Tanpa Tekanan, Atlet Pelatnas Mendominasi
Atlet-atlet pelatnas mendominasi di hampir semua nomor lomba pada hari kelima Kejuaraan Nasional Atletik 2019 di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Senin (5/8/2019).
BOGOR, KOMPAS — Atlet-atlet pelatnas mendominasi di hampir semua nomor lomba pada hari kelima Kejuaraan Nasional Atletik 2019 di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Senin (5/8/2019). Hal itu tak lepas dari minimnya jumlah pesaing dari atlet-atlet daerah di luar nomor favorit lari jarak pendek. Akibatnya, atlet pelatnas tidak mendapatkan tekanan atau atmosfer persaingan yang bisa membuat mereka memacu diri.
Hal itu tampak pada final lari gawang 400 meter putra senior. Di nomor itu, bercokol pelari pelatnas asal Jawa Barat, Halomoan Edwin Binsar Simanjuntak. Pelari berusia 19 tahun itu hanya bersaing dengan tiga pelari dalam lomba perebutan medali tersebut.
Ketika lomba berlangsung, Halomoan pun tidak terbendung. Pelari kelahiran 20 Desember 2000 itu finis pertama dengan waktu 52,11 detik. Waktunya jauh lebih cepat 5,25 detik dari pelari urutan kedua asal Jawa Barat, Mohammad Reva Putra, yang mencatat waktu 57,36 detik dan terpaut 8,65 detik dari pelari urutan ketiga asal Bengkulu, Denny Setyawan, yang mencatat waktu 60,76 detik.
Seusai lomba, Halomoan mengatakan menargetkan diri untuk memecahkan rekornas yunior atas namanya sendiri, 51,61 detik, yang dicetak setahun lalu. Namun, karena tidak ada tekanan yang terlalu kuat, dirinya pun tidak terlalu terpacu untuk melakukan tarikan lari yang lebih kencang.
”Tadi lihat sendiri, peserta final cuma empat orang. Saya tidak ada pesaing yang bisa diajak tarik-tarikan. Jadinya, saya cuma fokus dengan diri sendiri saja,” ujar pelari keturunan Sumatera Utara itu.
Di sisi lain, Halomoan mengatakan, dirinya juga salah strategi dalam lomba tersebut. Pada 200 meter awal, ia terlalu memacu diri sehingga bisa tembus sekitar 22 detik. Akhirnya, pada 200 meter akhir, ia kehabisan tenaga sehingga waktunya mentok 52,11 detik.
Dalam latihan, ia biasanya agak santai pada 200 meter awal dengan catatan waktu berkisar 24 detik. Kemudian, pada 200 meter akhir, barulah ia habis-habisan mengeluarkan energi. Strategi itu ampuh membuat waktunya semakin tajam. Pada latihan terakhir di pelatnas sekitar sepekan lalu, ia bisa mencatat waktu 50,66 detik dengan mengunakan strategi santai di awal dan habis-habisan di akhir tersebut.
”Tadi, saya enggak jalani strategi itu. Saya tadi terlalu bersemangat untuk memecahkan rekor. Jadinya, 200 meter awal, saya terlalu kencang dan habis di akhir-akhir. Harusnya, 200 meter awal, saya santai dan habis-habisan di akhir,” tutur Halomoan.
Menghadapi SEA Games 2019 di Filipina yang menjadi SEA Games keduanya, Halomoan ingin lebih mematangkan daya tahan, kecepatan, dan strategi berlari. Ia ingin lebih baik dari penampilannya di SEA Games 2017 Malaysia.
”Saat itu, saya cedera sehingga cuma lari 53 detik sekian, tidak dapat medali. Kali ini, kalau dikasih kesempatan ke SEA Games 2019, saya ingin lebih baik dan sebisa mungkin dapat medali,” ujarnya.
Loncat tinggi
Situasi tak jauh beda terjadi di nomor lapangan, terutama loncat tinggi. Pada final nomor loncat tinggi putri senior, Senin, bercokol atlet pelatnas asal DKI Jakarta, Nadia Anggraini. Peloncat tinggi berumur 24 tahun itu hanya mendapatkan satu pesaing. Untuk itu, ketika lomba, Nadia tidak mendapatkan hambatan berarti.
Ia sukses meraih emas dengan loncatan 1,75 meter. Dia meninggalkan jauh dua pesaingnya, yakni peraih perak asal Bangka Belitung, Sofura Humairoh, dengan loncatan 1,60 meter. ”Tadi saya coba loncat 1,78 meter untuk bertahap coba pecahkan rekornas milik saya sendiri, 1,79 meter (dibuat 1 Januari 2017). Tapi, tadi suasana persaingannya tidak ada. Jadi, saya juga kurang sreg untuk memacu diri,” ujar Nadia.
