Politik dan Oase dari ”Lord” Didi
”Mripatku uwis ngerti sak nyatane/Kowe selak golek menangmu dewe/Tak tandur pari jebul tukule malah suket teki….”
Meski sudah satu bulan berlalu sejak Komisi Pemilihan Umum menetapkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2019, polarisasi di masyarakat belum sepenuhnya berakhir. Hubungan baik di antara elite yang berkontestasi di Pemilu 2019 bagi sebagian publik mungkin dinilai sebagai hal yang melawan prinsip.
Kondisi itu membuat pertemuan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto pada 13 Juli lalu, atau dua minggu setelah KPU menetapkan Jokowi-Amin sebagai presiden dan wakil presiden 2019-2024 terpilih pada 30 Juni, tetap disoroti negatif oleh sebagian pihak.
Kemudian, pertemuan antara Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo pada 24 Juli lalu juga tak seluruhnya ditanggapi positif.
Bahkan, saat ini ditengarai muncul riak terkait distribusi kekuasaan di antara sejumlah partai anggota koalisi Jokowi-Amin.
Di tengah dinamika politik yang melelahkan dan seakan tidak memiliki garis akhir ini, muncul penyanyi campursari Didi Kempot. Kehadirannya menawarkan harapan untuk meredam kebisingan politik di ranah publik, terutama media sosial. Bermodalkan lirik-lirik bernuansa patah hati berbahasa Jawa, Didi menyatukan para anak muda yang hadir di sejumlah penampilannya, serta generasi melek teknologi yang aktif di media sosial.
Bersama Didi, tidak ada cebong atau kampret. Semua menyatu dalam Sad People Club yang menjadi paguyuban para sad bois dan sad gerls. Kata SAD merupakan akronim dari Sobat Ambyar Didi Kempot. Adapun kata ambyar berasal dari bahasa Jawa yang berarti hancur atau tercerai- berai. Anggota komunitas itu adalah laki-laki dan perempuan yang menjadikan lagu- lagu Didi sebagai media untuk mengutarakan perasaan sentimentilnya.
Berkah alam
Salah satu penggagas Sad People Club, Fajar Romadona, menjelaskan, kehadiran Sad People Club sepenuhnya dibantu oleh alam dan kondisi yang ada di Indonesia.
Awalnya, kata Fajar, dia dan sejumlah rekannya di Rumah Blogger Indonesia menonton pertunjukan Didi di Taman Balekambang,
Solo, Jawa Tengah, 9 Juni lalu. Mereka merekam video penampilan Didi sekaligus aksi mereka selama menikmati tembang yang dibawakan Didi.
Tanpa diprediksi, video itu menjadi viral dan terus dibagikan di media sosial dan aplikasi pesan instan hingga akhir Juli ini. Atas dasar itu, komunitas Sad People Club muncul di Twitter dan Instagram yang masing-masing diikuti sekitar 5.000 akun. Sebutan ”Lord” Didi Kempot, Bapak Lara Ati Nasional, hingga The Godfather of Broken-Heart sempat menjadi trending topic di Twitter.
Kehadiran Sad People Club, kata Fajar, tidak hanya untuk menjaga bola api kehadiran pencinta Didi, tetapi juga untuk menghadirkan warna baru di jagat maya.
”Setelah beberapa bulan kita dicekoki hal berbau politik, kami berpikir untuk memunculkan tema lain yang bisa memberikan warna baru sekaligus merangkul semua kalangan menjadi satu,” ujar Fajar.
Meski demikian, Sad People Club sangat menghindari menyiarkan konten bernuansa politik, agama, dan sepak bola. Ketiga jenis konten itu, kata Fajar, mudah menghadirkan perdebatan dan kontroversi karena punya pengikut fanatik.
Menurut dia, paguyuban sobat ambyar harus menyatukan seluruh kalangan yang didasari kesukaan terhadap lagu-lagu Didi, serta menjadi wadah berkumpul setiap individu yang mampu berdamai dengan pengalaman pribadi, terutama karena rasa sakit hati.
Ketegangan
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan, pada hakikatnya manusia menyukai kedamaian dan kehidupan sehari- hari yang normal. Alhasil, publik selalu ingin lepas dari ketegangan psikologis yang diakibatkan kompetisi politik yang mengurus energi, permusuhan, kebencian, hujat-menghujat, dan ketegangan emosional lain.
”Fenomena Didi Kempot merupakan mekanisme psikologis keluar dari ketegangan itu,” kata Hamdi.
Selain sebagai wadah untuk melepaskan diri dari hiruk-pikuk kontestasi politik Pemilu 2019, kata Hamdi, karya-karya Didi juga dapat menjadi perekat rasa persatuan pascapolarisasi akibat pilihan politik, terutama di kalangan generasi muda.
Akhirnya, setelah suasana panas selama pemilu, kehadiran Didi ibarat oase yang dapat mencabut sekat perbedaan, terutama di kalangan generasi muda yang notabene mayoritas penduduk Indonesia.
Sambil menunggu oase-oase berikutnya, bagi yang merasa sakit hati dengan langkah para elite politik pasca-Pemilu 2019, mungkin bisa menyanyikan salah satu tembang Bapak Lara Ati Nasional berjudul ”Suket Teki” yang penggalan liriknya membuka tulisan ini.
”Mataku sudah tahu kenyataannya/Kamu hanya mencari menangmu sendiri/Ku tanam padi ternyata yang tumbuh rumput teki.”
Siap berjoget?
(Muhammad Ikhsan Mahar)