Sentimen global mengganggu persepsi pelaku pasar yang sudah kecewa terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sentimen global mengganggu persepsi pelaku pasar yang sudah kecewa terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi. Investor lokal kerap mengekor pergerakan investor asing sehingga bursa Indonesia akan goyah ketika investor asing mulai khawatir terhadap stabilitas aset ekuitas di Tanah Air.
Kekhawatiran investor pasar modal tecermin pada pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terjadi selama empat hari perdagangan beruntun. Pada perdagangan Selasa (6/8/2019), IHSG ditutup turun 0,91 persen ke level 6.119,47. Sepanjang tahun 2018 berjalan hingga hari ini, indeks telah melemah 1,21 persen.
Pada perdagangan hari sebelumnya, IHSG tersungkur 2,5 persen ke level 6.175,7. Ini menjadi pelemahan terdalam IHSG sejak 5 September 2018. Padahal, pada penutupan perdagangan Jumat akhir pekan lalu, IHSG sudah jatuh 0,65 persen. Adapun pada Kamis hari sebelumnya, IHSG juga turun 0,14 persen.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pada hari Selasa investor asing mencatatkan aksi jual hingga Rp 2,07 triliun. Padahal, pada Senin sebelumnya, investor asing sudah lari dengan mencatatkan aksi jual sebesar Rp 1,09 triliun.
Saat dihubungi, Selasa, analis PT Panin Sekuritas Tbk, William Hartanto, mengatakan, pergerakan investor asing menjadi sebuah indikasi bagi pelaku pasar lain, terkait pergerakan indeks saham. Hal ini membuat IHSG menjadi goyah ketika investor asing memutuskan keluar dari pasar bursa Indonesia.
”Porsi kepemilikan investor asing sudah semakin sedikit dan mereka sudah tidak pegang kendali di pasar. Namun, yang selalu terjadi adalah investor asing melakukan aksi jual, lalu disusul oleh investor domestik,” ujarnya.
Memasuki triwulan ketiga setiap tahunnya, lanjut William, investor di pasar modal kerap keluar untuk mengambil untung atas kenaikan indeks saham yang terjadi pada paruh awal tahun berjalan. Apabila stabilitas ekonomi dan politik Tanah Air terjaga, investor asing akan kembali di bulan September.
Sementara itu, analis Artha Sekuritas, Dennies Christoper Jordan, menjelaskan, pelemahan IHSG secara beruntun dimulai sejak eskalasi tensi dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali meningkat.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan akan mengenakan tarif tambahan 10 persen terhadap impor barang asal China senilai 300 miliar dollar AS mulai 1 September 2019. Menurut Trump, tarif tersebut merupakan tindakan jangka pendek yang besarannya bisa dinaikkan secara bertahap hingga 25 persen.
”Tekanan dari sentimen global masih terasa sehingga secara teknikal IHSG masih mengindikasikan tren pelemahan,” ujar Dennies.
Tidak hanya menggiring IHSG ke zona merah, sentimen perang dagang antara China dan AS juga membuat pasar bursa di regional Asia memerah.
Pada penutupan perdagangan Selasa, indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melemah 0,65 persen ke level 20.585,31. Indeks Hang Seng Hong Kong pun turun 0,67 persen ke level 25.976,24. Penurunan juga terjadi pada indeks Shanghai Stock Exchange Composite Index (SSEC) yang melemah 1,56 persen ke level 2.777,56. Indeks Straits Times Singapura juga terpapar sentimen ini sehingga turun 0,67 persen ke 3.172,98.
Terkait sentimen dari dalam negeri, lanjut Dennies, investor pasar modal dibayangi perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada triwulan II-2019 yang membuat target pertumbuhan akhir tahun sebesar 5,2 persen semakin sulit dicapai.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi triwulan II-2019 yang hanya tumbuh 5,05 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Pada triwulan II-2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan tercatat 5,07 persen. Adapun pada triwulan I-2019 pertumbuhan ekonomi hanya 5,06 persen jauh lebih kecil dari pertumbuhan triwulan I-2018 sebesar 5,17 persen.
Data tersebut memberikan indikasi perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik dapat berlanjut sampai akhir tahun, bahkan mungkin hingga paruh pertama 2020. Kondisi ini berkolerasi dengan ekspektasi pertumbuhan pendapatan korporasi Indonesia yang berpotensi tumbuh hanya 6 persen hingga 8 persen.
”Melihat sentimen dari dalam dan luar negeri, gejolak pergerakan IHSG masih akan terus berlanjut hingga akhir tahun,” kata Dennies.