Apa yang Saya Cecap di Negara Tersehat di Dunia
Berkesempatan mengunjungi Norwegia, wartawan Kompas, Caecilia Mediana, tertarik dengan sisi lain negara itu yang disebut sebagai negara tersehat di dunia. Ikuti perjalanan Mediana di tengah kondisi tubuhnya yang mengalami sakit asam lambung.
Norwegia disebut sebagai model kesehatan yang patut dicontoh dunia menurut paparan Human Development Report 2017 UNESCO atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Media massa HuffPost bahkan sampai menulis artikel tentang gaya makan orang Norwegia guna membuktikan laporan UNESCO itu. Artikel ditulis dengan judul ”How Norwegians Eat Their Way to Being among the World’s Healthiest People”.
Saya penasaran dengan tulisan ini. Kebetulan, saya mendapat kesempatan meliput kegiatan Festival Indonesia di Oslo, Norwegia, 28-30 Juni 2019, atas undangan PT Astra Agro Tbk yang juga anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Gapki menjadi salah satu peserta festival. Festival yang digelar Kedutaan Besar RI untuk Norwegia ini berisi pameran produk unggulan, gelar kesenian, dan seminar industri kelapa sawit berkelanjutan.
Sebenarnya, perasaan saya senang bercampur ragu saat menerima penugasan ini dari kantor. Senang karena mendapat kesempatan belajar hal baru, yaitu industri kelapa sawit. Ragu lantaran kondisi badan saya didera penyakit gangguan lambung (GERD). Namun, akhirnya saya memilih berpikir positif sekaligus tertantang ingin membuktikan kebenaran berita yang menyebut Norwegia sebagai contoh negara tersehat di dunia.
Bersahabat dengan GERD
Saya berangkat Rabu (26/6/2019) tengah malam bersama Riyadi Suparno, reporter senior The Jakarta Post; Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa; serta para pengurus Gapki dan Astra Agro.
Mengingat GERD, saya membekali diri dengan dua bungkus biskuit agar perut tidak kosong. Biskuit itu saya makan saat jeda panjang, sekitar tiga jam, antara makanan pembuka ke makanan utama di dalam pesawat Emirates yang saya tumpangi.
Persentuhan pertama saya dengan menu ala Norwegia terjadi di dalam pesawat itu. Setelah transit di Dubai, kami meneruskan perjalanan ke Oslo. Dalam penerbangan ini, kami disuguhi potongan buah, yoghurt, roti tawar dan mentega, ikan cod, dan sejenis risotto berwarna kuning. Menu ikan cod ini bikin saya penasaran.
Sayang, pramugari hanya tersenyum saat saya tanya tentang ikan cod. Penumpang di sebelah saya yang kebetulan orang Indonesia dan juga peserta Festival Indonesia kemudian membantu menjelaskan. Ikan cod yang merupakan ikan laut dalam ini rupanya santapan lazim di Norwegia.
Ketika saya menyendok ikan cod yang dimasak kukus, saya merasakan aroma segar ikan yang masih kentara. Daging ikan cod, kalau boleh saya gambarkan, terasa lembut namun kokoh. Saya memadukannya dengan risotto bersaus kuning yang sayangnya lupa saya ”rekam” namanya di kepala. Sungguh segar, enak, dengan sentuhan rasa asin yang kuat.
Tiba di Oslo, Kamis (27/6/2019) siang, kami langsung menuju Thon Hotel Terminus. Di sepanjang jalan, pemandangan di kanan kiri adalah ladang rapessed. Rapessed merupakan sebutan bagi beberapa kelompok tumbuhan marga Brassica. Tumbuhan ini dibudidayakan sebagai material pembuatan minyak nabati.
Di sinilah pelajaran tentang industri dan perdagangan minyak kelapa sawit dimulai. Norwegia termasuk bagian dari negara kawasan Eropa yang gencar menyerukan gerakan antisawit. Para pegiat lembaga swadaya masyarakat antisawit selalu mendengungkan motif pelestarian lingkungan. Hal ini menjadi kampanye negatif bagi negara produsen sawit, seperti Indonesia.
Tiba di Thon Hotel Terminus, rupanya hotel ini berseberangan dengan pusat perbelanjaan Oslo City. Poriaman Sitanggang, salah satu fotografer peserta Festival Indonesia yang pernah ke Oslo, berpesan agar saya menyempatkan datang ke Oslo City.
”Kalau ingin tahu bagaimana orang Norwegia bisa tumbuh sehat, mampirlah ke supermarket Meny di lantai dasar Oslo City. Lalu, carilah minyak ikan botol bermerek Moller’s Tran. Harganya memang mahal, tetapi sangat bagus untuk menjaga kesehatan tubuh,” kata dia sambil menunjukkan kepada saya foto produk yang dimaksud.
