Perlakuan pada hewan kurban yang baik bakal menentukan kualitas dagingnya. Tak hanya sekadar gemuk, banyak indikator yang harus menjadi perhatian.
Domba jantan besar berbulu cerah itu diikat pada sebatang pohon di depan lobi Museum Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (1/8/2019), pukul 09.30. Posturnya tampak gagah. Akan tetapi, tampilan luar itu tidak membuat dua petugas Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jabar, percaya begitu saja. Mengenakan sarung tangan, mereka hati-hati membuka mulut domba ini.
"Jika diperhatikan, domba ini sudah cukup umur dan siap kurban. Umurnya diperkirakan lebih dari dua tahun. Salah satu tandanya, ada dua pasang gigi tetap yang sudah tumbuh," kata petugas dinas.
Pejantan tangguh itu sengaja didatangkan dalam sosialisasi tentang kesehatan dan kelayakan hewan kurban menjelang Idul Adha 1440 Hijriah, kepada wartawan di Gedung Sate. Alasannya, belum semua masyarakat paham tentang hewan kurban yang layak saat Idul Adha.
Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Jabar Pranyata Tangguh Waskita, hingga kini masih ada sebagian masyarakat yang menilai hewan layak kurban adalah sekadar berbadan gemuk. Pendapat itu keliru. Gemuk belum berarti memenuhi syarat jadi hewan kurban.
Hewan kurban itu harus cukup umur. Pada domba atau kambing di atas satu tahun atau ditandai dengan tumbuhnya sepasang gigi tetap. Sedangkan pada sapi atau kerbau usia di atas dua tahun atau ditandai dengan tumbuhnya sepasang gigi tetap.
Hewan kurban juga harus sehat, tidak cacat, tidak kurus, jantan, serta tidak dikebiri. Hewannya juga tidak cacat, seperti tanduknya tidak patah, ekor tidak buntung, dan kaki tidak pincang. Syarat lainnya, hewan kurban memiliki dua buah zakar dengan bentuk dan letak simetris.
Pranyata mencontohkan, hewan itu harus berdiri sempurna pada empat kaki, tidak timpang. Bulu cerah bersinar, performa bagus, gusi berwarna merah muda, mata juga tidak merah karena hal itu mengindikasikan hewan mengalami demam.
Jika suhu hewan kurban antara 39–41 derajat celcius, sebaiknya juga jangan dibeli karena suhu tubuhnya tinggi. Bisa jadi hewan itu sedang sakit. "Kulit juga bisa dicek dengan diangkat, kalau tak kembali dengan cepat ke posisi semula mengindikasikan hewan mengalami dehidrasi. Dari kotorannya juga bisa dicermati, kalau mencret mengindikasikan hewan sedang diare," katanya.
Jangan dibuat stres
Tak kalah penting juga bagi umat muslim yang hendak berkurban, Pranyata mengingatkan supaya memerhatikan kesejahteraan hewan. Jangan membuat hewan kurban itu dalam kondisi stres sebelum dipotong.
Disarankan hewan kurban yang dibeli tidak mepet waktunya dengan hari kurban agar memberikan kesempatan pada hewan untuk tenang dan tidak kelelahan, setidaknya H-3 atau 1 x 24 jam. Hewan kurban perlu tetap mendapatkan perlakuan sewajarnya antara lain bisa makan rumput.
Begitu pula ketika proses pemotongan, saat ada yang disembelih, sebaiknya hewan kurban lainnya tidak melihat. Alasannya, hewan itu rentan stres. Darah yang keluar dapat terganggu karena tidak rileks.
Akibatnya, pembuluh darah menjadi tak keluar, sehingga banyak darah tersimpan dalam jaringan. Hal ini dapat menjadi media pertumbuhan bakteri yang cepat, sehingga daging relatif cepat membusuk. Bahkan daging juga menjadi alot.
"Jadi, daging yang alot itu belum tentu karena tua. Bisa saja akibat pengaruh proses pemotongan yang kurang tepat,” ujar Pranyata. Pranyata juga menganjurkan setidaknya dalam waktu empat jam pascapemotongan, daging hewan kurban sudah sampai ke tangan penerima agar daging masih dalam keadaan segar dan kualitas baik.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jabar Arif Hidayat mengatakan, masyarakat dapat membeli hewan yang sudah memiliki tanda berupa kalung sehat.
Artinya, hewan sudah dicek dan diperiksa kesehatannya. Pemeriksaan kesehatan dan kelayakan hewan kurban menganstisipasi dari luar daerah sehingga dilakukan cek poin di tiga titik, yakni kawasan Gunung Sindur (Bogor), Losari, (Cirebon), dan Mekarharja (Banjar).
"Akan tetapi, karena arus lalu lintas perdagangan yang tinggi, kadang hewan kurban luput dari pemeriksaan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat kenal ciri-ciri hewan kurban yang layak," ujar Arif.
Menurut Arif, hewan kurban di Jabar yang banyak didatangkan dari luar daerah adalah sapi hingga 400.000 ekor. Asalnya dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Direktur PD Sritani Ganjar Rusmana (42), yang menjual 120 ekor sapi di Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, menuturkan, sapi itu didatangkan dari Kabupaten Pati, Jateng. Harganya antara Rp 21 juta-Rp 38 juta per ekor.
"Semua hewan kurban ada surat-suratnya dari dinas peternakan, seperti surat keterangan hewan, juga surat keterangan hasil pemeriksaan. Semua hewan kurban juga ada kalung sehat. Pemeriksaan dilakukan tanggal 31 Juli lalu," kata Ganjar.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jabar Koesmayadi Tatang Padmadinata menjelaskan, dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, rata-rata hewan kurban yang dipotong di Jabar 250.000 ekor per tahun. Seiring pertumbuhan ekonomi, dan pengurangan angka kemiskinan, hewan kurban akan meningkat, jumlahnya sekitar 275.000 ekor tahun ini.
"Kami juga memberikan pelatihan pemotongan dan kesehatan hewan kurban kepada anggota DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) antara 30–50 orang per tahun. Mereka yang sudah dilatih juga akan mengajarkan kepada anggota DKM lainnya yang belum pernah mendapatkan pelatihan. Tujuannya, memberikan ketenteraman bagi para pemberi hewan kurban sesuai persyaratan syariat Islam,” katanya.
Pemeriksaan dan verifikasi kualitas hewan kurban jelas menjadi komponen penting dalam Idul Adha. Semoga niat baik itu sah dan dapat dinikmati dengan bahagia oleh banyak manusia. (Samuel Oktora)