Hidup Bersama di Kaki Gunung Tangkuban Parahu
Indonesia memiliki kurang lebih 129 gunung api berstatus aktif. Dari jumlah tersebut, sekitar 60 persen termasuk tipe A, yaitu gunung api yang meletus 400 tahun terakhir. Mitigasi erupsi diperlukan sebagai bekal hidup bersama gunung api.
Indonesia memiliki kurang lebih 129 gunung api berstatus aktif. Dari jumlah tersebut, sekitar 60 persennya termasuk tipe A, yaitu gunung api yang meletus 400 tahun terakhir. Mitigasi erupsi diperlukan sebagai bekal hidup bersama gunung api.
Gunung api merupakan lubang rekahan dalam kerak bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi. Pulau Jawa merupakan wilayah dengan sebaran gunung api paling banyak di Indonesia. Sedikitnya terdapat 35 gunung api di Jawa, dengan 21 gunung di antaranya masuk kategori tipe A.
Sesudah Jawa, berturut-turut Pulau Sumatera, Flores, dan Sulawesi merupakan daerah-daerah dengan kepemilikan gunung api terbanyak di Indonesia. Kondisi ini membuat potensi risiko bencana erupsi gunung api di Indonesia. Salah satu jenis erupsi gunung api yang sulit diprediksi dan biasanya mendahului erupsi magmatik adalah erupsi freatik, seperti yang terjadi di Gunung Tangkuban Parahu.
Gunung Tangkuban Parahu di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang, Jawa Barat, mengalami erupsi pada Jumat (26/7/2019). Kejadian erupsi yang berlangsung selama 5 menit 30 detik tersebut menghasilkan kolom abu setinggi 200 meter dari atas puncak kawah. Semua aktivitas pada radius 2 kilometer ditutup untuk umum.
Berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), erupsi terjadi pada pukul 15.48 WIB dengan amplitudo maksimum 38 milimeter. Nilai amplitudo pada seismograf menunjukkan kekuatan besarnya erupsi gunung api.
Data tremor atau getaran dari dalam tubuh gunung tercatat masih tinggi. Saat erupsi, amplitudo dominan lebih dari 50 milimeter dan turun menjadi 20 milimeter pada malam harinya. Saat normal, amplitudo di seismograf hanya berkisar 0-0,5 milimeter.
Erupsi gunung api menghasilkan kolom abu yang menjulang tinggi dari atas kawah. Kolom abu gunung Tangkuban Parahu kemarin berwarna kelabu dan arahnya cenderung condong ke timur laut dan selatan.
Jatuhan abu vulkanik mencapai radius 1-2 kilometer. Sebaran abu teramati di Desa Jayagiri, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Kondisi ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena abu vulkanik memiliki bentuk kristal bersudut tajam sehingga bisa merusak paru-paru.
Tipikal erupsi Gunung Tangkuban Parahu adalah freatik berupa semburan lumpur dingin hitam dari Kawah Ratu. Aktivitas vulkaniknya naik turun, setidaknya sejak erupsi terakhir tahun 2013.
Data PVMBG Badan Geologi menunjukkan, pada 2017 hingga 2019, periode Juni-Juli, terpantau gempa uap air dan asap yang diduga disebabkan berkurangnya air tanah akibat perubahan musim.
Freatik
Tipe erupsi freatik sangat dipengaruhi kandungan air di dalam tubuh gunung api. Adanya perubahan jumlah air tanah menyebabkan gejolak atau tremor di dalam tubuh gunung api. Interaksi antara magma segar di kantong magma dan air tanah dikenal dengan sebutan fenomena hidrotermal.
Gas-gas vulkanik dilepaskan oleh magma segar dari dapur magma gunung api sehingga mendidihkan air tanah dan menghasilkan uap air yang segera terjebak dan terakumulasi di bawah tubuh gunung api. Pemanasan hebat menyebabkan tekanan uap air meningkat sehingga memaksanya mencari jalan keluar ke permukaan.
Akibat dorongan kuat dari uap air dari dalam tubuh gunung api, terjadilah erupsi freatik. Kejadian erupsi freatik cukup sulit diprediksi sebab tidak ada tanda-tanda yang jelas seperti halnya erupsi magmatik. Pengamatan paling mudah adalah memantau kejadian gempa vulkanik atau tremor dari dalam gunung dengan lebih detail meskipun nilai amplitudonya cukup kecil.
