Infrastruktur dan Lonjakan Utang BUMN
Biaya pembangunan proyek infrastruktur selama empat tahun terakhir, sebagian dibebankan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akibatnya, utang BUMN melonjak sehingga menimbulkan risiko dari aspek pembiayaan serta manajemen.
Total biaya pembangunan infrastruktur pada 2015-2019 diperkirakan sebesar Rp 5.500 triliun. APBN hanya mampu menanggung 42 persen.
Data Kementerian BUMN menunjukkan, total utang perusahaan BUMN pada 2018 sebesar Rp 2.394 triliun. Utang itu di luar dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 3.219 triliun. Utang perusahaan BUMN tahun 2018 itu meningkat dibandingkan utang 2017 yang sebesar Rp 1.623 triliun.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas dari berbagai sumber selama tiga pekan terakhir, peningkatan utang paling signifikan dilakukan BUMN Karya atau bidang konstruksi. Setelah itu, BUMN yang bergerak di sektor kepelabuhan, bandara, dan kelistrikan.
Lonjakan utang tertinggi, yakni PT Waskita Karya Tbk dari Rp 3,2 triliun tahun 2014 menjadi Rp 61,7 triliun tahun 2018 atau naik nyaris 20 kali lipat. Adapun utang PT Pembangunan Perumahan Tbk, PT Hutama Karya, PT Adhi Karya Tbk, dan PT Wijaya Karya Tbk, meningkat 3-4 kali lipat pada 2014-2018.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, kinerja BUMN secara agregat terus membaik. Hal itu dilihat dari sejumlah indikator, seperti peningkatan aset, kemampuan membayar utang atau liabilitas, pendapatan, dan laba tahun berjalan.
"Tetapi, beberapa BUMN, khususnya BUMN Karya yang fokus di sektor infrastruktur, kinerja keuangannya masih tetap riskan," kata Faisal.
Baca juga : Jokowinomics dan Peringatan IMF
Hal itu mengacu pada kemampuan perusahaan BUMN membayar utangnya, dilihat dari indikator rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER). Sebagai contoh, pada 2018, DER PT Waskita Karya Tbk sebesar 3,53; PT Hutama Karya 3,22; PT Adhi Karya 1,34; PT Wijaya Karya 1,11, dan PT PP 0,72.
Pada 2014, DER PT Waskita Karya Tbk hanya sebesar 1,11; PT Hutama Karya 5,04; PT Adhi Karya 1,38; PT Wijaya Karya 0,78; dan PT PP 1,13. Data itu diambil dari laporan keuangan masing-masing BUMN, yang dihimpun Lembaga Penyelidikan Ekomomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia.
"Kalau rasionya di atas dua atau tiga kali itu artinya kesehatan BUMN sudah mengkhawatirkan. Tetapi, pengecualian untuk BUMN perbankan," tutur Faisal.
Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro LPEM Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, peran swasta dalam pembangunan infrastruktur selama empat tahun nyaris tidak ada. Hampir semua proyek dibangun BUMN sehingga utang mereka naik signifikan. Meski demikian, penarikan utang masih dalam batas aman.
Selain itu, rasio rasio profitabilitas (Return on Equity/ROE) semua BUMN karya di atas 10 persen. “Utang naik cukup tajam, tetapi digunakan untuk membangun proyek-proyek yang laku,” kata Febrio.
Peran swasta dalam pembangunan infrastruktur selama empat tahun nyaris tidak ada. Hampir semua proyek dibangun BUMN sehingga utang mereka naik signifikan.
Menurut Febrio, BUMN karya dinilai mampu membayar utang jangka pendek yang tercermin dalam rasio lancar (current ratio) di atas 100 persen. Jumlah aset likuid lebih besar dari kewajiban likuidnya, sehingga utang jangka pendek tidak masalah. Meskipun hampir semua indikator dalam batas aman, tetapi risiko pembiayaan dan manajemen tetap ada.
Efek rembetan
Sebagian utang yang ditarik BUMN untuk membangun infrastruktur berasal dari perbankan, terutama bank-bank BUMN.
Penyaluran kredit infrastruktur Bank Mandiri sepanjang 2018 mencapai Rp 182,3 triliun. Kredit bank pelat merah yang berkontribusi terbesar pada infrastruktur itu bertumbuh 29,3 persen secara tahunan. Pertumbuhan ini lebih lambat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Secara tahunan, pertumbuhan kredit infrastruktur mencapai 34,7 persen pada 2017 dan 47,5 persen pada 2016.
Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas mengatakan, prospek penyaluran kredit ke infrastruktur memang sedang menurun. Hal itu disebabkan oleh melambatnya penyaluran kredit kepada BUMN Karya yang masih menanggung utang yang belum dibayar.
“Pertumbuhannya di tahun ini tidak tinggi, karena masing-masing perusahaan masih memiliki outstanding credit yang menyebabkan terkena aturan legal lending limit,” kata Rohan.
BUMN Karya tersandung Batas Minimum Peminjaman Kredit (BMPK) yang diatur oleh OJK. Dalam aturan itu, BMPK untuk korporasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah sebesar 30 persen dari modal.
