Jalan Terjal Menuju Pembangunan Rendah Karbon
Kebijakan Pembangunan Rendah Karbon atau PRK masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Embrio kebijakan ini sebetulnya telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
Rencana aksi mencakup enam bidang, yaitu pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, pengolahan limbah, serta kegiatan pendukung lain.
Apa yang dapat dipelajari dari Rencana Aksi Nasional (RAN) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berjalan selama ini? Bagaimana agar Indonesia dapat lebih baik? Penting untuk melihat tujuh catatan kritis terkait implementasi RAN-GRK sejak kebijakan ini diluncurkan.
Penting untuk melihat tujuh catatan kritis terkait implementasi RAN-GRK sejak kebijakan ini diluncurkan.
Banyak gangguan
Pertama, implementasi Perpres No 61/2011 tentang RAN- Penurunan Emisi GRK banyak terganggu oleh kehadiran UU No 23 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang ditarik kembali ke pusat dan provinsi dalam bidang kehutanan, energi, serta sumber daya mineral membuat pemerintah kabupaten/kota kurang bertanggung jawab atas permasalahan lingkungan. Sementara pemerintah provinsi tak memiliki kendali kuat di tingkat kabupaten/kota.
Kedua, dukungan substantif, yaitu komitmen (political will) masih dipertanyakan dilihat dari sisi pembiayaan dan masih terjadinya konflik kepentingan antarsektor yang eskalasinya terus meningkat.
Ketiga, kemampuan dan kedisiplinan mengisi informasi pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) dalam angka Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) Indonesia belum berjalan optimal karena belum mencakup aktivitas semua aktor serta mutasi yang kerap terjadi di daerah membuat banyak kendala teknis.
Keempat, program dan kegiatan terkait GRK masih kental pada ”nuansa proyek” dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan serta membangun tanggung jawab bersama.
Kelima, kearifan lokal belum terlembaga dalam strategi pengurangan emisi GRK, baik dalam hal tata kelola maupun pengakuan (acknowledgement) dan capaian (performance).
Keenam, walaupun pendanaan terkait dengan perubahan iklim sudah masuk dalam sistem penganggaran, Indonesia belum memiliki standar insentif dalam bentuk harga karbon.
Kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang ditarik kembali ke pusat dan provinsi dalam bidang kehutanan, energi, serta sumber daya mineral membuat pemerintah kabupaten/kota kurang bertanggung jawab atas permasalahan lingkungan.
Ketujuh, kegiatan GRK belum banyak mendapat pendanaan swasta, misal melalui program tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan. Masih banyak perusahaan terkait energi yang belum memelihara pembangkit listrik tenaga surya dan mikrohidro yang dibangun pemerintah. Demikian juga dengan pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar memasak.
Kedelapan, peranan agensi internasional dalam pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) masih berfokus pada dukungan pendanaan dan teknologi. Sementara dari sisi pengembangan sumber daya manusia dan jejaring kerja sama sosial (social networks) belum dioptimalkan.
Mengubah cara pandang
Perlu suatu cara pandang baru yang melihat kebijakan PRK lebih berakar pada kondisi lokal dan berorientasi pada pengembangan kapabilitas sumber daya manusia. Keberhasilan kebijakan PRK terjadi jika telah terbangun rasa tanggung jawab bersama. Pengalaman memperlihatkan kebijakan yang sentralistis dan abai terhadap pemenuhan prinsip demokratis, partisipatif, dan inklusif tidak akan memberikan hasil pembangunan yang berkelanjutan.
Perlu upaya terus-menurus untuk menginternalisasikan dan mengoperasionalisasikan konsep pembangunan rendah karbon , baik dalam tingkatan pemerintahan maupun dalam bentuk komunikasi, juga dukungan dari agensi-agensi yang memiliki pengaruh terhadap pembentukan kebijakan. Ini agar mudah diimplementasikan, mulai dari unit terkecil, khususnya keluarga, komunitas, hingga masyarakat adat.
Kemampuan untuk mengubah perilaku aktor akan menjadi kunci bagi keberhasilan kebijakan PRK. Sebetulnya dengan memberikan nilai atau harga atas jasa lingkungan hidup seperti air dan udara bersih, kualitas tanah dan keanekaan hayati akan sangat membantu upaya meminimalkan tindakan eksploitasi sumber daya alam.
Perlu suatu cara pandang baru yang melihat kebijakan PRK lebih berakar pada kondisi lokal dan berorientasi pada pengembangan kapabilitas sumber daya manusia.
Namun, untuk menuju instrumen itu, diperlukan proses yang tidak mudah. Insentif terhadap pembangunan rendah karbon harus segera dimulai dengan memberikan nilai (value) atas jasa lingkungan.
Pendapatan pajak atau retribusi atas pemanfaatan jasa lingkungan dan berdampak terhadap kondisi daya dukung air, tanah, dan udara perlu kembali diinvestasikan pada program yang mendukung keberlanjutan sumber daya tersebut.
Basis transfer anggaran pusat ke daerah harus memberikan ruang yang semakin besar bagi tumbuhnya kesadaran menjaga kualitas lingkungan hidup di tingkat lokal. Sudah saatnya formula penghitungan dana transfer dan perimbangan ke daerah memperhatikan indikator kerusakan lingkungan sebagai faktor ”pengali negatif” serta memberikan kredit atas keberadaan kearifan lokal. Misal, awik-awik yang menjamin pembangunan berkelanjutan
Menimbang pertumbuhan alih fungsi lahan yang tak terkendali demi mengejar pertumbuhan ekonomi, perlu dipertimbangkan untuk membentuk tim koordinasi yang mampu menyelaraskan kebijakan tata ruang\' rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana kerja dalam berbagai tingkatan pemerintah. Tim koordinasi ini mewakili segenap pemangku kepentingan, termasuk majelis adat dan terbebas dari intervensi kepentingan pemburu rente.
Tim koordinasi ini mewakili segenap pemangku kepentingan, termasuk majelis adat dan terbebas dari intervensi kepentingan pemburu rente.
Indonesia perlu memiliki strategi ”diplomasi hijau” yang lebih baik (PRK). Diplomasi hijau idealnya mampu memperkuat posisi daya saing dan inklusivitas. Tiga pilar berikut penting untuk mendapat perhatian dalam diplomasi, yaitu menunjukkan bahwa pusat dan daerah berkomitmen menyediakan anggaran pendamping bagi program PRK, membangun rasa kepercayaan donor dengan semakin meningkatnya keberhasilan program-program PRK, dan mengembangkan jiwa kewirausahaan sosial.
(Maxensius Tri Sambodo Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian Ekonomi LIPI)