Pesan ini bikin saya penasaran. Hari Sabtu (29/6/2019), saya berkesempatan ke Meny. Supermarket ini sebenarnya terlihat tidak terlalu luas. Kira-kira seluas Food Hall di Plaza Senayan, Jakarta.
Minyak ikan Moller’s Tran dikemas dalam botol pipih berwarna hijau. Penampilannya mencolok dibandingkan minyak ikan lainnya. Minyak dari hati ikan cod ini sudah diproduksi lebih dari 160 tahun. Namun, saya urung memboyong si botol hijau karena pertimbangan harga.
Semangat sehat orang Norwegia juga saya temukan melalui rak camilan di Meny. Pada bagian roti dan biskuit selalu tertera kadar serat produk. Hal serupa, yakni keterangan tentang kandungan serat makanan, kelak juga saya jumpai dalam berbagai kesempatan, termasuk saat acara bersantap. Rupanya orang Norwegia sangat teliti memilih kadar serat makanan yang akan dikonsumsinya.
Ikan salmon menjadi salah satu bahan makanan utama di sana. Di Meny, saya menjumpai lemari es besar empat pintu, khusus untuk penyimpanan daging. Isi lemari ini didominasi berbagai bentuk dan penyajian produk ikan salmon, mulai dari bulat untuk isi burger hingga potongan memanjang ikan asap.
Ikan asap salmon tahan satu bulan di kulkas. Para turis biasa membelinya sebagai oleh-oleh. Selain salmon, lemari es itu juga diisi produk hasil laut lain, seperti udang dan ikan sarden. Ikan sarden dikemas dalam kotak seukuran telapak tangan orang dewasa. Ikan yang diberi saus tomat bisa langsung dimakan. Adapun produk udang dikemas dalam stoples mirip stoples kue kering Lebaran. Udang sudah dalam keadaan terpisah dari kepala dan ekornya.
Di samping lemari es penyimpanan daging terdapat gerai ikan dan daging segar. Tampilannya mirip dengan supermarket di Indonesia. Hanya saja, perbedaannya terletak pada dominasi produk hasil laut segar, terutama salmon.
Norwegia memiliki budaya makanan laut yang kuat. Garis pantainya termasuk panjang. Tidak heran jika supermarket-supermarket yang ada, termasuk Meny, menyediakan beragam produk hasil laut.
Makanan sehari-hari
Selama lima hari berada di Norwegia, tidak sekali pun saya lewatkan tanpa menyantap ikan salmon. Di hotel yang saya inapi, ikan salmon mentah selalu tersaji dalam menu sarapan. Daging ikan yang dipotong dadu disantap bersama roti.
Untuk menghayati gaya makan orang Norwegia, saya rutin sarapan roti dengan ikan salmon. Setelah itu, merambah pada kentang rebus dan bakso goreng. Tampilan baksonya lebih mirip dengan bakso yang saya jumpai di supermarket furnitur IKEA di Alam Sutera, Tangerang. Minyak yang digunakan untuk menggoreng bakso adalah minyak rapessed atau minyak biji bunga matahari. Ini sejalan dengan gerakan antisawit yang mereka anut.
Menu ikan salmon kembali saya santap ketika meliput pembukaan Festival Indonesia, Jumat (28/6/2019). Saya pikir menu makan malam akan berupa masakan Indonesia. Ternyata bukan, melainkan roti lapis berisi dua iris panjang ikan salmon yang ditambah daun selada dan tomat.
Menu serupa juga tersaji saat makan siang di sela-sela seminar ”Sustainable Peat Land and Palm Oil Contributions toward the Achievements of the UN SDGs”. Menu pendamping berupa roti lapis berisi selada dan irisan daging ayam. Peserta rupanya lebih antusias menyantap roti lapis salmon.
Dari informasi yang saya peroleh dari seorang anggota staf Kedutaan Besar RI untuk Norwegia yang menjadi peserta festival, roti lapis (sandwich) menjadi menu lazim di Norwegia. Menu ini bisa muncul setiap saat, mulai dari sarapan sampai makam malam. Menu roti lapis juga banyak kita jumpai di convenience store di sana.
Selain roti lapis, peserta seminar juga mendapat suguhan buah-buahan sebagai camilan utama, seperti semangka. Sudah tentu dilengkapi dengan keterangan kandungan zat, serat, dan kalori. Tidak ada roti atau kue basah, apalagi gorengan.
Camilan ringan pendamping berwujud biji-bijian. Saya tidak mengenal nama biji-bijian itu. Namun, saya jadi teringat suguhan kacang rebus di acara selamatan yang biasa kita temui di masyarakat Jawa.
Camilan ringan biji-bijian juga saya temui di Thon Hotel Terminus setiap pagi. Pihak hotel meletakkannya berdekatan dengan menu yoghurt. Biji-bijian semacam itu bisa kita beli di minimarket setempat. Makanan ini dikemas dalam kotak panjang seperti bungkus wafer yang harganya sekitar Rp 40.000 per bungkus.