Peralatan seismograf harus dalam kondisi baik dan seluruh instrumen alat memiliki kepekaan tinggi terhadap kondisi tubuh gunung api. Setiap aktivitas vulkanik pasti memiliki tanda-tanda yang mendahuluinya, termasuk gempa-gempa mikro dengan amplitudo yang tidak seberapa.
Jika erupsi freatik menghasilkan gas bertekanan tinggi, erupsi magmatik menghasilkan lelehan lava panas ke permukaan bumi. Erupsi magmatik biasanya diawali dengan erupsi freatik sehingga sumbatan material di bibir kawah terbuka dan lava dengan suhu dan tekanan yang sangat tinggi dapat mengalir ke permukaan.
Tipe erupsi freatik menghasilkan material gunung api berupa abu dan debu, disertai gas bertekanan tinggi. Menurut Sri Mulyaningsih dalam bukunya, Vulkanologi (2013), erupsi freatik disebut juga dengan erupsi hidrovulkanik, yang tekanan erupsinya dibentuk oleh tekanan uap dari dalam bumi.
Ciri lain dari erupsi freatik adalah kolom abu yang dihasilkan cenderung berwarna putih, kemudian dilanjutkan warna lebih gelap, tanpa ada material magmatik. Warna putih pada kolom abu menunjukkan adanya dominasi uap air.
Dampak pariwisata
Ketebalan abu vulkanik akibat erupsi di sekitar kawasan Gunung Tangkuban Parahu mencapai lebih dari 1 sentimeter. Warung dan fasilitas pariwisata dipenuhi abu vulkanik. Bahkan, tebal abu di lahan parkir mencapai lebih dari 5 sentimeter.
Gunung Tabungkuban Parahu yang berada di ketinggian 2.048 meter di atas permukaan laut atau sekitar 6.837 kaki menjadi ikon utama kawasan wisata Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkuban Parahu di Jawa Barat.
Ada tiga kawah terpopuler di kalangan wisatawan, yaitu Kawah Ratu, Kawah Upas, dan Kawah Domas.
Saat terjadi erupsi, pengunjung dievakuasi guna mencegah jatuhnya korban. Masyarakat sekitar, pedagang, wisatawan, pendaki, dan pengelola kawasan wisata harus tetap waspada terjadinya letusan susulan yang sulit diprediksi.
Setelah kejadian erupsi, seluruh kawasan wisata ditutup sementara untuk publik. Masyarakat dilarang menginap di dalam kawasan kawah-kawah aktif yang ada di dalam kompleks gunung, sebab masih terdapat gas-gas vulkanik yang membahayakan.
Fenomena erupsi yang terjadi berpengaruh terhadap perekonomian di sektor pariwisata. Berdasarkan data Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, jumlah kunjungan wisatawan ke TWA Tangkuban Parahu mencapai sekitar 1,3 juta jiwa pada tahun 2015. Angka terbesar jumlah kunjungan wisatawan bisa mencapai sekitar 1,5 juta jiwa.
Sebagai lokasi wisata favorit masyarakat Jawa Barat, kunjungan wisatawan lokal mendominasi tiap tahunnya. Jumlah kunjungan wisatawan lokal tahun 2011 hingga 2015 cukup fluktuatif, tetapi konsisten di atas 1 juta pengunjung.
Lesunya perekonomian TWA Gunung Tangkuban Parahu menjadi gambaran jelas tentang urgensi kesiapan masyarakat dan pengelola kawasan wisata saat terjadi bencana. Pengaruh bencana terhadap jumlah wisatawan sangat besar. Hal tersebut terjadi di banyak lokasi pariwisata yang terkena bencana dua tahun terakhir.
Berdasarkan data Kementerian Pariwisata tahun 2017 hingga 2018, kejadian bencana mampu mengurangi jumlah wisatawan cukup signifikan.
Saat terjadi erupsi Gunung Sinabung pada periode Mei-Juni 2017, kunjungan wisatawan turun 30.000 jiwa. Hal serupa terjadi saat erupsi Gunung Agung di Bali pada periode Agustus-September 2017 sehingga wisatawan turun 230.000 jiwa.
