Daulat Pangan Kedelai Grobogan
Tempe adalah makanan khas Indonesia yang diusulkan menjadi warisan budaya dunia. Sayang, kebanyakan bahan bakunya, kedelai, mengandalkan impor. Namun, di Rumah Kedelai Grobogan, kedelai lokal dimuliakan, daya saingnya diangkat sejak proses tanam.
Eddy Suharno mengamati tiga anggota timnya saat hendak menuangkan cairan dasar tahu ke cetakan kayu berukuran 40 cm x 40 cm, Rabu (19/6/2019). Petugas produksi rumah tahu Hygiena di Rumah Kedelai Grobogan itu memastikan pembuatan tahu higienis sejak awal.
”Sejak awal diproses, tahu harus higienis. Termasuk setelah dikemas, harus berada di dalam pendingin,” ujar Eddy. Tahu itu berbahan baku kedelai lokal, varietas Grobogan.
Kedelai Grobogan merupakan pemurnian kedelai lokal Malabar Grobogan. Dengan kandungan protein 43,9 persen, varietas itu beradaptasi baik pada kondisi lingkungan, seperti pada musim hujan, dan beririgasi baik. Polong masaknya tak mudah pecah dan daun luruh 95-100 persen saat panen.
Kepala Dinas Pertanian Grobogan, Jawa Tengah, Edhie Sudaryanto menuturkan, warna kedelai Grobogan lebih terang daripada kedelai impor. Hal itu karena langsung diolah setelah dipanen. Berbeda dari kedelai impor yang harus melalui perjalanan jauh untuk sampai Indonesia.
Dengan budidaya yang baik, kedelai lokal menjadi bahan baku yang berkualitas untuk produk turunannya, seperti tempe dan tahu. Satu kemasan tahu Hygiena (isi enam potong) yang diproduksi Rumah Kedelai Grobogan (RKG) dihargai Rp 6.000. Sebagai perbandingan, dengan jumlah dan ukuran yang sama, tahu di pasar dengan bahan baku kedelai impor harganya sekitar Rp 3.000.
”Tempe dan tahu dari kedelai lokal memang lebih mahal daripada kedelai impor karena kualitas bahan bakunya berbeda,” ujar Edhie.
Tempe dan tahu Hygiena diproduksi di RKG yang juga tempat promosi kedelai serta sarana belajar warga mengenai pertanian dan pengolahan komoditas kedelai. Berdiri di lahan seluas sekitar 1 hektar, siapa pun bisa berkunjung ke sarana yang dibangun Dinas Pertanian Grobogan itu.
Kurang diminati
Menurunnya produksi kedelai di Grobogan, terutama pada 2012, menjadi awal mula pendirian RKG. Sebelumnya, banyak petani beralih ke padi dan kapas. Harga kedelai pun kalah dari jagung. Kedelai impor dominan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Edhie ingin ada sarana edukasi yang menjadi etalase produksi kedelai, dari hulu sampai hilir, termasuk soal perbenihan. ”Saya ingin membuktikan kualitas kedelai lokal jauh lebih baik,” katanya.
Edhie pun berjuang hingga mendapat persetujuan dari Bupati Grobogan, DPRD Grobogan, dan Gubernur Jawa Tengah. RKG dibangun pada 2013 dan mulai beroperasi pada 2015.
Awalnya RKG hanya memproduksi tempe Hygiena dengan bahan baku kedelai lokal. Dalam perkembangannya, fasilitas RKG kian lengkap, yakni sentra pembenihan, rumah produksi tahu, kebun percontohan, learning center, restoran, dan ruang pamer produk olahan.
Tak ingin menyentuh urusan ekspor-impor, Edhie hanya ingin branding kedelai Grobogan. ”Dulu orang bilang 1 kg kedelai lokal hanya dapat dijadikan 1,3 kg tempe. Kami membuktikan di RKG, 1 kg kedelai lokal bisa menjadi 1,6 kg tempe,” ujar Edhie.
