Ekonomi Pesisir Karawang Terpukul Tumpahan Minyak
Tumpahan minyak akibat kebocoran pada anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java memukul perekonomian warga di pesisir Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
KARAWANG, KOMPAS — Tumpahan minyak akibat kebocoran pada anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java bukan hanya merugikan warga dan nelayan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Tumpahan juga berdampak terhadap petambak udang dan garam yang merugi hingga ratusan juta rupiah.
Berdasarkan pantauan, Selasa (6/8/2019), ceceran tumpahan minyak berwarna hitam tersebar meluas di pesisir pantai utara Kabupaten Karawang. Bentuknya ada yang cair, sebagian memadat. Bau menyengat pun tercium dari tumpahan minyak itu.
Sejumlah warga di sepanjang pesisir pantai utara Karawang tampak sibuk mengumpulkan ceceran tumpahan minyak ke dalam karung. Sejumlah warga mengenakan pakaian khusus berwarna putih, bot karet, masker, dan sarung tangan. Sebagian lagi mengenakan kaus dan celana panjang tanpa pakaian khusus.
Antesih (37), warga Desa Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya, mengeluhkan bau menyengat dari tumpahan minyak yang menyebar di rumahnya. Jarak rumahnya dari bibir pantai hanya sekitar 7 meter. Dari belakang rumahnya terlihat ceceran tumpahan minyak.
Akibat kondisi itu, Antesih harus mengungsikan putranya, Aji Irawan (3), ke rumah kerabat. Aji tidak tahan dengan bau itu. ”Anak saya sering pusing dan muntah kalau mencium bau limbah itu,” ujar Antesih.
Kondisi itu juga membuat para nelayan terpaksa tidak melaut. Carmin (37), nelayan Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes, Karawang, sudah tiga minggu tidak mencari ikan. Padahal, dalam sehari, ia biasanya mampu mendapatkan Rp 700.000.
Sementara itu, Tarji (60), nelayan Desa Cemarajaya, nekat mencoba melaut dua minggu lalu. Namun, jaringnya justru rusak dan kotor karena terkena tumpahan minyak di laut. Hasil yang ia dapat juga tak seberapa, yakni hanya 1 kilogram (kg) ikan dari biasanya 9 kg ikan.
Berdasarkan Data Dinas Perikanan dan Kelautan Karawang, jumlah nelayan yang terdampak tumpahan minyak adalah 7.782 orang. Mereka tersebar di 13 desa, yakni Pakisjaya, Tambaksari, Tambak Sumur, Sedari, Cemarajaya, Sungai Buntu, Pusakajaya Utara, Segarjaya, Ciparage, Sukajaya, Sukakerta, Muara, dan Muara Baru.
Petambak merugi
Tumpahan minyak terjadi pada 12 Juli lalu. Namun, dampak yang dialami para petambak udang di area budidaya baru dirasakan seminggu kemudian. Kondisi ini membuat para petambak udang vaname harus panen dini karena khawatir kematian udang kian meluas.
Endi Muhtarudin (61), petambak di Desa Sungai Buntu, mengatakan merugi hingga miliaran rupiah akibat panen dini. Sejak pertengahan Juli lalu, kolam tambak udangnya dipanen dini secara bertahap. Seharusnya udang tersebut dipanen akhir Agustus. Saat ini tersisa tiga kolam yang masih bertahan dari total seluruhnya 20 kolam.
Idealnya satu kolam seluas 2.500 meter persegi menghasilkan 7-8 ton udang dengan harga jual Rp 105.000 per kg untuk ukuran 30. Namun, panen dini kemarin hanya menghasilkan 1-3 ton udang dengan harga jual Rp 38.000-Rp 50.000 per kg. Kerugian untuk satu kolam udang panen dini pun mencapai ratusan juta rupiah. Jika dikalkulasikan dengan jumlah kolam yang ada, kerugian totalnya tembus miliaran rupiah.
Hal senada juga dialami Widianto (38), petambak udang di Desa Pusakajaya Utara, Kecamatan Cilebar. Ia merugi hingga Rp 600 juta untuk delapan kolam dengan ukuran masing-masing setengah hektar.
