Bolivia, Kuburan Pemain Bola Dunia
Kita kerap mendengar bintang-bintang sepak bola dunia sering mati kutu saat bermain di Bolivia. Pemain brilian, seperti Lionel Messi dari Argentina atau Neymar Jr dari Brasil, tak berkutik kehabisan napas.
Kita kerap mendengar bintang-bintang sepak bola dunia sering mati kutu saat bermain di Bolivia. Pemain brilian, seperti Lionel Messi dari Argentina atau Neymar Jr dari Brasil, tak berkutik kehabisan napas.
Tim ”Selecao” Brasil kehilangan rekor tak terkalahkan selama 40 tahun dalam kualifikasi Piala Dunia ketika ditaklukkan Bolivia dengan skor 2-0 pada 1993. Pada 2009, tim ”La Albiceleste” Argentina yang dilatih Diego Maradona tak berkutik. Messi dan kawan-kawan pulang dengan wajah malu setelah ditaklukkan 1-6 oleh Bolivia dalam kualifikasi Piala Dunia 2010.
Sampai-sampai pada 2017, Neymar mem-posting foto-foto pemain Brasil dengan masker oksigen selepas pertandingan dengan skor 0-0 dalam kualifikasi Piala Dunia 2018 di Stadion Hernando Siles, La Paz. Komentarnya, ”Tidak manusiawi bermain dalam kondisi seperti itu, lapangan, ketinggian, bola... semuanya buruk.” Tim kuat negara-negara langganan juara dunia pun seakan berjalan ke kuburan sendiri saat bermain di Bolivia.
Faktor penyebabnya adalah Bolivia yang berada di dataran tinggi. Ketinggiannya lebih dari 3.600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Mereka yang tidak terbiasa dengan ketinggian, segala aktivitas fisik menjadi jauh lebih sulit apalagi bagi pemain sepak bola.
Di ketinggian, persentase oksigen yang tersedia di udara menipis. Bahkan, di ketinggian ekstrem, tingkat oksigen 20,9 persen, dan tekanan barometrik berkurang secara signifikan menyebabkan sesak napas (Euan Marshall, theculturetrip.com, 2017). Dengan kondisi begitu, gerakan bola juga akan berbeda, yakni bergerak di udara lebih cepat dan lebih berat, serta kemampuan memantul di rumput berkurang.
Napas terasa pendek dan tersengal-sengal. Kepala terasa sakit dan pening, kulit mengering pecah-pecah dan berdarah, hidung mimisan, perut mual-mual.
Jujur, saya begitu merasakan tekanan aktivitas sehari-sehari yang begitu berat saat menginjakkan kaki di El Alto (di atas 4.000 mdpl) dan La Paz (di atas 3.600 mdpl) pada minggu ketiga, Juli lalu. Dinginnya luar biasa. Walaupun ada panas matahari, tetap saja dingin. Suhu siang hari terpanas saja rata-rata 12-17 derajat celsius. Napas terasa pendek dan tersengal-sengal. Kepala terasa sakit dan pening, kulit mengering pecah-pecah dan berdarah, hidung mimisan, perut mual-mual.
Baca juga: ”The Colorful of Bolivia”
Untuk melangkah saja kaki terasa berat. Terlebih lagi kontur jalan di La Paz nyaris tiada yang rata dan landai. Naik dan turun. Tak heran selalu tersedia tabung oksigen bila sewaktu-waktu kesulitan bernapas. Tentu saja membutuhkan proses aklimatisasi yang tidak mudah. Apalagi bagi pemain sepak bola yang bergerak sepanjang 90 menit pertandingan.
Selama dua pekan di La Paz, saya sempat menonton pertandingan liga nasional yang digelar di stadion nasional Hernando Siles. Pertama, saat tim tuan rumah The Strongest menjamu tim San Jose Oruro dari Oruro pada 21 Juli 2019. Kedua tim bermain imbang, 1-1, setelah tim tamu sempat memimpin lebih dulu.
Kedua, ketika menonton pertandingan antara The Strongest menghadapi tim Nacional Potosi dari Potosi pada 4 Agustus 2019. Seperti pertandingan sebelumnya, tim tamu memimpin lebih dulu. Tetapi setelah pertandingan berjalan 90 menit, tim tuan rumah membalikkan keadaan dengan kemenangan 3-2.
Pertandingan dimulai pukul 15.00 waktu setempat. Saat itu matahari masih bersinar terik. Namun, karena La Paz selalu berudara dingin, saya tetap kedinginan menonton dari tribune penonton, walaupun tubuh sudah dibungkus tiga lembar pakaian termasuk jaket penghangat.
Baca juga: Jose de San Martin, Sang Proklamator Peru
Sebagaimana penonton sepak bola, sepanjang perjalanan saya mendengar teriakan penonton yang memberikan semangat untuk tim tuan rumah. Sebaliknya mereka juga mencemooh atau memprovokasi tim tamu.
