Kisah Para Saksi Perubahan
Udin melihat desanya, Busuk Sukasari, di Cikarang Pusat, Bekasi, berubah dengan begitu cepat dalam dua dasawarsa terakhir.
Udin melihat desanya, Busuk Sukasari, di Cikarang Pusat, Bekasi, berubah dengan begitu cepat dalam dua dasawarsa terakhir. Menjelang akhir Juli lalu, ia melihat tetangganya yang juga penghuni rumah terakhir di sana sedang bersiap-siap untuk pergi, menyusul dirinya dan warga lain yang telah lebih dulu hengkang.
Udin (54) turut membantu pemilik rumah bersiap pindah. Udin sendiri lahir dan tumbuh di Busuk Sukasari hingga harus pindah 10 tahun lalu karena ada proyek pengembangan perumahan.
Kampung Busuk Sukasari rindang dengan hutan bambu dan pohon-pohon jambu air. Jumat (26/7/2019) siang, kampung itu senyap. Rumah-rumah terkunci, sandal anak-anak berdebu terserak di teras rumah, bajak usang di sebuah sudut rumah, dan kandang-kandang sapi serta kambing sudah lama kosong.
Kampung itu dikelilingi lahan terbuka ribuan hektar membentang yang, menurut rencana, akan dikembangkan menjadi kawasan hunian eksklusif. Tak jauh dari sana terdapat kompleks hunian Meikarta dan Deltamas. Untuk menuju ke kampung itu dengan mobil, jalan yang tersedia hanya setapak dari tanah dari kompleks hunian eksklusif tersebut.
Udin mengisahkan, sebagian besar warga kampung itu sudah pergi secara bertahap. Penghuni terakhir, sebanyak tiga keluarga, pergi karena lahannya terkena proyek pembangunan rel kereta. Dulu, kampung itu merupakan desa petani dan peternak. Mereka memiliki sawah, kebun, lahan bambu, empang, dan kambing.
Udin sedari dulu hanya buruh sawah dan kebun. Ia meninggalkan lahannya ke kampung baru tak jauh dari sana, saat lahannya dibeli perusahaan pengembang dengan total Rp 7 juta. ”Waktu itu rumah saya gotong ke sana, lalu dibangun ulang di sana,” katanya.
Tak jauh dari sana, beberapa keluarga memilih bertahan. Mereka tinggal di Dusun Parung Lesang, Pasir Ranji, Cikarang Pusat. Sebelas keluarga tinggal di lahan yang terisolasi. Untuk ke sana hanya ada jalan setapak yang hanya cukup untuk sepeda motor, sangat kontras dari kondisi kota-kota baru yang dikelola pengembang di sekelilingnya yang berjalan aspal mulus lebar.
Di antara proyek-proyek perumahan raksasa, warga Parung Lesang bertahan hidup seperti di masa lalu. Beberapa nyai dan aki berjalan di pematang untuk mencuci di kali dan menggembala kambing.
Salah seorang warga, Mulyadi Malana (19), mengatakan, perusahaan-perusahaan pengembang mulai mencari tanah di desa mereka pada 1990-an. ”Saat itu saya masih SD, tapi mereka sudah berdatangan. Tidak beli sekaligus, tapi satu-dua,” katanya.
Salah seorang warga, Mulyadi Malana (19), mengatakan, perusahaan-perusahaan pengembang mulai mencari tanah di desa mereka pada 1990-an. ”Saat itu saya masih SD, tapi mereka sudah berdatangan. Tidak beli sekaligus, tapi satu-dua,” katanya.
Perlahan-lahan, desa mereka berubah. Hamparan sawah dikeringkan dan ditimbun, perbukitan dan kebun diratakan.
Menurut Mulyadi, lahan mereka sudah lama diincar para pengembang. ”Lahan kami ditawar Rp 800.000 per meter persegi, kami mau Rp 5 juta per meter persegi. Kalau ikut harga mereka, kami tidak akan bisa cari rumah di sini lagi karena harga akan lebih tinggi,” katanya.
Harga tanah kawasan itu dari Rp 200.000-Rp 300.000 per meter persegi lima tahun lalu, sekarang Rp 1 juta per meter persegi.
Fenomena perubahan kawasan ini terjadi di hampir seluruh perkampungan dan perdesaan di sekitar Jabodetabek. Di Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten, sebagian lahannya kini menjadi area pengembangan baru. Salah satu desa yang bertahan, yaitu Desa Lengkong Kulon. Mata pencarian sebagai peternak dan penggarap kebun nyaris punah karena lahan garapan beralih fungsi.