Secara keseluruhan, jumlah penyaluran kredit infrastruktur Bank Mandiri naik signifikan sejak 2015 atau saat mulai efektifnya pemerintah Presiden Joko Widodo. Total penyaluran pada 2018 sebesar Rp 182,3 triliun melonjak hingga 2,5 kali lipat dari hanya Rp 70,9 triliun pada 2015.
BUMN Karya tersandung Batas Minimum Peminjaman Kredit (BMPK) yang diatur oleh OJK. Dalam aturan itu, BMPK untuk korporasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah sebesar 30 persen dari modal.
Adapun BNI menyalurkan Rp 110,6 triliun kepada proyek infrastruktur atau bertumbuh 11,4 persen secara tahunan. Pertumbuhan secara tahunan tersebut juga melambat dibandingkan 2017 yakni 15,2 persen dan 2016 yang mencapai 30 persen.
Direktur Bisnis Korporasi Bank BNI Putrama Wahyu Setyawan menuturkan, penyaluran kredit infrastruktur masih akan menjadi prioritas walaupun sedikit melambat. Bank BNI masih dalam penyaluran kredit ke jalan tol Jakarta-Cikampek II dan Yogyakarta-Solo, serta di sektor telekomunikasi.
Terkait risiko pemberian kredit, BNI tidak khawatir terhadap kesulitan pembayaran dari BUMN Karya. Menurut Putrama, pihaknya selalu mengacu terhadap syarat kelayakan kredit. Tentunya juga menaati aturan OJK terkait BMPK sebesar 30 persen.
Salah satu syaratnya adalah rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER) yang sehat bagi perusahaan BUMN Karya. “Syarat kelayakan lain seperti credit ratio, return, net present value,” pungkas Putrama.
Ekonom Center of Reform on Economics Piter Abdullah menegaskan, risiko penyaluran kredit infrastruktur yang ditanggung perbankan masih terukur. Mereka masih cenderung aman karena aturan BMPK.
“Aturan BMPK merupakan cara efektif menjaga risiko kredit bank BUMN. Dengan itu, OJK memiliki rambu-rambu agar bank tidak terjebak dalam kredit infrastruktur yang bisa membahayakan. Jadi risikonya terhitung,” ucap Piter.
Baca juga: Infrastruktur dan Jaminan Pemerintah atas Utang BUMN
Menurut Piter, BUMN Karya perlu mulai mencari alternatif pembiayaan selain pinjaman dari bank. “Bisa dengan banyak jalan seperti menerbitkan obligasi dan reksa dana,” sebutnya.
Sebelumnya, perbankan BUMN meminta relaksasi terhadap aturan BMPK karena terjadinya perlambatan kredit. Namun, OJK menolak tegas itu. Aturan BMPK sudah diatur sedemikian rupa untuk menghindari risiko.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, ruang penyaluran kredit memang mulai terbatas. Hal itu disebabkan BMPK sebesar 30 persen dari modal kepada perusahaan BUMN hampir terpakai seluruhnya.
Terkait hal tersebut, Wimboh tidak akan melonggarkan peraturan tersebut. Sebab, pelonggaran aturan dapat menimbulkan risiko bagi perbankan BUMN, sebagai penyalur kredit.
Peran swasta dibutuhkan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro, menuturkan, pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur sejak 2014 sehingga penugasan BUMN diprioritaskan. Hal itu karena BUMN menguasai aset-aset penting, seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan.
“Ketika mereka membangun infrastruktur, kebutuhan pembiayaan dipenuhi dari berutang. Namun, yang penting struktur utang dalam koridor aman, sesuai kemampuan bayar dan bertenor jangka panjang,” kata Bambang.
Menurut Bambang, sejauh ini belum ada indikasi BUMN akan gagal bayar utang. BUMN melakukan kalkulasi cukup cermat antara kebutuhan penarikan utang dan prospek keuntungan proyek. Pemerintah juga memberi suntikan dana agar kesehatan keuangan BUMN terjaga kendati dibebani penugasan pembangunan sejumlah proyek.
Indonesia diperkirakan butuh dana sekitar Rp 5.500 triliun untuk pembangunan infastruktur pada 2014-2019. Idealnya kebutuhan dana itu dialokasikan dari APBN sekitar Rp 2.300 triliun (42 persen), BUMN Rp 1.200 triliun (22 persen), dan swasta Rp 2.000 triliun (36 persen). Namun, saat ini kebutuhan biaya infrastruktur masih dibebankan ke APBN dan BUMN.
Bambang mengatakan, kebutuhan pembiayan infrastruktur akan kembali meningkat pada 2020-2024 menjadi sekitar Rp 6.000 triliun. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mengurangi beban penugasan ke BUMN dengan mendorong keterlibatan swasta. Salah satunya melalui kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) sebagai alternatif pembiayaan.
Sejatinya skema KPBU ada sejak tahun 2015 sesuai Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang KPBU dalam penyediaan infrastruktur. Namun, menurut Bambang, implementasi KPBU cukup sulit karena proses lebih panjang ketimbang tender proyek APBN atau penugasan BUMN. Skema KPBU saat ini terus dievaluasi agar semakin diminati.
“Mulai tahun 2019 pemerintah daerah semakin berani menggunakan skema KPBU sehingga peran swasta bisa lebih besar,” kata Bambang.