Buruknya Kinerja Ekspor Hambat Pertumbuhan Ekonomi
Tekanan datang dari dalam dan luar negeri mengimpit perekonomian nasional sepanjang tahun 2019 berjalan. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2019 terhambat akibat pelemahan kinerja ekspor serta perlambatan pertumbuhan investasi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan datang dari dalam dan luar negeri mengimpit perekonomian nasional sepanjang tahun 2019 berjalan. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2019 terhambat akibat pelemahan kinerja ekspor serta perlambatan pertumbuhan investasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, produk domestik bruto (PDB) pada triwulan II-2019 tumbuh 5,05 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018. Pertumbuhan secara tahunan ini lebih lambat dari capaian pada triwulan I-2019 yang mencapai 5,07 persen. Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan, kontribusi ekspor masih tertekan akibat turunnya volume dan harga komoditas ekspor di pasar global. Hal ini diperparah dengan perlambatan perekonomian beberapa negara mitra dagang Indonesia.
Pada triwulan II-2019 kinerja ekspor tercatat melambat hingga 1,81 persen apabila dibandingkan dengan kinerja ekspor pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sejak triwulan I-2019, kinerja ekspor telah mencatatkan pelemahan sebesar 1,87 persen dibandingkan dengan triwulan I-2018. Padahal, pada triwulan II-2018, kinerja ekspor sempat tercatat mengalami pertumbuhan 7,65 persen dibandingkan dengan triwulan II-2017.
”Penurunan volume ekspor migas serta penurunan harga komoditas migas di sepanjang paruh pertama 2019 paling berkontribusi terhadap kontraksi kinerja ekspor tahun ini,” ujar Suhariyanto, Senin (5/8/2019).
Sementara pembentuk pengeluaran pertumbuhan ekonomi Indonesia dari investasi atau PMTB pada triwulan II-2019 menunjukkan nyaris semua sektor tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan triwulan II-2018, kecuali investasi bangunan. Secara keseluruhan, investasi pada triwulan II-2019 hanya naik 5,01 persen atau lebih lambat dibandingkan dengan triwulan I-2019 yang sebesar 5,03 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II-2018 yang sebesar 5,85 persen.
Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, David Sumual, menilai kinerja ekspor yang melemah di triwulan II-2019 memperlebar defisit neraca perdagangan. Padahal, defisit perdagangan masih menjadi momok pertumbuhan ekonomi Tanah Air.
”Surplus perdagangan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir lebih banyak didorong oleh impor yang menurun. Jangan sampai penurunan impor terjadi pada barang impor dan barang modal,” ujarnya.
Secara kumulatif, defisit neraca perdagangan selama Januari-Juni 2019 masih cukup besar, mencapai 1,9 miliar dollar AS. Defisit tersebut disebabkan besarnya defisit pada neraca perdagangan migas yang mencapai 4,8 miliar dollar AS meski pada periode yang sama neraca perdagangan nonmigas menyumbang surplus sebesar 2,8 miliar dollar AS.
Di sisi lain, tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang kembali memanas juga berdampak pada penurunan ekspor Indonesia. ”Pukulan semakin berat saat ekonomi China sebagai target pasar ekspor terbesar Indonesia melempem,” ujar David.
Pada triwulan II-2019, ekonomi China tumbuh 6,2 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka pertumbuhan ini lebih kecil dari pertumbuhan triwulan II-2018 berbanding triwulan II-2017, sebesar 6,7 persen.
Selain kinerja ekspor, lanjut David, daya beli masyarakat pun terpapar pengaruh pelemahan harga komoditas. Hal ini terindikasi dari penjualan mobil yang terkontraksi -11,3 persen dibandingkan triwulan II-2018. Adapun pada triwulan I-2019, penjualan mobil terkontraksi -11,08 persen dibandingkan triwulan I-2018.
”Daya beli masyarakat terganggu lantaran harga bahan pokok tidak sepenuhnya terjaga di mana inflasi bulan Juni tercatat cukup tinggi di level 0,6 persen,” kata David.
Selain itu, pelemahan ekonomi global pun membawa arus investasi di Indonesia menjadi fluktuatif. David memandang pertumbuhan investasi tidak terlihat signifikan akibat pemerintah belum mampu merealisasikan berbagai kemudahan investasi seperti yang sudah dilakukan oleh Vietnam.
”Peningkatan investasi belum terlihat secara drastis. Kepastian hukum yang sebenarnya sudah banyak diatur dalam tataran kebijakan, tetapi belum jalan di lapangan. Persoalannya masih berkutat soal rumitnya birokrasi,” ujarnya.
Pelemahan konsumsi
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Wisnu Wardhana, menilai penggerak pertumbuhan PDB Indonesia masih berasal dari konsumsi swasta dan pemerintah. Namun, potensi pelemahan konsumsi rumah tangga perlu mulai diwaspadai mengingat pada triwulan II-2019 terdapat pelemahan dari komponen transportasi dan komunikasi.
Dari perspektif produksi, lanjut dia, pertumbuhan produksi mobil pada triwulan I-2019 tumbuh sebesar 9 persen apabila dibandingkan periode triwulan I-2018. Namun, pada periode yang sama, penjualan mobil mengalami kontraksi 10,8 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Menurut Wisnu, penurunan permintaan ini tidak hanya akan menahan laju inflasi, tetapi juga menunjukkan tanda-tanda pelemahan permintaan domestik di sisa tahun 2019. ”Regulator perlu menggunakan semua instrumen yang ada untuk mendukung pertumbuhan, termasuk melalui jalur pelonggaran moneter,” tuturnya.