Petambak garam di Kecamatan Cilamaya Kulon, Tirtajaya, dan Tempuran juga menghadapi masalah yang sama. Di hampir semua kolam tambak garam ditemukan endapan minyak berwarna kecoklatan.
Akibatnya, pada 20-27 Juli lalu, mereka tidak berani memasukkan air laut yang diduga terpapar tumpahan minyak itu ke meja kristalisasi. Mereka khawatir garamnya terkontaminasi minyak.
Ahmad Bakri (39), petambak garam di Desa Pasirjaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, mengeluhkan adanya endapan minyak berwarna kuning kecoklatan di kolam air garam tua miliknya. Di lahan seluas 6 hektar itu banyak titik minyak yang mengambang. Ia mengkhawatirkan garam produksinya terkontaminasi minyak.
”Bahan baku pembuatan garam adalah air laut yang diolah melalui beberapa tahapan. Jika air lautnya terpapar minyak, kami takut hasil produksi terkontaminasi sehingga tidak laku di pasaran,” kata Bakri.
Menurut Ketua Koperasi Garam Segarajaya Kabupaten Karawang Aep Suhardi, semua anggota koperasinya mampu memanen 70-100 ton sehari dari total luasan tambak 90 hektar. Harga garam saat ini Rp 700 per kg sehingga, jika dikalkulasikan, kerugian mencapai Rp 70 juta per hari.
Baca juga: Akibat Tumpahan Minyak, Petani Garam di Karawang Merugi
Saat ini juga merupakan bulan produksi yang puncaknya terjadi pada Agustus dan September. Petambak kian terpuruk karena rendahnya harga garam di awal panen belum pulih kini harus ditambah lagi dengan masalah kontaminasi minyak.
Pada awal Juli lalu, petambak garam merugi karena harga hasil panen awal musim dihargai lebih murah apabila dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Harga stok garam di tingkat petambak Rp 500-Rp 700 per kg atau turun hampir 50 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kepala Seksi Kelembagaan Nelayan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Karawang Setya Saptana mengatakan, uji laboratorium akan dilakukan untuk mengkaji kualitas air laut. Uji itu mencakup air laut sebagai bahan garam, uji air untuk budidaya perikanan, serta pengujian dan penelitian dampak terhadap terumbu karang dan mangrove.
Sebelumnya, Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan, static oil boom ditempatkan di sekitar anjungan YY yang diindikasikan terdapat sumber utama keluarnya minyak mentah. Hal itu dapat mengisolasi minyak tersebut agar tidak melebar ke mana-mana di lautan.
”Pertamina terus berupaya maksimal menangani tumpahan minyak dengan menerjunkan berbagai peralatan dan metode sesuai standar di industri migas,” ujar Fajriyah.
Baca juga: Tumpahan Minyak Dicegah ke Daratan
Pertamina menurunkan lima giant octopus skimmer yang dapat menyedot tumpahan minyak dengan kecepatan tinggi. Alat ini dinilai mampu mengangkat minyak dengan kecepatan sekitar 250.000 liter per jam. Selanjutnya, tumpahan minyak dipompa ke kapal-kapal untuk penampungan sementara.
Selain itu, Fajriyah menambahkan, Pertamina telah menyiagakan puluhan kapal yang membentangkan dynamic oil boom secara berlapis. Hal itu untuk mengurangi potensi tumpahan minyak yang tidak tertangkap dan terbawa arus sampai ke pesisir pantai.
Dalam dua pekan penanganan, Pertamina telah memobilisasi dan menyiagakan 32 kapal untuk oil spill combat, patroli, dan pemadam kebakaran. Pertamina juga mengerahkan pesawat tanpa awak (drone) untuk memonitor formasi oil boom dan pergerakan kapal sehingga posisinya tepat dalam menghadang minyak. Untuk penanganan gas yang keluar dari anjungan YY tersebut, Pertamina juga melakukan penyemprotan dengan dua anchor handling tug supply (AHTS).
Untuk penanganan di pesisir pantai, Pertamina telah memasang oil boom di muara sungai dan jaring ikan untuk menjaga tumpahan minyak agar tidak masuk ke pinggir pantai. Sebanyak 800 warga dan 100 prajurit TNI dilibatkan dalam pembersihan pantai dari ceceran minyak.