Kebenaran harus diperjuangkan demi meraih keadilan. Baiq Nuril, mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, NTB, membuktikan hal itu. Setelah berjuang tanpa lelah, Jumat (2/8/2019), Baiq Nuril akhirnya menerima amnesti dari Presiden Joko Widodo.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kebenaran harus diperjuangkan demi meraih keadilan. Apa pun risikonya. Baiq Nuril Maknun (41), mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, membuktikan hal itu. Setelah berjuang tanpa lelah hampir empat tahun lima bulan, akhir pekan lalu, Jumat (2/8/2019), Baiq Nuril akhirnya menerima amnesti (peniadaan hukuman) dari Presiden Joko Widodo.
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2019 tentang Pemberian Amnesti untuk Baiq Nuril memberikan kekuatan dan harapan bagi para korban pelecehan/kekerasan seksual di Tanah Air untuk berani dan berjuang mendapatkan keadilan. Sebab, untuk pertama kali dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, amnesti tersebut diberikan kepada korban pelecehan seksual yang dikriminalisasi.
Kasus yang menimpa Baiq Nuril menjadi menarik perhatian publik karena banyak yang tidak menyangka perjuangan perempuan yang menjadi terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ini akan sampai sejauh itu. Apalagi, sampai berujung pada pemberian amnesti dari Presiden.
Semenjak Baiq Nuril mengajukan amnesti, setelah permohonan peninjauan kembali (PK) ditolak Mahkamah Agung (MA) pada awal Juli 2019, ada dua situasi yang berkembang. Di satu sisi, organisasi/lembaga perlindungan perempuan dan hak asasi manusia optimistis Baiq Nuril bisa meraih keadilan, apalagi permohonan amnestinya langsung ditanggapi Presiden Jokowi dan DPR memberikan sinyal dukungan.
Di sisi lain, ada kalangan yang pesimistis dan beranggapan perjuangan itu akan kandas karena tidak pernah ada sejarah amnesti diberikan dalam kasus seperti yang dialami Baiq Nuril. Sebab, belajar dari pengalaman selama ini, pemberian amnesti lebih lekat dengan kasus-kasus politik.
Apakah amnesti hanya diterapkan pada kasus politik? Atas pertanyaan itu, Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, berpendapat, fakta historis menunjukkan amnesti dapat diberikan kepada terpidana dengan tujuan beragam, dari menyelesaikan pemberontakan daerah, memastikan partisipasi pembangunan, pembebasan oposisi, hingga perdamaian. Dengan keragaman tujuan itu, seharusnya kasus Baiq Nuril bisa dilihat secara lebih adil, sebagai perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual oleh atasannya (Kompas, 26/7/2019).
Oleh karena itu, ke depan, amnesti terhadap Baiq Nuril yang pertama di masa pemerintahan Jokowi diharapkan menjadi preseden, yakni modal sosial yang kuat sekaligus yurisprudensi politik untuk meninjau perkara-perkara lain saat perempuan korban pelecehan seksual justru dikriminalisasi.
Bangkitkan solidaritas
Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan kepala sekolah tempatnya mengajar. Kasus hukum Baiq Nuril berawal tahun 2015 ketika dia dituduh menyebarkan konten pornografi dan didakwa melanggar UU ITE. Namun, Pengadilan Negeri Mataram membebaskannya. Jaksa mengajukan kasasi dan MA memvonisnya bersalah dengan hukuman pidana penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta. Baiq mengajukan PK, tetapi ditolak MA.
Namun, Baiq Nuril tak menyerah. Ia mengajukan amnesti. Ia tidak sendirian. Selain didukung tim penasihat hukum yang dipimpin Joko Jumadi, sejumlah organisasi/lembaga perlindungan perempuan dan hak asasi manusia berada di belakang Baiq Nuril.
Selain menggalang petisi #AmnestiUntukBaiq Nuril #SaveIbuBaiq Nuril melalui laman www.change.org, sepanjang Juli 2019 KoalisiSaveNuril nonstop menggalang dukungan dari sejumlah lembaga dan tokoh untuk amnesti bagi Baiq Nuril dalam berbagai cara.
Selain bersuara lewat media massa, solidaritas diberikan saat Baiq Nuril mendatangi DPR, Kantor Staf Kepresidenan, dan kementerian/lembaga. Di Lombok, hampir 1.000 surat dikumpulkan untuk mendukung amnesti kepada Baiq Nuril.
Di luar itu, perjuangan Baiq Nuril pun mendapat dukungan DPR, bahkan membuat anggota DPR dari fraksi-fraksi yang selama ini berseberangan bersatu dan mendukung langkah Presiden Jokowi untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. Tak butuh waktu lama, pada akhir Juli 2019, Komisi III DPR menyetujui secara aklamasi surat Presiden Jokowi terkait pemberian amnesti kepada Baiq Nuril.
Perjuangan Baiq Nuril akhirnya berujung. Presiden menandatangani Keppres No 24/2019 tentang Pemberian Amnesti, Senin (29/7/2019). Kemudian, pekan lalu, Jumat petang, Baiq berangkat ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. Dia menerima salinan Keppres No 24/2019 tentang Pemberian Amnesti dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.
Amnesti tersebut menjadi langkah progresif dari pemerintah yang melakukan terobosan demi rasa keadilan, kemanusiaan, dan kepentingan negara. Sebab, menurut Joko Sumadi, Presiden tak hanya melihat kepentingan Baiq Nuril semata, tetapi melihat kepentingan yang lebih besar, yaitu meyakinkan bahwa negara hadir melindungi korban pelecehan/kekerasan seksual.
Presiden tak hanya melihat kepentingan Baiq Nuril semata, tetapi melihat kepentingan yang lebih besar yaitu meyakinkan bahwa negara hadir melindungi para korban pelecehan/kekerasan seksual.
Bagi Baiq Nuril, amnesti tersebut tentu menjadi pelajaran berharga, sekaligus pesan bagi korban pelecehan/kekerasan seksual, terutama perempuan, agar berani bersuara dan melawan, mempertahankan harkat dan martabatnya. ”Kalau kita berdiri di atas kebenaran, kita harus berani bersuara, tentu ada pengorbanan yang besar,” ujar Baiq Nuril, Minggu (4/8/2019).
Oleh karena itu, sudah saatnya pasal-pasal karet di UU ITE direvisi agar jangan lagi ada perempuan yang mengalami nasib seperti Baiq Nuril. Semoga Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan DPR.