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47 Tahun 2017, harga acuan pembelian di petani untuk kedelai lokal Rp 8.500 per kg, sedangkan kedelai impor Rp 6.550 per kg. Namun, kata Edhie, harga itu tak tercapai karena kedelai lokal mengikuti harga kedelai impor.
Hal itu memunculkan anggapan kualitas kedelai lokal kalah dibanding impor. Menurut Edhie, agar harga bisa ditekan, pola tanam dan produksi kedelai lokal menjadi tak ideal. Padahal, jika diperlakukan dengan semestinya, kedelai lokal jauh lebih unggul.
Edhie menyatakan, masyarakat perlu terus dikenalkan pada tempe dan tahu yang berasal dari kedelai lokal. Adapun tempe dan tahu yang banyak beredar saat ini berbahan baku kedelai impor yang merupakan hasil rekayasa genetika.
Menurut dia, perlu upaya keras untuk membawa kedelai lokal lebih dikenal luas. Apalagi, ada pemahaman pada masyarakat bahwa tempe itu makanan murah. Karena itu, harga yang lebih murah cenderung lebih dipilih masyarakat.
Namun, Edhie meyakini, martabat kedelai lokal bisa terus diangkat seiring gencarnya promosi. ”Ini potensial bagi petani. Di sisi lain, mereka perlu jaminan siapa yang akan membeli,” ujarnya.
Edukasi
RKG diharapkan dapat mengedukasi masyarakat dan petani terkait varietas kedelai lokal. Di learning center, siapa pun dapat mengikuti pelatihan budidaya kedelai lokal. Para peserta dilatih langsung oleh praktisi/petani yang sudah menghasilkan kedelai lokal 2,5 ton per hektar.
Manajer RKG Rarastianevi Annisa mengatakan, biaya paket pelatihan di RKG Rp 2,5 juta per hari untuk maksimal 10 orang. Fasilitas yang didapat adalah sertifikat, modul pelatihan, bahan praktik, dan produk olahan kedelai (untuk paket pelatihan produk olahan kedelai).
Menurut dia, para peserta pelatihan biasanya merupakan rombongan dari sekolah. Ada juga dari warga umum atau warga daerah lain yang hendak belajar. ”Peserta dapat berkeliling dan belajar seluruh tahapan, mulai dari pembudidayaan kedelai hingga produksi tahu dan tempe,” ujar Rarastianevi.
Ia menambahkan, dalam sehari, RKG mengolah 40 kg kedelai dalam produksi tempe Hygiena dan 20 kg kedelai untuk tahu Hygiena. Jumlah itu bisa bertambah jika ada permintaan.
Saat ini produk tempe Hygiena dan tahu Hygiena yang diproduksi di RKG sudah masuk ke sejumlah supermarket di Kota Semarang dan Magelang. Di Purwodadi, sejumlah toko, swalayan, dan rumah sakit juga berlangganan produk-produk RKG tersebut.
Pemkab Grobogan pun rutin mengikuti pameran di sejumlah daerah dalam rangka memperkenalkan kedelai Grobogan. Selain dalam rangka memperkenalkan varietas Grobogan, pameran juga untuk mendorong agar muncul fasilitas/sarana serupa di daerah lain.
”Kini sudah muncul rumah kedelai di Lamongan (Jawa Timur). Lampung dan Yogyakarta juga sudah mengembangkan kedelai lokal. Kami harap bisa terus bertambah sehingga semakin banyak petani yang menanam dan ada yang membeli,” kata Edhie.
Pada 22 Mei, RKG masuk dalam Top 99 Inovasi Pelayanan Publik 2019 yang diselenggarakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. RKG menjadi inovasi daerah asal Jateng pada kategori ketahanan pangan.
Selama ini, kedelai lokal, termasuk varietas Grobogan, seakan tenggelam di bawah bayang-bayang kedelai impor. Swasembada kedelai yang diwacanakan pemerintah bakal sulit terwujud jika kedelai lokal belum juga mendapat tempat. Karena itu, kehadiran RKG menjadi langkah penting demi terwujudnya cita-cita itu.