Semasa hidupnya, Mbah Moen memang dikenal sebagai pejuang nilai ke-Islam-an yang disesuaikan dengan budaya Indonesia. Maka, tidak heran apabila masyarakat Indonesia menilainya sebagai tokoh panutan, pemimpin, dan pengayom umat.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
Sosok ulama kharismatik Kiai Haji Maimoen Zubair atau yang akrab disapa Mbah Moen merupakan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Persatuan Pembangunan. Mbah Moen yang lahir di Rembang, Jawa Tengah, 28 Oktober 1928, meninggal pada usia 90 tahun.
Semasa hidupnya, Mbah Moen memang dikenal sebagai pejuang nilai ke-Islam-an yang disesuaikan dengan budaya Indonesia. Maka, tidak heran apabila masyarakat Indonesia menilainya sebagai tokoh panutan, pemimpin, dan pengayom umat.
Kepulangan Mbah Moen sontak merebut perhatian warganet sejak kabar meninggalnya pada Selasa (6/8/2019) pukul 04.17 waktu Mekkah, Arab Saudi. Hingga pukul 15.30 waktu Indonesia Barat, sudah lebih dari 76.000 cuitan dengan tagar ”Mbah Moen” dan lebih dari 34.000 cuitan dengan tagar ”KH Maimoen Zubair”.
Para warganet mengenal Mbah Moen sebagai guru yang tidak pernah lelah dalam menyerukan persatuan Indonesia dengan sejuk dan penuh kedamaian. Ada pula yang menuliskan ajaran Mbah Moen bahwa ”perbedaan tak perlu dibesar-besarkan sehingga kita bisa hidup rukun”.
”Yang paling hebat dari seorang guru adalah mendidik dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar. Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji kesabarannya, tetapi hadirkanlah gambaran bahwa di antara satu dari mereka kelak akan menarik tangan kita menuju Surga,” ujar Mbah Moen dalam pengajarannya.
Para warganet, termasuk tokoh masyarakat, Putri KH Abdurrahman Wahid (Gusdur), Alissa Wahid, juga mencuitkan kedekatannya dengan sosok Mbah Moen. Alissa mengatakan, meski air matanya tidak berhenti mengalir, ia percaya Mbah Moen sudah berbahagia karena berpulang ke tempat yang dicintainya.
Alissa mencuitkan, ”Banyak sekali hadiah yang Mbah Moen telah berikan kepada saya. Surban Mbah, kerudung, uang di amplop kecil... belum lagi hadiah imaterial yang begitu banyak... dalam derai air mata, saya mensyukuri semua hadiah Mbah Moen. Terima kasih atas kasih sayang Mbah kepada saya...”.
Kekaguman pada sosok Mbah Moen bukan hal baru bagi Alissa. Pada 2015, Alissa sempat mengungkapkan kekagumannya pada sikap Mbah Moen yang tetap memaksa berdiri dari kursi roda untuk menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”.
Alissa menuliskan bahwa Mbah Moen yang saat itu berusia 84 tahun sebenarnya tidak wajib untuk berdiri saat menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”. ”Tetapi demi rasa hormatnya kepada bangsa, pada lagu Indonesia Raya, beliau berdiri,” cuitnya.
Presiden Joko Widodo juga mengirimkan ucapan belasungkawa disertai doa melalui media sosial Twitter. Dalam akun Twitter, Presiden Jokowi kembali mengenang pertemuan dengan Mbah Moen.
Presiden Jokowi menuliskan, ”Sorban hijau ini dikalungkan sendiri oleh Kiai Haji Maimoen Zubair. Hari ini, sang empunya sorban wafat di Mekkah. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Semoga Allah SWT memberi Mbah Moen tempat yang lapang di sisi-Nya, dan segenap keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran. Amin”.
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013, Mahfud MD, pun menceritakan kenangannya saat berjumpa dengan Mbah Moen pada Juni 2019. Mahfud pun mendoakan agar Mbah Moen mendapatkan surga-Nya.
Salah satu pengajaran Mbah Moen yang masih terpatri dalam benak masyarakat, yaitu tidak semua orang pintar itu benar dan tidak semua orang benar itu pintar. Banyak orang yang pintar, tetapi tidak benar dan banyak orang benar meskipun tidak pintar.
Daripada jadi orang pintar, tetapi tidak benar; lebih baik jadi orang benar meskipun tidak pintar. Ada yang lebih bijak, yaitu jadi orang pintar yang senantiasa berbuat benar.
”Memintarkan orang yang benar itu lebih mudah daripada membenarkan orang yang pintar. Membenarkan (membuat benar) orang yang pintar itu membutuhkan beningnya hati dan lapangnya dada,” ujar Mbah Moen dalam pengajarannya.