Tanggal 2 Agustus 2019 menjadi hari yang tak terlupakan dalam sejarah hidup Baiq Nuril Maknun (41). Sebab, pada hari itu, mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, tersebut mendapat amnesti dari Presiden Joko Widodo.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Tanggal 2 Agustus 2019 menjadi hari yang tak terlupakan dalam sejarah hidup Baiq Nuril Maknun (41). Sebab, pada hari itu, mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, tersebut mendapat amnesti (peniadaan hukuman) dari Presiden Joko Widodo sesaat setelah bertemu langsung dengan Presiden di Istana Kepresidenan Bogor.
Setelah bertemu Presiden, Nuril menerima salinan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2019 tentang Pemberian Amnesti yang diserahkan langsung oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, yang juga disaksikan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Nuril mengaku tidak menyangka akan secepat itu Presiden memberikan amnesti kepada dirinya. Dia bahkan baru membaca pesan dari staf Kepresidenan untuk menemui Presiden pada Jumat (2/8/2019). Padahal, pesan tersebut telah dikirim ke nomor Whatsapp di telepon genggam suaminya sejak Kamis (1/8) malam. Sebenarnya Baiq Nuril diminta menghadap Presiden Jumat pukul 10.30. Namun, karena baru dibaca pagi hari, Nuril dan tim pengacara baru bisa terbang siang hari dan tiba di Jakarta pukul 14.00, kemudian langsung menuju ke Istana Bogor untuk bertemu Presiden.
”Ternyata saya diminta bertemu sendirian dengan Presiden. Saya gugup, enggak tahu mau bicara apa. Presiden bertanya kabar anak-anak saya, apa pekerjaan saya sekarang, dan saya jawab ibu rumah tangga. Presiden bilang kalau dari dulu mengikuti kasus saya, tapi karena jalur hukum, itu harus dijalani. Presiden bersimpati karena saya sabar menjalani proses hukum sampai peninjauan kembali, lalu ke DPR,” ujarnya.
Meski melalui perjuangan yang panjang dan berat, Baiq Nuril bersyukur karena dirinya mendapat dukungan penuh dari sang suami, Lalu Muhammad Isnaeni (42), serta ketiga anaknya, Baiq Raena Asli Hati (16), Baiq Raeda Mahya Izzati (14), dan Lalu Muhammad Rafi Saputra (8).
Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh M, kepala sekolah tempatnya mengajar. Kasus hukum Baiq Nuril berawal pada 2015 ketika dia dituduh menyebarkan konten pornografi dan didakwa melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Namun, Pengadilan Negeri Mataram membebaskannya. Jaksa mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung (MA) memvonisnya bersalah dengan hukuman pidana enam bulan penjara serta denda Rp 500 juta. Nuril mengajukan PK, tetapi ditolak MA. Baiq Nuril dinilai terbukti memberikan informasi elektronik kepada orang lain yang mengandung muatan kesusilaan dengan cara merekam pembicaraan yang bermuatan melanggar kesusilaan antara dirinya dan M.
Dia tak menyerah. Didukung tim penasihat hukum serta berbagai organisasi perempuan dan lembaga, Nuril mengajukan amnesti kepada Presiden Jokowi hingga akhirnya amnesti tersebut diperolehnya. Seperti apa tanggapan Baiq Nuril setelah menerima amnesti dari Presiden, berikut wawancara dengannya, Minggu (4/8/2019).
Bagaimana tanggapan Anda setelah akhirnya menerima amnesti?
Saya mengucapkan banyak terima kasih karena Presiden Jokowi. Aduh, luar biasa… rasanya sakit dan pedih yang dirasakan kemarin, perjuangan yang berat, hilang sama sekali. Kayak disapu ombak, enggak ada bekasnya. Sulit diucapkan seperti apa rasanya. Padahal, sebelumnya, ketika orang-orang bilang Pak Jokowi sudah tanda tangan surat keputusan untuk amnesti saya, saya enggak mau bicara apa pun sebelum benar-benar melihat surat itu.
Bertemu langsung dengan Presiden bagaimana rasanya?
Wah, bahagia, sempat terharu... karena beliau berpesan supaya saya berhati-hati.
Empat tahun lebih berjuang untuk mendapat keadilan karena menjadi terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)?
Sejak dilaporkan kepada polisi pada Maret 2015, banyak sekali yang saya alami secara pribadi. Tapi, saya banyak belajar, kalau kita berdiri di atas kebenaran, kita harus berjuang mati-matian, tidak boleh menyerah. Harus rela berkorban, rela ”berdarah-darah” karena tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Menjadi korban pelecehan seksual yang dikriminalisasi, bagaimana Anda menghadapinya?
Perempuan itu harus berani bicara, melawan. Jangan takut kalau kita benar. Saya pernah disalahkan, ada yang bilang kenapa saya bercerita ke orang, atau ada juga yang bilang kenapa saya meladenin. Tapi, bagi saya, hanya dengan cara seperti itu kita bisa menjaga harkat dan martabat perempuan, apalagi orang tidak berpikir kondisi yang kita alami saat itu. Makanya, saya ingin sampaikan kepada perempuan-perempuan harus berani karena kalau bukan diri kita sendiri yang mempertahankan harkat dan martabat perempuan, lalu siapa lagi. Harus kita lawan, apa pun risikonya. Memang sangat melelahkan, tapi saya tidak takut karena saya merasa saya benar. Intinya, kalau kita benar, kita harus kuat.
Pernahkah ada titik yang membuat Anda hampir menyerah?
Saya manusia biasa, bukan seorang malaikat. Namanya manusia pasti ada perasaan itu.
Waktu awal-awal dilaporkan ke polisi, saat naik motor, saya sempat berpikir kenapa saya enggak mati saja, mungkin masalahnya selesai. Tapi, saya kemudian berpikir lagi, kalau saya mati siapa yang akan mengajari anak-anak saya. Akhirnya saya bertekad, saya harus bangkit dan kuat demi anak-anak saya. Saya harus melawan, jangan takut, harus berjuang, dan ternyata banyak dukungan yang datang sampai akhirnya mendapat amnesti.
Apa harapan Anda?
Setelah ini saya berharap tidak ada lagi yang mengalami kasus seperti saya (korban pelecehan seksual yang dikriminalisasi) karena itu sangat menyedihkan.