Sambil menonton pertandingan di bawah udara dingin sekitar 11-13 derajat celsius itu enaknya sambil minum kopi. Tak usah khawatir mencari kopi hangat karena para penjaja kopi berkeliling tribune menjajakan kopi, minuman ringan lainnya, serta aneka camilan. Penonton tinggal meneriakinya, maka segera datanglah si penjaja kopi itu menghampiri.
Stadion Hernando Siles adalah stadion nasional Bolivia yang dibuka pada 1931. Namanya merujuk pada Presiden Bolivia Hernando Siles Reyes yang berkuasa pada 1926-1930. Stadion yang terletak di Avenida Saavedra, Miraflores, La Paz, itu memiliki kapasitas 41.143 penonton. Berada di ketinggian 3.660 mdpl membuatnya menjadi salah satu stadion profesional tertinggi di dunia. Selain menjadi rumah bagi tim nasional Bolivia, stadion ini menjadi kandang beberapa klub, baik liga utama seperti Bolivar dan The Strongest, maupun beberapa klub di liga lebih rendah lagi.
Karena Bolivia terletak di dataran tinggi Andes, rata-rata stadionnya berada di puncak-puncak bumi. Misalnya Stadion El Alto berada di ketinggian 4.090 mdpl. Stadion Victor Agustin Ugarte di Potosi berada di titik 3.990 mdpl. Stadion Jesus Bermudez di Oruro berada di titik 3.731 mdpl.
Baca juga: Muslim di Lima
Tentu saja bertanding di puncak-puncak bumi itu membuat tim tamu atau tim yang tidak terbiasa bermain di ketinggian, kewalahan bahkan mati kutu, seberapa hebat dan solidnya tim tersebut. Bolivia menjadi tim tangguh yang sulit dikalahkan saat bermain di kandang sendiri. Tak mengherankan banyak protes dari tim tamu yang hanya mempunyai waktu beberapa hari untuk aklimatisasi sebelum bertanding.
Dengan situasi tersebut, pada 27 Mei 2007, FIFA membuat keputusan bahwa tidak boleh ada pertandingan kualifikasi Piala Dunia yang digelar di stadion di atas 2.500 mdpl (8.200 kaki). Kontan saja keputusan FIFA tersebut mendapat protes keras.
Presiden Bolivia Evo Morales dan legenda dunia Diego Maradona—yang kemudian kena batunya saat tim asuhannya dibantai 1-6 dua tahun kemudian—pun bereaksi keras. Keputusan FIFA tersebut dinilai diskriminatif terhadap negara-negara yang berada dataran tinggi di Amerika Latin. Bolivia pun menggelar kampanye melawan pelarangan FIFA itu.
Sebulan kemudian, ada titik terang. Pada 27 Juni 2007, FIFA menaikkan batas ketinggian keberadaan stadion menjadi 3.000 mdpl. Esok harinya stadion Hernando Siles pun dibebaskan sebagai tempat pertandingan ajang Piala Dunia. Barulah pada Mei 2008, FIFA mencabut larangan pembatasan tersebut.
Tentu saja kabar menyenangkan buat Bolivia yang terus berjuang untuk bisa masuk ajang Piala Dunia. Sejak pelarangan itu dicabut, selama kualifikasi Piala Dunia 2006, 2010, 2014, dan 2018, rekor Bolivia dalam pertandingan kandang cukup mencengangkan. Bolivia mencatat 14 kali kemenangan saat berlaga di kandang sendiri dan 10 kali seri. Dalam pertandingan tandang Bolivia hanya dua kali seri dan tidak ada kemenangan, selebihnya berarti kalah. Berdasarkan data statistik, Bolivia mempunyai rekor yang fantastik saat bermain di kandang, tetapi tidak saat bermain di kandang lawan.
Baca juga: Tupac Amaru, Legenda Patriot Peru
Di Amerika Selatan tempat para ”dewa sepak bola”, Bolivia tampaknya bukan tim elite dalam kelas dunia. Dalam sejarah Piala Dunia, timnas ”La Verde” Bolivia tiga kali masuk ajang bergengsi itu, yaitu 1930, 1950, dan 1994. Dalam enam pertandingan di Piala Dunia itu, La Verde cuma bisa mencetak satu gol, yaitu saat kalah 1-3 dari Spanyol pada 1994. Satu kali imbang 0-0 melawan Korea Selatan pada 1994. Selebihnya mengalami kekalahan telak skor 0-4, masing-masing melawan Yugoslavia dan Brasil (1930), skor 0-8 ditaklukkan Uruguay (1950), dan kalah 0-1 dari Jerman (1994).
Meski begitu, jangan coba-coba menantang Bolivia di kandangnya. Tim-tim elite dan pemain-pemain ajaib sekalipun sudah menjadi korban. Silakan saja jika ingin menggali kuburan sendiri.