Di segala penjuru kota Oslo, kita juga dengan mudah menemui toko buah dan jus segar, baik di dalam maupun di luar pusat perbelanjaan. Pembelinya pun banyak.
Kalau ingin membeli satuan, warga bisa datang ke minimarket, seperti Seven Eleven. Saya pernah membeli satu buah pisang di sana dengan harga setara Rp 11.000.
Demikian pula dengan Thon Hotel Terminus yang setiap pagi menawarkan beberapa varian jus segar. Selama lima hari menginap, saat ke restoran, saya selalu dihampiri pelayan yang meminta saya mencicipi aneka jus segar. Misalnya, jus wortel yang dicampur jahe. Rasanya segar sekali. Tidak ada campuran gula. Hanya perasan wortel dan jahe. Mereka juga menawarkan susu segar yang dicampur dengan sari buah, seperti raspberry. Rasanya segar dan sedikit asam.
”Midnight sun”
Ketika di sana, saya dan rata-rata anggota rombongan penasaran sekali kapan matahari tenggelam di Oslo. Pada bulan Juni, Oslo memasuki musim panas dengan durasi siang yang lebih panjang, yakni 15-16 jam. Matahari masih tampak terang seperti sore hari pukul 15.00 di Jakarta, padahal waktu Oslo sudah menunjukkan pukul 19.00 malam.
Pada puncak musim panas, matahari bahkan hampir tidak pernah tenggelam. Tidak heran, saya pernah menemukan sekelompok anak muda berenang di laut sekitaran Aker Brygge pada pukul 23.00. Saat itu, matahari baru saja mulai tenggelam.
Baca juga: Jurnalisme "Migunani Tumraping Liyan"
Suhu udara 14-15 derajat celsius, tentu saja terasa dingin bagi orang tropis seperti saya. Alhasil, saya, Riyadi Suparno, dan Joko Supriyono (Wakil Presiden Direktur PT Astra Agro Tbk) hanya bisa duduk-duduk menahan dingin. Sementara anak-anak muda itu berenang sambil tertawa-tawa.
Selama lima hari di Oslo, kekhawatiran saya mengenai penyakit gangguan lambung tetap terjadi walaupun kadarnya tidak terlalu besar. Setiap malam, sebelum tidur, saya tetap minum rebusan bubuk kunyit yang saya bawa dari Jakarta. Untuk menu makan, saya mencoba mengikuti kebiasaan orang Norwegia makan. Hingga tugas peliputan selesai, penyakit asam lambung saya tidak pernah kumat.
Sebagai negara dengan biaya hidup tinggi, biaya pengobatan di Norwegia tergolong mahal. Meski biaya kesehatan ditanggung pemerintah, setiap warga tetap wajib mempunyai asuransi kesehatan.
Saya dan Riyadi Suparno pernah iseng masuk ke salah satu apotek yang lokasinya masih di Aker Brygge. Riyadi kemudian mencari vitamin C, sedangkan saya mencari obat bebas untuk sakit mag. Satu botol vitamin C yang kami temukan dibanderol dengan harga Rp 300.000. Kami pun mundur teratur.
Kebiasaan orang setempat lain yang coba saya ikuti adalah berjalan kaki. Selama di Oslo, saya dan rombongan lebih banyak menggunakan transportasi umum. Kedutaan Besar RI untuk Norwegia memang menyediakan mobil, tetapi hanya diperuntukkan dari hotel ke lokasi Festival Indonesia dan seminar, misalnya Taman Spikersuppa.
Di luar itu, kami harus berjalan kaki dan naik transportasi umum. Kami mengandalkan Google Maps dan peta kota Oslo yang kami peroleh dari Thon Hotel Terminus.
Kami berjalan kaki 8-15 kilometer setiap hari. Dengan udara segar musim panas di Oslo, jalan kaki sepanjang itu tidak masalah. Kami malah memanfaatkannya untuk olahraga.
Baca juga: Jawaban-jawaban Tak Terduga Para Pelaku Kriminal
Saya mengamati, cara warga Norwegia berjalan kaki cukup cepat. Di lorong-lorong perkotaan yang tidak dilalui angkutan umum, mereka berjalan kaki sambil bercengkerama dengan yang lain.
Selain jalan kaki, sebagian warga menggunakan otopet atau sepeda umum untuk mencapai lokasi tujuan. Cara memanfaatkannya dengan aplikasi khusus yang sudah tersambung dengan sistem pembayaran elektronik.
Sangat jarang saya melihat warga ataupun turis di Oslo merokok. Barangkali itulah sebabnya udara terasa segar. Dengan perilaku makan makanan yang terukur kandungan kalori dan seratnya, ditambah lagi kebiasaan menjaga kebugaran, saya mengakui, masuk akal jika Norwegia dinobatkan sebagai contoh negara tersehat di dunia.