Menginjak tahun 2018, kejadian bom Surabaya dan letusan Gunung Merapi menyebabkan jumlah wisatawan turun 120.000 jiwa. Setelah dua kejadian tersebut, kunjungan wisatawan sempat naik, sebelum terjadi dua kejadian bencana besar, yaitu gempa Lombok dan gempa Palu. Total 260.000 wisatawan mengurungkan niatnya berkunjung.
Penghujung tahun 2018 kembali terjadi bencana di kawasan Banten, yaitu tsunami Selat Sunda yang disebabkan runtuhan material Gunung Anak Krakatau.
Kejadian bencana berdampak pada penutupan bandara hingga peringatan wisata dari sejumlah negara. Akibatnya, perekonomian area terdampak bencana tambah terpuruk.
Mitigasi
Kejadian erupsi freatik terjadi berulang kali di banyak gunung api di Indonesia. Selain gunung Tangkuban Parahu, erupsi freatik juga terjadi di Gunung Sinabung pada Selasa (7/5/2019) sore.
Erupsi tersebut menghasilkan abu vulkanik dengan tinggi kolom abu mencapai 2.000 meter. Akibatnya, empat kecamatan di wilayah Karo terkena hujan abu.
Sebelumnya, Gunung Merapi mengalami dua kali erupsi freatik pada Mei 2018. Kejadian pertama terjadi pada dini hari dengan tinggi kolom abu 700 meter, dan sekitar pukul 09.30 WIB kembali meletus dengan kolom abu setinggi 1.200 meter. Khusus Gunung Merapi, erupsi freatik selalu muncul sebelum terjadi erupsi magmatik yang besar.
Erupsi freatik juga tiba-tiba terjadi di Gunung Bromo pada 8 Juni 2004. Erupsi saat itu tanpa didahului kemunculan gempa vulkanik. Tinggi kolom abu yang dihasilkan mencapai ketinggian 3.000 meter dari bibir kawah. Akibatnya, dua wisatawan tewas dan lima orang luka-luka.
Fenomena erupsi freatik memunculkan kemungkinan terjadinya erupsi magmatik. Oleh sebab itu, pantauan terhadap perilaku gunung api setelah erupsi freatik menjadi salah satu kunci, selain melihat sejarah letusan gunung tersebut.
Peningkatan kapasitas masyarakat menghadapi bencana erupsi gunung api menjadi kunci penting, selain realisasi mitigasi struktural berupa pembangunan infrastruktur. Upaya mitigasi bencana dilakukan jauh sebelum terjadi bencana.
Setidaknya ada lima upaya mitigasi bencana pada periode prabencana. Pertama, penyelidikan gunung api menggunakan berbagai metode ilmu kebumian. Kajian ilmu kebumian yang komprehensif meliputi analisis fasies gunung api atau material endapan hasil letusan pada masa lampau hingga pola letusannya dari waktu ke waktu.
Kedua, pembuatan peta kawasan rawan bencana gunung api yang menjelaskan jenis dan sifat bahaya gunung api, daerah rawan bencana, arah penyelamatan diri, lokasi pengungsian, dan pos penanggulangan bencana. Rencana kontijensi harus turut disertakan.
Rencana kontijensi merupakan dokumen perencanaan yang dirancang karena keadaan darurat. Menurut Pusat Studi Bencana Alam UGM, perencanaan kontijensi merupakan salah satu dari berbagai rencana yang digunakan dalam siklus manajemen risiko. Perencanaan ini dilakukan ketika terdapat potensi terhadap terjadinya bencana pada tahap kesiapsiagaan atau di luar dugaan.
Ketiga, sosialisasi informasi kepada pemerintah daerah dan penyuluhan langsung kepada masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar gunung api. Selanjutnya, membentuk tim tanggap darurat bila terjadi peningkatan aktivitas gunung api.
Tim tanggap darurat juga bertugas mengevaluasi laporan dan data PVMBG, mengirim tim ke lokasi, dan melakukan pemeriksaan secara terpadu. Terakhir, pemantauan aktivitas gunung api selama 24 jam oleh PVMBG.
Dalam konteks risiko bencana, upaya mitigasi menjadi jaminan kesiapan untuk menghadapi bencana, meminimalkan dampak bencana, dan kemampuan untuk pulih kembali. Kemampuan ini penting dimiliki saat hidup berdampingan dengan gunung api. (LITBANG KOMPAS)