Bara Perpecahan di Irlandia Utara
Masalah perbatasan Irlandia Utara menjadi faktor paling rumit dalam urusan Brexit. Inggris dan Uni Eropa belum menemukan solusi yang memuaskan.
Backstop Irlandia Utara yang sudah disepakati Inggris dan Uni Eropa pada November 2018 kini digugat perdana menteri baru Inggris, Boris Johnson. Jika backstop tidak dicabut, Inggris mengancam akan keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober tanpa kesepakatan.
Terpilihnya Boris Johnson membuat atmosfer politik di Inggris semakin panas. Sejak hari pertama menduduki Downing Street, Johnson terus menggedor Uni Eropa dengan gertakan dan ancaman.
Bukan saja backstop Irlandia Utara yang dipersoalkan, Johnson juga menginginkan perundingan ulang untuk keseluruhan kesepakatan. Alasannya, Kesepakatan Brexit (Withdrawal Agreement Bill) yang telah ditandatangani 28 pemimpin negara UE dan PM Theresa May itu telah ditolak tiga kali oleh majelis rendah Inggris, yang mengakibatkan PM May mundur.
Backstop Irlandia Utara merupakan kesepakatan antara Inggris dan UE yang menjamin tidak akan ada penjagaan militer di sepanjang 500 kilometer perbatasan antara Irlandia Utara (Inggris) dan Republik Irlandia (UE) pasca-Brexit. Backstop juga menjamin pergerakan bebas orang dan barang dari kedua wilayah.
Jaminan itu diperlukan untuk menghormati Perjanjian Damai Jumat Agung 1998, yang berhasil mengakhiri konflik berdarah selama 30 tahun (disebut sebagai periode ”The Troubles” antara kelompok nasionalis Irlandia Utara yang didukung gerilyawan IRA dan kelompok unionis yang didukung tentara Inggris). Konflik sektarian itu telah menelan korban jiwa sekitar 3.600 orang dari kedua belah pihak, mayoritas warga sipil.
Kelompok nasionalis yang mayoritas beragama Katolik menginginkan Irlandia Utara merdeka dari Inggris dan melakukan unifikasi dengan Republik Irlandia. Sementara kubu unionis yang mayoritas beragama Protestan menginginkan persatuan dengan Inggris.
Persaingan parpol
Dari sejumlah partai politik yang ada di Irlandia Utara, dua parpol besar mewakili dua kepentingan itu. Partai Unionis Demokratik (DUP), yang pro Inggris, saat ini menjadi mitra koalisi pemerintahan Partai Konservatif pimpinan Johnson. Konservatif butuh dukungan DUP karena gagal menjadi mayoritas di parlemen.
Pesaingnya, Partai Sinn Fein yang dibentuk tahun 1905, mewakili kelompok yang masih menyimpan harapan unifikasi dengan Republik Irlandia.
Sampai saat ini semua anggota Sinn Fein yang terpilih dalam pemilu legislatif menolak untuk mengisi kursi di parlemen Inggris (Westminster). Alasannya, mereka tidak mengakui otoritas Inggris untuk mengatur wilayah Irlandia Utara. Selain itu, mereka menolak bersumpah setia kepada Ratu Inggris, sebuah syarat wajib bagi anggota parlemen.
Sikap Sinn Fein ini disesalkan berbagai kelompok oposisi di Inggris karena suara mereka sangat krusial untuk mencegah Brexit tanpa kesepakatan. Apalagi, dalam sejumlah voting, kadang selisih suara begitu tipis.
Sudah dipastikan DUP dan Sinn Fein berseberangan dalam masalah Brexit dan backstop. DUP menolak keras backstop dan mendukung langkah PM Johnson yang memprioritaskan Brexit tanpa kesepakatan.
Sebaliknya, Sinn Fein tidak ”mengakui” PM Johnson dan mendukung backstop. Sinn Fein menegaskan, jika pemerintah memilih Brexit tanpa kesepakatan, Sinn Fein akan menuntut referendum untuk lepas dari Inggris dan bergabung dengan Republik Irlandia.
Ketua Sinn Fein Mary Lou McDonald saat bertemu PM Johnson, Rabu (31/7/2019), di Belfast, mengatakan, Brexit tanpa kesepakatan akan menghancurkan perekonomian, kehidupan, kesejahteraan, dan Perjanjian Damai Irlandia Utara. Namun, Ketua DUP Arlene Foster menyangkal hal itu dan meyakini dukungan warga Irlandia Utara terhadap unifikasi Irlandia sudah menyusut.
Reaksi Dublin
Meskipun Inggris dan UE dalam hal gagasan sepakat untuk menghilangkan penjagaan di sepanjang perbatasan, bagaimana penerapannya belum ditemukan titik temu.
Itu sebabnya dalam backstop disebutkan, jika kedua pihak belum menemukan cara yang lebih baik untuk menghindari penjagaan militer dan menjamin pergerakan bebas orang dan barang di perbatasan, maka backstop diberlakukan. Dalam hal ini Inggris tetap berada dalam pabean Uni Eropa. Poin inilah yang menyebabkan Kesepakatan Brexit yang sudah ditandatangani gagal diratifikasi parlemen Inggris dan menjadi ”senjata” Johnson untuk mengampanyekan opsi tanpa kesepakatan.
PM Irlandia Leo Varadkar pekan lalu mengingatkan Inggris bahwa Brexit tanpa kesepakatan akan memunculkan kembali sentimen unifikasi di Irlandia Utara. Apalagi, dalam referendum Brexit tahun 2016, 56 persen warga Irlandia Utara memilih untuk tetap bersama UE.
”Jika Inggris mengabaikan harapan mayoritas warga Irlandia Utara, mencabut kewarganegaraan Eropa milik mereka dan menihilkan Perjanjian Damai Jumat Agung, isu-isu terkait dengan unifikasi akan muncul, terlepas kita suka atau tidak. Kita harus bersiap menghadapi itu,” kata Varadkar seperti dikutip BBC.
Terkait dengan makin besarnya kemungkinan Brexit tanpa kesepakatan, Irlandia terus mengkaji sejumlah aturan yang mungkin harus diubah. Meskipun akan berupaya untuk tidak memberlakukan pengecekan di sepanjang perbatasan, Irlandia akan melakukan pengecekan terhadap produk-produk hewani maupun hewan hidup yang datang dari Inggris.
Menurut Varadkar, seandainya backstop tidak jadi diterapkan, seluruh wilayah Irlandia akan menerapkan pengecekan sanitary and phytosanitary (SPS) untuk hewan dan produk makanan, juga pengecekan secara random untuk menghindari penyelundupan.
PM Johnson perlu memikirkan dengan matang langkah yang akan diambil terkait dengan Brexit, yang akan berdampak langsung pada Irlandia Utara. Jangan sampai sejarah kelam yang pernah melanda wilayah ini terulang kembali karena egoisme politik semata.