Sedikitnya 700 keluarga di Dusun Dasan Banjur, Desa Rempek, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, belum bisa membangun rumah pascagempa tahun lalu karena lahan yang ditempati berstatus kawasan hutan lindung.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·2 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Sedikitnya 700 keluarga di Dusun Dasan Banjur, Desa Rempek, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, belum bisa membangun rumah pascagempa tahun lalu karena lahan yang ditempati berstatus kawasan hutan lindung. Upaya alih status lahan dan penyediaan lahan baru sudah diusulkan. Namun, belum ada keputusan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Saya bersama Pak Bupati Lombok Utara sudah rapat di Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan), juga mengajukan usulan tentang alokasi tanah bagi warga di kawasan itu, sesuai dengan Keputusan Menteri LHK tentang Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber Tanah Obyek Reforma Agraria. Kami masih menunggu jawaban dari Kementerian LHK,” ujar Kepala Dinas LHK NTB Dani Mukarom, di Mataram, Minggu (4/8/2019).
Sekitar 50 persen dari tanah seluas 14 hektar itu sudah bersertifikat dan warga membayar pajak.
Bupati Lombok Utara Najmul Akhyar saat meresmikan Rumah Tahan Gempa di Dusun Dasan Banjur, Desa Rempek, Jumat (2/8/2019), mengatakan, pencapaian rehabilitasi-rekonstruksi rumah pascagempa Lombok Juli-Agustus 2018 menghadapi banyak kendala. Salah satunya terkait dengan 700 keluarga yang menempati 14 hektar kawasan hutan.
Pejabat Sementara Kepala Desa Rempek Syaiful Bahri, dalam rilis yang disampaikan Bidang Humas Kabupaten Lombok Utara, mengungkapkan, sekitar 50 persen dari tanah seluas 14 hektar itu sudah bersertifikat dan warga membayar pajak. Upaya penyelesaian dan usulan solusi sudah diajukan kepada Pemkab Lombok Utara.
Catatan Kompas, warga yang menempati kawasan hutan lindung itu adalah eks perambah. Lewat berbagai aksi demonstrasi pada tahun 1990-an, mereka menuntut kepemilikan atas lahan itu kepada pemda. Kasus itu kemudian mengendap.
Belakangan diketahui warga melakukan proses sertifikasi tanah melalui program nasional (prona) meski Kementerian LHK belum mengakui penyertifikatan itu.
Setelah gempa, semua bangunan rumah warga di kawasan hutan itu rusak dan hancur. Dalam tahap rehabilitasi-rekonstruksi, Pemkab Lombok Utara mengusulkan agar mereka mendapat insentif dari pemerintah Rp 50 juta per unit rumah rusak berat.
Uang insentif itu kemudian disisihkan Rp 5 juta-Rp 10 juta yang dinilai cukup untuk membeli tanah. Sisanya digunakan untuk membangun rumah di luar kawasan.
Namun, pemkab terbentur soal legalitas hukum dan status tanah yang ditempati. Warga pun diberi batas waktu keluar dari kawasan itu akhir Agustus ini. Pemkab Lombok Utara dan Dinas LHK NTB mengadakan rapat sekaligus menyerahkan surat usulan penyelesaian kepada Kementerian LHK, 5 April 2019.
Dalam surat itu diusulkan perlu pengelompokan areal (regrouping), mengingat lahan yang ditempati warga saat ini menyebar dengan luasan kecil. Karena itu, diusulkan regrouping di empat lokasi hutan produksi seluas 20 hektar bagi 700 keluarga itu.
”Karena menyangkut alih fungsi kawasan hutan, proses menunggu keputusannya relatif lama,” ujar Dani Mukarom.