Rata-rata penyerapan anggaran pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota mencapai sekitar 30 persen. Pencapaian pada periode Januari—Juni 2019 itu menandakan penyerapan yang masih rendah.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rata-rata penyerapan anggaran pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota mencapai sekitar 30 persen. Pencapaian pada periode Januari—Juni 2019 itu menandakan penyerapan yang masih rendah.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Syarifuddin menjelaskan, belum optimalnya penyerapan anggaran mengulangi masalah sebelumnya. Dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018, tidak ada perubahan signifikan. Capaiannya pun masih sekitar 30 persen.
“Optimalisasi seperti apa pun yang sudah dilakukan, dari tahun ke tahun trennya selalu seperti itu. Pada triwulan I penyerapan mencapai 10—11 persen; triwulan II, 30 persen; triwulan III, 50—60 persen; dan sisanya sekitar 40 persen itu pada triwulan IV,” kata Syarifuddin, di Jakarta, Senin (6/8/2019).
Pengulangan masalah itu, Menurut Syarifuddin, terjadi karena pada tiga bulan pertama, Januari—Maret, pemerintah daerah belum bisa menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk belanja publik. Mereka masih menggunakannya untuk belanja rutin, di antaranya membayar gaji pegawai, dan membiayai operasional kantor seperti listrik dan telepon.
Memasuki triwulan II, belanja publik sudah mulai dilakukan. Salah satunya pengadaan barang dan jasa yang membutuhkan keterlibatan pihak ketiga. Namun, pihak ketiga biasanya enggan menerima pembayaran per termin tiga bulanan. Mereka cenderung ingin dibayar setelah pekerjaan selesai dan diserahterimakan, seringkali jelang akhir tahun.
Ia menambahkan, pejabat daerah juga kerap berdalih bahwa lambatnya penyerapan anggaran disebabkan oleh kehati-hatian mereka dalam menggunakan anggaran negara. Mereka khawatir terjerat masalah hukum. “Penganggaran memang harus sesuai dengan norma pengelolaan keuangan, tetapi seharusnya daerah tidak menjadikannya sebagai alasan untuk menunda-nunda (penyerapan anggaran),” kata Syarifuddin.
Menurut dia, penyerapan anggaran yang rendah sejalan dengan kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan. Oleh karena itu, perlu ada peningkatan agar pembangunan bisa terlaksana, dan setidaknya capaian penyerapan tidak berada di bawah rata-rata penyerapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Administrasi
Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) yang kini menjabat Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengakui, rata-rata penyerapan anggaran di pemerintah kabupaten memang belum bisa optimal pada semester pertama 2019. Hal itu tidak serta merta menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak mampu mengelola anggaran secara efektif.
“Salah satu masalah yang kami hadapi adalah gagal lelang,” kata Anas. Proses pengadaan barang dan jasa yang harus melalui lelang elektronik seringkali menemui masalah ketidaksesuaian spesifikasi. Ketidaksesuaian yang berdampak pada kegagalan lelang itu menyebabkan pemerintah daerah membutuhkan waktu lebih lama untuk melaksanakan proses administrasi lanjutan.
Penyebab lain, mekanisme penganggaran baru memungkinkan realisasi pencairan pada triwulan III. Dengan begitu, pembangunan fisik yang sudah dilaksanakan belum bisa dibayarkan hingga tuntas 100 persen. “Siapa saja kepala daerah pasti ingin penyerapan yang optimal, karena APBD merupakan instrumen fiskal untuk menggerakkan ekonomi lokal. Akan tetapi, ada kendala-kendala yang terjadi tidak disengaja,” ujar Anas.
Direktur Eksekutif Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengakui perulangan itu. Sejak otonomi daerah 1999, persoalan ini belum terpecahkan. Salah satu penyebabnya adalah persoalan administrasi terkait pengadaan barang dan jasa. Selama ini, lelang baru bisa dilaksanakan jika APBD sudah disahkan yaitu pada Desember.
Semestinya, kata Robert, pemerintah daerah diperbolehkan untuk melakukan lelang dini atau lelang di awal waktu, yaitu pada bulan Agustus atau September ketika kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara (KUA-PPAS) sudah ada. Sebab, rancangan APBD (RAPBD) yang nantinya disahkan menjadi APBD sebagian besar isinya sama dengan KUA-PPAS. Jika pun ada perubahan, tidak akan berpengaruh signifikan.
Dalam proses lelang dini itu, dapat dilakukan proses administrasi dan studi kelayakan. Adapun tahapan lain yang lebih signifikan, termasuk penandatanganan komitmen, dapat dilakukan lebih cepat, yaitu sejak Januari.
Proses adminisrasi yang lambat juga menyebabkan waktu penggunaan anggaran semakin singkat. Walaupun pemerintah daerah menganggarkan dana untuk 12 bulan dalam setahun, secara empiris mereka hanya menggunakannya sepanjang enam bulan. “Hasilnya hanya ada dua kemungkinan, penganggaran yang berantakan dengan cara kejar setoran pada akhir tahun atau ada sisa lebih pembiayaan anggaran atau silpa,” kata Robert.
Terobosan
Di luar persoalan administrasi, kata Robert, terdapat dua permasalahan besar yang pengaruhnya lebih signifikan. Pertama, kemampuan kepala daerah dalam memonitoring, mengevaluasi, dan mengontrol kerja kepala dinas. Sebab, mereka adalah penggerak utama birokrasi.
Selain itu, kemampuan daerah untuk merencanakan anggaran juga masih kurang. Menurut Robert, dari seluruh daerah otonom yang dibentuk sejak 1999 sebagian besar kemampuan perencanaannya masih buruk. “Karena itu, perlu ada terobosan, khususnya oleh pemeritah daerah. Kalau tidak, penyerapan anggaran yang rendah akan terus berulang,” kata dia. Dampaknya, penurunan kualitas pelayanan publik tidak bisa dihindarkan.