Krisis listrik kembali terjadi. Listrik padam yang terjadi pada Minggu (4/8/2019) sejak pukul 11.50 hingga malam hari menyebabkan pasokan listrik ke wilayah barat Pulau Jawa terhenti total. Situasi itu melumpuhkan aktivitas sebagian masyarakat di ibu kota Jakarta dan beberapa daerah lainnya.
Gangguan terjadi pada dua sirkuit di jalur utara sistem kelistrikan Jawa-Bali. Sementara sistem kelistrikan Jawa-Bali terdiri atas dua jalur, yakni utara dan selatan, masing-masing dua sirkuit. Jalur utara ialah Rembang, Ungaran, dan Mandiraja. Adapun jalur selatan adalah Kediri, Kesugihan, dan Tasikmalaya.
Jaringan Ungaran-Pemalang pun terganggu. Sementara saat beban rendah, PLN memelihara satu sirkuit di jalur selatan. Peralihan pasokan listrik dari timur ke barat Jawa melalui satu sirkuit di jalur selatan mengakibatkan sistem terlepas di Kesugihan-Tasikmalaya. Pasokan listrik terputus dan tegangan turun.
Dari sisi pasokan, kondisi kelistrikan di Jawa-Bali aman karena ada kelebihan pasokan listrik. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mencatat kapasitas terpasang sistem kelistrikan Jawa-Bali 34.550 megawatt (MW). Sementara kebutuhan listrik saat beban puncak 27.070 MW.
Selama ini sistem kelistrikan Jawa-Bali terhubung antardaerah. Menurut pengamat kelistrikan, Fabby Tumiwa, sistem interkoneksi ketenagalistrikan merupakan sistem yang terdiri dari beberapa pembangkit listrik dan gardu induk, jaringan tegangan tinggi, menengah, dan rendah, serta beban saling terhubung.
Sistem interkoneksi memungkinkan penyaluran daya listrik ke beban listrik melalui jaringan transmisi tegangan tinggi, menengah, dan rendah. Jaringan transmisi tegangan tinggi disebut saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET). Di Jawa ada jaringan transmisi 150 kV di utara dan 500 kV di selatan.
Sementara gardu induk tegangan ekstra tinggi (GITET) merupakan subsistem transmisi. Keberadaan gardu induk tersebut berfungsi untuk mentransformasi daya listrik dari tegangan ekstra tinggi (500 kV) ke tegangan tinggi (150 kV), tegangan tinggi ke tegangan menengah (70 kV/20 kV).
Keandalan sistem interkoneksi ditentukan interoperability (mekanisme koordinasi antarkomponen) dalam setiap komponen: pembangkit, jaringan, subsistem dan beban; operasi stabil dari sistem interkoneksi; kapasitas transfer cukup; serta pasokan daya yang cukup.
Sistem interkoneksi telah diterapkan di sejumlah negara, termasuk di Eropa. Menurut pengamat kelistrikan dari Universitas Gadjah Mada, Tumiran, dengan interkoneksi, jaminan pasokan lebih efisien dan andal. Contohnya, jika satu pembangkit terganggu, pembangkit lain bisa memasok daya.
Persoalannya, gangguan yang berdampak pada pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berbasis batubara membutuhkan waktu beberapa jam untuk pulih lantaran mesin harus dimatikan sebelum dihidupkan kembali. Karena itu, mesin turbin gas yang lebih cepat memasok daya perlu disiapkan dalam sistem cadangan untuk mengantisipasi jika ada gangguan.
Ada kelemahan
Menurut Fabby, terdapat kelemahan dalam sistem interkoneksi karena kompleksitas sistemnya terdiri dari berbagai komponen dan interaksi di antara berbagai komponen tersebut. Hal itu membuat operasional sistem interkoneksi berisiko terjadi gangguan.
Untuk mencegah listrik padam, jarak jaringan transmisi tegangan menengah dengan pepohonan atau bangunan di bawahnya harus aman dan bebas dari gangguan. Keamanan infrastruktur perlu dijamin dan kemampuan operasi jaringan transmisi serta kapasitas pembangkit harus dijaga.
Selain tak boleh tunggal, jaringan listrik harus bisa menyalurkan, mengirim, dan menerima daya. Tumiran menekankan pentingnya koordinasi pengamanan agar jika ada gangguan, sistem bisa memilah mana yang harus dilepas dari sistem agar tidak meluas.
Perawatan teknis pun mesti rutin dilakukan dan harus ada skema pengamanan jika ada gangguan pasokan. Dengan demikian, terdapat sistem cadangan operasi berlapis dengan mempertimbangkan keandalan dan respons cepat, tak hanya memperhatikan efisiensi biaya operasional.