Masyarakat Sipil Ingatkan Jokowi-Amin Perhatikan Lingkungan
Sejumlah 30 organisasi masyarakat sipil menyerukan kepada pasangan presiden terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk menegaskan kembali Visi Kerakyatan dan Lingkungan Hidup dalam periode kepemimpinan 2019-2024.
Oleh
Ichwan Susanto
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah 30 organisasi masyarakat sipil menyerukan kepada pasangan presiden terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk menegaskan kembali Visi Kerakyatan dan Lingkungan Hidup dalam periode kepemimpinan 2019-2024. Mereka mendesak agar enam agenda pembangunan untuk segera direalisasikan, mengingat buruknya kondisi lingkungan dan sosial ekonomi saat ini.
Dalam siaran persnya, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Henri Subagyo, Selasa (6/8/2019), di Jakarta, menyebutkan, agenda yang sangat mendesak itu adalah penuntasan pengakuan hak atas tanah, akses kelola, dan ruang kehidupan bagi masyarakat terhadap sumber daya alam. Selama ini, hak-hak tersebut dinilai timpang karena negara cenderung memberikan akses, bahkan kepemilikan, atas ruang kepada korporasi.
Apabila dibiarkan, hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan kesenjangan yang kian berjarak antara masyarakat dan kelompok tertentu. Itu dinilai rawan menjadi konflik sosial. Penguasaan akses pengelolaan hutan, misalnya, saat ini 80 persen pengelolaan hutan produksi dikuasai perusahaan. Akses masyarakat sangat kecil dan baru diakselerasi pada pemerintahan periode pertama Joko Widodo dengan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar (ha) dan baru tercapai 2,5 juta ha saat ini.
Desakan kedua adalah Joko Widodo-Ma’ruf Amin diminta menjamin transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi regulasi dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berpihak kepada rakyat serta perlindungan lingkungan hidup. Hal ini perlu dilakukan karena pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat memerlukan keberpihakan. Tak seperti pengelolaan oleh korporasi dengan investasi besar dan cenderung eksploitatif sehingga mendatangkan ”manfaat langsung” bagi pemasukan negara, tetapi timpang secara sosial-ekonomi.
Desakan ketiga, organisasi masyarakat sipil meminta Jokowi-Amin memperkuat instrumen perencanaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang memperhatikan daya dukung serta daya tampung dengan pendekatan desentralisasi, redistribusi akses, dan pembangunan berbasis ekoregion yang sensitif terhadap risiko bencana. Kemudahan investasi yang didengungkan dan digalakkan Joko Widodo agar memperhatikan hal-hal itu untuk keberlanjutan pembangunan.
Desakan keempat, mereka meminta agar dilakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu secara tegas dan terpadu untuk melindungi masyarakat dan negara dari kerugian atas tindakan-tindakan eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, terkait kebakaran hutan dan lahan yang terjadi akhir-akhir ini, secara terpisah Manajer Advokasi dan Pembelaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Boy Even Sembiring meminta agar pemerintah menjalankan penegakan hukum menyeluruh, bukan sampling.
Maksudnya, agar setiap korporasi yang gagal menjaga konsesi sehingga terjadi kebakaran dituntut di pengadilan. Saat ini, Boy menilai penegakan hukum masih ”tebang pilih” meski pemerintah menggunakan alasan ”skala prioritas”.
Desakan kelima, organisasi masyarakat sipil mendorong agar Joko Widodo-Ma’ruf Amin memastikan tindakan pemulihan terhadap setiap pencemaran dan kerusakan dengan menitikberatkan pertanggungjawaban kepada pelaku kejahatan lingkungan. Dengan konsep strict liability dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap kegiatan yang berisiko tinggi terjadi pencemaran/kerusakan lingkungan bertanggung jawab secara mutlak secara hukum dan untuk memulihkan kondisi lingkungan.
Desakan keenam, mereka meminta agar dibangun kesadaran publik terhadap pentingnya perlindungan lingkungan hidup dan kebencanaan sejak dini. Ini dinilai penting mengingat penduduk Indonesia hidup pada daerah yang rawan bencana dengan segala kelebihan kekayaan alamnya.
Henri menambahkan, desakan organisasi masyarakat sipil ini merupakan hak-hak warga negara yang telah dilindungi konstitusi dalam Pasal 28 (h) dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. ”Bahwa melindungi warga negara dan lingkungan hidup adalah salah satu bentuk cita kehadiran Pemerintah Negara Republik Indonesia, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk mengemban amanah konstitusi, khususnya Pasal 28 H dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945,” katanya.
Melindungi warga negara dan lingkungan hidup adalah salah satu bentuk cita kehadiran Pemerintah Negara Republik Indonesia.
Penyangga kehidupan
Lebih lanjut, lingkungan hidup dan sumber daya alam tak hanya salah satu modal pembangunan nasional, tetapi juga sebagai sistem penyangga kehidupan bagi manusia dan makhluk hidup lain. Karena itu, pembangunan nasional agar dilaksanakan secara bijaksana bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mempertimbangkan keselamatan dan keberlanjutan ekosistem demi kepentingan generasi saat ini dan yang akan datang.
Berbagai kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang ada terjadi secara masif, berlangsung lama, dan meningkatkan kerentanan bencana hingga pada taraf mengancam keselamatan warga serta pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Kondisi itu disebabkan lemahnya tata kelola LH-SDA, pertumbuhan ekonomi yang bertopang pada investasi yang eksesif terhadap lingkungan hidup, akses warga negara terhadap lingkungan hidup-sumber daya alam yang timpang, kehancuran ekosistem yang tidak dipulihkan, hingga penegakan hukum yang tumpul, khususnya bagi kejahatan lingkungan hidup secara terorganisasi.
Secara global, Henri mengatakan, Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa di dunia telah berkomitmen untuk berperan serta secara aktif dalam mendorong terwujudnya berbagai inisiatif global dalam melindungi bumi melalui inisiatif pembangunan berkelanjutan, pengendalian perubahan iklim, pembangunan rendah karbon, dan berbagai inisiatif lain yang patut untuk senantiasa dipertahankan dan ditingkatkan.
Henri mengatakan, pelaksanaan desakan enam agenda tersebut bisa dilakukan dengan strategi pembenahan kelembagaan dan menciptakan kepemimpinan yang kuat, bersih, dan bertanggung jawab dalam kabinet 2019-2024. Lebih lanjut, ia mengatakan, pembenahan kelembagaan tidak hanya untuk reformasi birokrasi guna sekadar memfasilitasi investasi, tetapi juga perlindungan sumber daya alam yang selama ini masih diwarnai berbagai isu conflict of interest, yang rentan terhadap praktik korupsi di sektor sumber daya alam.
Organisasi masyarakat sipil yang mendesakkan enam agenda tersebut antara lain adalah ICEL, Walhi, ICW, PWYP Indonesia, HuMA, FWI, Kode Inisiatif, Balifokus/Nexus 3, Koaksi Indonesia, KPA, KPBB, RMI, Jikalahari, WWF, CRPG, Yayasan Madani Berkelanjutan, Komunitas Earth Hour, Ecoton, PILI-Green Network, GIDKP/AZWI, FKKM, Walhi Jakarta, Kehati, TI Indonesia, Pattiro, KNTI, dan Salam Institute.