Hong Kong sebagai pusat keuangan dunia rentan dengan isu sensitif. Dengan demikian, Beijing perlu berhati-hati dalam menangani aksi protes Hong Kong.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
BEIJING, SENIN - China mulai bersikap tegas dalam menangani aksi protes di Hong Kong. Aksi protes selama dua bulan terakhir telah mencoreng wajah China.
Intimidasi Beijing dengan cara tidak langsung terlihat belakangan ini. Militer China merilis sebuah video propaganda yang memperlihatkan latihan militer untuk melawan protes di Hong Kong.
“Sejauh ini, Beijing mengadopsi strategi intimidasi dan menunggu hingga awal September 2019. Pada bulan ini, masa masuk sekolah akan dimulai. Kebanyakan pengunjuk rasa adalah pelajar dan mahasiswa,” kata analis politik Dixon Sing, Senin (5/8/2019).
Skenario paling beresiko yang dapat terjadi adalah Beijing akan menerjunkan kekuatan militer. Ribuan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China telah ditempatkan di Hong Kong, meskipun keberadaan mereka tidak menonjol.
PLA dinyatakan dapat diturunkan untuk menjaga ketertiban umum. Namun, hukum Hong Kong menyatakan, PLA tidak boleh mengintervensi urusan domestik di kawasan tersebut.
Selama dua bulan terakhir ini, China pada umumnya bersikap menunggu dan melihat perkembangan. China hanya merespons aksi protes dengan menyatakan dukungan kepada Pemerintah Hong Kong dan mengecam kerusuhan yang terjadi.
Strategi untuk tidak mengintervensi ini juga diterapkan Beijing ketika aksi protes “Gerakan Payung” digelar di Hong Kong pada 2014. Waktu itu, demonstrasi berlangsung lebih dari dua bulan, tetapi kemudian melemah setelah para pemimpin protes ditangkap.
Akan tetapi, demonstrasi warga Hong Kong tak kunjung menunjukkan tanda berhenti. Padahal, aksi protes belakangan terus berakhir rusuh dengan petugas kepolisian. Selama tiga hari terakhir, yaitu 3-5 Agustus 2019, polisi menembak pengunjuk rasa dengan gas air mata dan peluru untuk membubarkan massa.
Aksi menunggu dan mengamati bisa jadi tidak cukup bagi China. Penantian berarti memperpanjang rasa malu China terhadap wibawanya. Presiden China Xi Jinping tidak menoleransi perbedaan pendapat.
“Aksi protes Hong Kong membuat Beijing kehilangan muka. Figur politik menghadapi dilema mengenai apakah, kapan, dan bagaimana mereka mengintervensi (aksi protes),” kata pengajar S. Rajaratnam School of International Studies, Michael Raksa.
Ada beberapa strategi lainnya yang bisa saja dilakukan China. Beberapa di antaranya membujuk Pemerintah Hong Kong untuk berkompromi dengan pengunjuk rasa atau merancang pengunduran diri Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam.
Akan tetapi, strategi tersebut dapat membuat China terlihat menyerah atas tuntutan warga Hong Kong. China justru dinilai akan menerapkan strategi peningkatan intimidasi kepada para pengunjuk rasa.
Picu kepanikan
Hong Kong sebagai pusat keuangan dunia rentan dengan isu sensitif. Dengan demikian, Beijing perlu berhati-hati dalam menangani aksi protes Hong Kong.
Langkah yang tidak tepat dapat memicu kepanikan yang tidak perlu sehingga mengalirkan investasi dan perusahaan keluar dari wilayah tersebut. Pengerahan kekuatan militer diperkirakan akan menciptakan dampak tersebut.
“Kondisi itu akan secara serius merusak legitimasi politik Xi Jinping dan Partai Komunis, baik secara internal maupun eksternal. Kecaman internasional meluas karena mengingatkan penindasan yang terjadi pada protes Lapangan Tiananmen tahun 1989,” kata Raksa.
Inspektur Senior Hubungan Masyarakat Polisi Hong Kong, Kong Wing-cheung, mengatakan, sejumlah petinggi Hong Kong telah menyatakan tidak membutuhkan bantuan PLA. Menurut Kong, kepolisian akan memenuhi mandat mereka untuk melindungi masyarakat serta menegakkan hukum dan keadilan.
Skenario paling beresiko yang dapat terjadi adalah Beijing menerjunkan kekuatan militer. Ribuan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China telah berada di Hong Kong.
“Kemungkinan China untuk menerapkan langkah tanpa kekerasan dan damai itu rendah. Pada titik ini, Presiden Xi cenderung ke arah sikap garis keras,” kata analis politik Hong Kong, Willy Lam.
Seperti yang diketahui, selama beberapa bulan ini, warga Hong Kong menuntut pemerintah mencabut rancangan undang-undang ekstradisi. RUU itu dapat membuat Hong Kong mengekstradisi warganya ke China, yang selama ini dinilai tidak mengedepankan hak asasi manusia. (AFP/AP)