Gempa bumi pada Jumat (2/8/2019) malam menimbulkan kepanikan warga Desa Kertamukti, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Gempa yang dirasakan cukup kuat membuat mereka tidak berpikir lama untuk langsung menyelamatkan diri ke areal persawahan yang berjarak 1,5 kilometer dari permukiman. Pengalaman tsunami pada 22 Desember 2018 menjadi pelajaran berharga bagi mereka.
Oleh
FAJAR RAMADHAN/PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
Gempa bumi pada Jumat (2/8/2019) malam menimbulkan kepanikan warga Desa Kertamukti, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Gempa yang dirasakan cukup kuat membuat mereka tidak berpikir lama untuk langsung menyelamatkan diri ke areal persawahan yang berjarak 1,5 kilometer dari permukiman. Pengalaman tsunami pada 22 Desember 2018 menjadi pelajaran berharga bagi mereka.
Dani (37) misalnya, hanya dalam waktu dua detik setelah bangunan rumahnya bergoyang, ia langsung berlari sambil menggendong putranya yang baru berusia 11 bulan menuju lokasi evakuasi bersama istrinya. Mereka bergerak tanpa bunyi sirene peringatan dini tsunami.
“Semua orang panik karena listrik juga padam. Warga hanya mengandalkan senter di telepon genggam untuk menerangi jalan,” ujarnya.
Usai peristiwa tsunami yang menewaskan setidaknya 36 orang di kawasan tersebut, jalur evakuasi sudah disediakan di blok-blok permukiman warga. Papan-papan penunjuk arah berwarna oranye juga sudah terpasang di berbagai titik. Warga juga sudah dibekali pengetahuan tentang arah dan lokasi evakuasi.
“Pasca tsunami 2018 lalu, kami sudah buat jalur-jalur evakuasi untuk warga, lengkap dengan pelatihan mitigasi bencana,” ujar Endin Haerudin, Camat Sumur.
Dani mengungkapkan, sebagian besar warga hanya membutuhkan waktu sekitar 5 hingga 10 menit untuk sampai ke lokasi evakuasi. Di sana, mereka menunggu sekurang-kurangnya selama dua jam. Sekitar pukul 22.00, listrik kembali menyala dan warga berangsur kembali ke rumah masing-masing.
Salah satu warga, Sukron (40) mendapati tembok bagian depan rumahnya roboh sebagian. Meskipun begitu, Sukron bersyukur istri dan kedua anaknya selamat.
Sukron dan banyak warga lain tidak menyadari, gempa yang mereka alami ternyata berpotensi tsunami karena tidak ada sirene peringatan. Koordinator Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (Sibat) Desa Kertajaya Kecamatan Sumur Agus Wibowo menyatakan, belum ada sirene peringatan dini tsunami di Kecamatan Sumur.
Belajar dari pengalaman
Sebagian warga mengaku cepat bergerak untuk menyelamatkan diri karena belajar dari pengalaman saat menghadapi peristiwa tsunami Desember 2018 lalu. Ketika melihat ada pertanda alam seperti air laut yang mulai surut, mereka segera beranjak untuk menyelamatkan diri.
Aan Karyana (30) yang bekerja sebagai nelayan misalnya. Ketika melihat air mulai surut pada sore hari, ia segera menepi ke daratan. Ia belajar dari pengalaman saat terjadi tsunami lalu. “Surutnya air laut menjadi penanda akan terjadi bencana,” ujarnya.
Warga di Kecamatan Sumur juga tak lagi menganggap remeh ketika terjadi gempa atau letusan Gunung Anak Krakatau. Sebelumnya, mereka menganggap peristiwa itu adalah hal biasa.
Sementara itu, warga di Desa Teluk, Kecamatan Labuan masih merasa trauma karena lokasi tempat tinggal mereka berada di bibir pantai. Mereka takut terjadi gempa susulan atau bencana tsunami.
Warga Desa Teluk, Yatmi (60) mengaku masih takut kembali ke rumahnya yang lokasinya dekat dengan pantai. Ia pun memilih bertahan di aula kecamatan hingga situasi normal. Ketua RW 1 Desa Teluk Tubagus Deni mengaku, warga masih trauma dengan terjadinya tsunami pada Desember lalu.
Menurut pengakuan Tubagus, warga berusaha menyelamatkan diri ketika sadar telah terjadi gempa. “Ketika terjadi gempa, mereka segera pergi ke tempat yang aman, meskipun tidak ada bunyi sirene,” ujar Tubagus.