Ini jadi pekerjaan rumah bersama, bagaimana memunculkan gairah di nomor-nomor selain lari jarak pendek. Tujuannya, agar persaingan di nomor-nomor lain juga ketat sehingga bisa memicu munculnya atlet-atlet baru.
Dari nomor lompat jangkit, atlet pelatnas asal Bangka Belitung yang spesialisasinya pada lompat jauh, Suwandi Wijaya, mencoba peruntungan. Atlet berusia 24 tahun itu berpartisipasi pada final lompat jangkit putra senior, Senin. Itu merupakan lomba lompat jangkit pertama yang dia ikuti.
”Saya coba-coba saja, siapa tahu lolos PON 2020. Latihannya juga baru 1-2 kali sebelum ke Kejurnas Atletik ini. Tapi, ternyata susah. Kalau mau ke sini, persiapannya harus lebih matang. Sebab, berbeda sekali kondisinya dengan lompat jauh. Kalau lompat jangkit, kita butuh teknik, kontrol, dan keseimbangan yang bagus. Kalau lompat jauh, lebih pada kecepatan lari dan power lompatan,” tutur Suwandi yang hanya membukukan lompatan terbaik 14,57 meter dan hanya berada di urutan kelima.
Adapun Suwandi adalah pelompat jauh yang berhasil menyumbangkan perak untuk Indonesia di SEA Games 2017 dengan lompatan sejauh 7,78 meter. Pada SEA Games 2019, ia bersaing dengan pelompat jauh asal NTB, Sapwaturrahman, untuk dikirim ke ajang itu.
”Saya pribadi senang dengan prestasi yang ditunjukkan Sapwan (sapaan Sapwaturrahman) sekarang. Dia membuat saya terpacu menjadi lebih baik. Kami jadi bisa tarik-tarikan untuk menjadi yang terbaik di nasional,” ucap Suwandi yang meraih perak lompat jauh putra senior Kejurnas Atletik 2019 dengan lompatan 7,24 meter atau kalah dari Sapwan yang meraih emas dengan lompatan 7,29 meter.
Sekretaris Umum PB PASI Tigor M Tanjung menyampaikan, beginilah fenomena dunia atletik saat ini. Antusiasme peserta ikut Kejurnas Atletik selalu tinggi setiap tahun. Namun, umumnya, peserta tidak merata di semua nomor.
Peserta biasanya hanya ramai di nomor lari jarak pendek. Namun, nomor-nomor lain, terutama nomor lapangan, cenderung sepi. Tahun ini saja, total peserta nomor sprint 100 meter dan 200 meter putra serta putri di kategori remaja, yunior, hingga senior lebih dari seperempat dari total peserta yang berkisar 1.000 orang.
”Ini jadi pekerjaan rumah bersama, bagaimana memunculkan gairah di nomor-nomor selain lari jarak pendek. Tujuannya, agar persaingan di nomor-nomor lain juga ketat sehingga bisa memicu munculnya atlet-atlet baru,” kata Tigor.
Hingga usai hari kelima Kejurnas Atletik 2019, Jawa Timur memimpin perolehan medali dengan 15 emas, 17 perak, dan 16 perunggu. Kemudian, DKI Jakarta di urutan kedua dengan 13 emas, 6 perak, dan 10 perunggu, sementara Jawa Barat di urutan ketiga dengan 12 emas, 8 perak, dan 10 perunggu. Daerah-daerah lain belum ada yang mengumpulkan emas lebih dari 10 medali.
Rekor nasional
Secara keseluruhan, lahir tujuh rekornas baru dari kejurnas tahun ini. Atlet asal Bengkulu, Egi Patli Pranata, memecahkan rekornas lempar lembing putra yunior dari 63,60 meter menjadi 65,01 meter pada 1 Agustus 2019. Atlet asal Jawa Tengah, Atina Nur K, memecahkan rekornas lempar lembing putri senior dari 49,87 meter menjadi 50,46 meter pada 1 Agustus.
Atlet asal Jawa Timur, Ekhwan Nudin, memecahkan rekornas lari 800 meter putra remaja dari 1 menit 55,53 detik menjadi 1 menit 54,18 detik pada 3 Agustus. Atlet asal Jawa Barat, Alif M Baskara, memecahkan rekornas dasalomba putra yunior dari 5.968 poin menjadi 6.237 poin pada 3 Agustus.
Atlet asal NTB, Lalu Muhammad Zohri, memecahkan rekornas lari 200 meter putra yunior dari 21,27 detik menjadi 21,14 pada 3 Agustus dan dari 21,14 detik menjadi 20,81 detik pada 4 Agustus. Atlet asal Maluku, Alvin Tehupeiory, memecahkan rekornas lari 200 meter putri senior dari 23,86 detik menjadi 23,76 detik. Atlet asal Sumatera Barat, Muhammad Sholeh, memecahkan rekornas jalan cepat 5.000 meter putra remaja dari 24 menit 1,34 detik menjadi 23 menit 42,23 detik pada 4 Agustus.