Pengajar serta peneliti dari Departemen Perencanaan Kota dan Real Estate Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, mengatakan, perkembangan permukiman perkotaan dimulai dari sekitar 1984. Saat itu, izin-izin pemanfaatan lahan diterbitkan untuk swasta guna pengembangan kawasan baru di sekitar Jakarta. Tujuan utamanya menyediakan perumahan yang terjangkau untuk warga.
Perkembangan permukiman perkotaan dimulai dari sekitar 1984. Saat itu, izin-izin pemanfaatan lahan diterbitkan untuk swasta guna pengembangan kawasan baru di sekitar Jakarta. Tujuan utamanya menyediakan perumahan yang terjangkau untuk warga.
Saat itu, kata Suryono, Badan Pertanahan Nasional mencatat, sekitar 92.000 hektar lahan dikuasai dengan izin untuk pembangunan di Jabodetabek.
Pada 1998-1999 terjadilah desentralisasi dan krisis moneter. Pengembang kota baru hampir semuanya nyaris bangkrut dan terhenti. Investasi pun kembali ke kota yang, antara lain, fokus menumbuhkan pusat-pusat perbelanjaan dan superblok atau kompleks hunian tinggi, perkantoran, serta pusat perbelanjaan dalam satu lokasi.
Pada 2000-2005, ada sekitar 3 juta meter persegi pusat perbelanjaan dibangun di dalam Jakarta. Superblok menjadi strategi pengembang menghadapi persaingan sengit di antara mereka. Pembangunan superblok mencapai puncak pada 2010 dan bertahan hingga kini karena kestabilan politik.
Pada 2002-2007 itu, beberapa pengembangan apartemen dan rumah susun di Jakarta mengantongi izin untuk pembangunan hunian kelas bawah. Namun, akhirnya, sebagian lahan digunakan untuk membangun apartemen mahal.
Kini, pembangunan kawasan di luar Jakarta kembali bergairah. Data dari Executive Director Real Estate Indonesia Dhani Muttaqin, terdapat 33 kota baru yang dikelola pengembang mengelilingi Jakarta dengan luas sekitar 50.338 hektar atau hampir setara dengan luas DKI Jakarta yang mencapai 66.150 hektar.
Namun, kawasan pengembangan baru itu meleset dari tujuan awal untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal warga Jakarta dan sekitarnya.
Menurut data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2017, sebanyak 51,77 persen keluarga di DKI Jakarta belum mempunyai rumah sendiri. Baru 1,36 juta keluarga dari total 2,82 juta keluarga warga Jakarta mempunyai rumah sendiri. Artinya, ada kebutuhan rumah (backlog) 1,46 juta rumah di DKI saja.
Jabodetabek kini memang meraksasa, tetapi tak terkendali. Masalah seperti ketimpangan penyediaan infrastruktur dasar, misalnya jalan publik dan jaringan transportasi umum, tak juga terpenuhi. Belum bicara soal air bersih, udara bersih, dan ruang terbuka hijau.
Jabodetabek kini memang meraksasa, tetapi tak terkendali. Masalah seperti ketimpangan penyediaan infrastruktur dasar, misalnya jalan publik dan jaringan transportasi umum, tak juga terpenuhi. Belum bicara soal air bersih, udara bersih, dan ruang terbuka hijau.
Suryono dan peneliti sejawatnya di Untar, Liong Ju Tjung, menyarankan pemerintah mengevaluasi kebijakan pengembangan perumahan skala besar di sekitar Jakarta. Selain itu, pemerintah daerah juga diminta menghentikan pemberian izin bagi pengembang beraktivitas di kawasan agrikultur produktif.
Pusat dan daerah diminta bekerja sama mengoptimalkan ruang dengan memotong spekulasi harga lahan serta properti. Pemerintah daerah didorong mengukuhkan kapasitas dan wewenangnya dalam mengelola lahan untuk hunian. Terakhir, mengorganisasi dan mengintegrasikan kawasan terbangun di daerah pinggiran menjadi lebih kompak dan terkoneksi baik dengan infrastruktur pendukung.
Tentunya butuh ketegasan lebih untuk mengikuti saran tersebut dan menghentikan kekacauan tata ruang Jabodetabek.
(Ratih P Sudarsono/Pingkan Elita Dundu/Neli Triana)