gelombang pasang di sekitar pelabuhan nelayan di Labuan, Pandeglang, Banten, Sabtu (29/12/2018). Selain ancaman tsunami karena erupsi Gunung Anak Krakatau, BMKG memberikan peringatan kepada warga untuk tinggal menjauhi kawasan pantai sekitar 1 kilometer karena buruknya cuaca dan musim gelombang pasang.

Selain itu, hasil penelitian Giachetti dkk (2012) membuktikan adanya potensi yang besar akan terjadinya runtuhan lereng (flank collapse) dari Gunung Anak Krakatau. Paper ilmiah ini sebenarnya peringatan penting akan bahaya longsoran Gunung Anak Krakatau.

Berdasarkan beberapa fakta di atas tampak bahwa tsunami yang terjadi bukan disebabkan aktivitas gempa tektonik, melainkan akibat longsoran lereng (flank collapse) Gunung Anak Krakatau. Adapun faktor penyebab lepasnya material di lereng Anak Krakatau diduga akibat tremor vulkanik yang menerus dan curah hujan dengan intensitas tinggi di wilayah itu.

Ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik dari peristiwa tsunami Selat Sunda ini, yaitu (1) masyarakat pesisir pantai rawan tsunami perlu semakin meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya tsunami mengingat pada beberapa kasus tsunami akibat erupsi gunung api dan longsoran belum dapat diberikan peringatan dini, (2) jika ada gunung api sedang aktif erupsi di tengah laut, penduduk pesisir pantai sepatutnya meningkatkan kewaspadaan dengan tidak melakukan kegiatan di pantai yang dihadiri orang banyak, dan (3) masyarakat pesisir rawan tsunami di mana pun harus mau mengakui bahwa wilayah tempat tinggal mereka adalah kawasan rawan tsunami sehingga memudahkan proses edukasi serta upaya mitigasi.

Daryono, Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG.

Editor:
Sri Rejeki
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000