Pasca-kemerdekaan, para perupa menciptakan karya-karya seni rupa khas Indonesia. Mereka yakin, seniman Indonesia memiliki bentuk dan sejarah sendiri, tidak semata-mata berorientasi pada dunia Barat.
Tentu tak bisa dimungkiri, sebelum era kemerdekaan, tren seni rupa awalnya masih berorientasi pada karya-karya seniman ekspatriat Belanda yang biasa menggelar pameran di perserikatan seni Kunstkring di Batavia atau Bataviasche Kunstkring. April 1938, maestro seni lukis Sindoedarsono Sudjojono bahkan pernah mengirim satu lukisan cat minyak berukuran 50 x 60 sentimeter berjudul ”Kinderen met Kat” atau ”Anak-anak dengan Kucing” yang kemudian terpilih sebagai salah satu karya terbaik dan gambarnya dicetak menjadi sampul katalog pameran Kunstkring.
Pada masa itu, lukisan-lukisan yang dipamerkan di Kunstkring rata-rata masih didominasi karya-karya bercorak mooi indie (Hindia molek), sebuah tren lukisan yang cenderung mengeksplorasi eksotika-eksotika Timur. Namun, ketika mengajukan lukisan ”Kinderen met Kat”-nya, Sudjojono berani mendobrak tren itu dengan menggambar fenomena kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia, anak-anak dan kucing. Jiwa pemberontak Sudjojono terhadap hegemoni tren Barat mulai sebenarnya sudah muncul sejak masa mudanya.
Anggapan tentang Hindia (Timur) yang molek muncul berdasarkan pandangan negara-negara kolonial. Sementara itu, bagi Sudjojono, Hindia Timur yang otentik adalah Hindia Timur yang sedang diisap oleh kolonialisme, ditindas, dan dijadikan titik perluasan kapitalisme Barat. Itulah Nusantara yang berabad-abad dijajah.
Karena itulah, Sudjojono mengimbau pelukis pada zaman itu untuk melukis pabrik-pabrik gula, petani kurus, mobil orang kaya, busana kaum perkotaan, dan aneka macam potret ketertindasan orang Timur. ”Keberanian Sudjojono menggugat hegemoni Barat menjadikan dia disebut sebagai bapak seni lukis Indonesia modern,” kata pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Aminudin TH Siregar.
Kebangkitan seni rupa nasional
Suatu saat, Sudjojono marah besar ketika seseorang mengatakan, kalau tidak ada seni rupa Barat, seni rupa Indonesia tidak ada. Mendengar pernyataan itu, ia langsung marah dan menulis di atas kertas merang, ”Kami tahu ke mana seni lukis Indonesia akan kami bawa! Mooi indie itu hanya melayani pasar, melayani turis. Kita membutuhkan realitet nasi, realitas yang konkrit di sekitar kehidupan kita, kelaparan, kemiskinan, dan kebingungan.” Demikian ujar kurator Suwarno Wisetrotomo di sela Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #2, Lini Transisi di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, akhir pekan lalu.
Setelah era kemerdekaan, karya-karya para perupa Indonesia semakin membumi dengan kondisi riil bangsa Indonesia yang tengah berjuang bangkit sebagai sebuah negara baru. Srihadi Soedarsono membuat sket saat pesawat Dakota VT-CLA jatuh tertembak di Dusun Ngoto, Bantul, Yogyakarta, 29 Juli 1947. Pematung Edhi Sunarso didaulat Presiden Soekarno untuk membuat patung-patung landmark di Jakarta, sementara Sudjojono membuat lukisan ”Pertempuran antara Sultan Agung dan Jan Peterszoon Coen” yang tahun 1974 kemudian diserahkan kepada Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dengan harga Rp 5,5 juta pada waktu itu.
Karya-karya seni rupa pada akhirnya bukan lagi menjadi semata-mata produk seni an sich, tetapi sekaligus penanda bangkitnya nasionalisme dan penanda momen-momen penting sejarah bangsa. Karena begitu pentingnya peran seni rupa dalam perjalanan sebuah bangsa, banyak negara maju memberikan perhatian total pada seni rupa.
Salah satu indikator negara maju adalah mereka mau mengurusi seni. China menunjukkan hal ini.
”Salah satu indikator negara maju adalah mereka mau mengurusi seni. China menunjukkan hal ini. China yang sangat mapan secara ekonomi berani menginvestasikan triliunan dollar untuk membuat biennale, membangun museum berstandar internasional di setiap provinsi, hingga mengundang seniman-seniman dari seluruh dunia. Ini proyek rugi, tetapi investasi besar ke depan. Sekarang mereka tinggal menikmati,” papar Suwarno.
Bagaimana nasib seni rupa Indonesia? Semoga kelak demikian adanya.