Perseteruan dagang antara Jepang dan Korea Selatan makin sengit. Perseteruan bilateral ini bisa berdampak meluas, tak terkecuali di negara-negara Asia Tenggara.
Perseteruan dagang di antara dua negara di Asia Timur itu mengeras, Jumat (2/8/2019), saat Jepang mengumumkan keputusan kabinet bahwa Jepang mencoret Korsel dari daftar penerima kemudahan perizinan ekspor—atau kerap disebut ”daftar putih”—mulai 28 Agustus mendatang. Dengan keputusan ini, Korsel harus mengurus izin impor lebih dari seribu produk strategis setiap akan mengimpor produk itu.
Keputusan terbaru dari Tokyo tersebut langsung dibalas oleh Seoul yang juga akan mengeluarkan Jepang dari daftar mitra dagang favorit. Situasi ini merupakan sekuel ketegangan dagang kedua negara yang memanas, awal Juli lalu. Pada 4 Juli 2019, Jepang mengeluarkan keputusan pembatasan ekspor bahan-bahan material teknologi tinggi untuk membuat semikonduktor ke Korsel.
Ada kecurigaan di Tokyo, yang tentu saja dibantah Seoul, bahwa bahan-bahan material dari Jepang itu dikapalkan kembali ke Korea Utara, negara yang saat ini dijatuhi sanksi internasional terkait uji coba nuklirnya.
Jepang menyatakan, keputusan kebijakan ekspornya itu terkait keamanan nasional. Namun, sulit untuk dimungkiri, hal itu tidak terlepas dari keputusan Mahkamah Agung Korsel tahun lalu yang menghukum perusahaan-perusahaan Jepang membayar kompensasi pada warga Korsel yang dijadikan tenaga kerja paksa saat Perang Dunia II. Jepang menganggap kasus itu telah diselesaikan melalui kesepakatan tahun 1965.
Meski ranahnya bilateral, perseteruan dagang kedua negara itu menjadi pembahasan dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Bangkok, Thailand, 29 Juli-3 Agustus lalu. Bahkan, seperti diberitakan harian ini, Sabtu (3/8/2019), aura perseteruan tersebut tecermin pada ”adu pernyataan” antara Menteri Luar Negeri Korsel Kang Kyung-wha dan Menlu Jepang Taro Kono di pertemuan ASEAN Plus Tiga (ASEAN Plus Three, APT), Jumat lalu. Diberitakan pula, kedua menlu itu tak bertegur sapa atau bersalaman, seperti yang lazim terjadi saat pejabat level tinggi hadir di forum internasional.
Dalam pernyataan Ketua Pertemuan Menlu ASEAN Plus Tiga, ditegaskan ”para menteri (luar negeri) memperingatkan meningkatnya ketegangan dagang dan dampaknya bagi pertumbuhan”. Meski tidak menyebut dua negara itu, pesan ini boleh jadi ditujukan termasuk kepada Korsel dan Jepang. Pesan tersebut wajar dan penting untuk disampaikan. Sejak 1997, ASEAN menjalin forum kerja APT bersama tiga negara ekonomi kuat di Asia Timur (China, Jepang, dan Korsel) yang dinilai bisa menjadi kekuatan pendorong ekonomi ASEAN.
Berkat kerja sama itu pula, ASEAN memiliki resiliensi saat krisis ekonomi melanda Asia pada tahun 1998. Penting kiranya menggarisbawahi imbauan Menlu Retno LP Marsudi pada pertemuan APT bahwa resiliensi itu bisa terancam jika tidak dipelihara negara-negara APT. Sudah tepat ASEAN mengingatkan kedua negara itu untuk mengedepankan dialog dalam menyelesaikan perseteruan dagang di antara mereka.