JAKARTA, KOMPAS —Tertangkapnya dalang pembalakan liar hutan negara di kawasan perbatasan Jambi-Sumatera Selatan, menunjukkan tata kelola hutan produksi yang tidak jelas. Perusahaan selaku pemilik izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH), disinyalir tidak mengurus lahan itu.
Padahal kawasan hutan yang diizinkan dikelola itu merupakan tanggung jawab perusahaan pemilik HPH. Jangan sampai kawasan hutan itu diabaikan, sehingga dimanfaatkan oknum-oknum tertentu, terutama pembalak liar.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi Rudiansyah, Selasa (6/8/2019), saat dihubungi dari Jakarta, mengatakan, kasus pembalakan liar di Jambi, banyak terjadi di hutan produksi yang izin HPH-nya masih aktif, tetapi lahannya tidak diurus perusahaan.
“Dari pantauan kami, lahan itu ada izinnya, tetapi ketika dicek di lapangan, tidak berproduksi,” katanya.
Kasus pembalakan liar di Jambi, banyak terjadi di hutan produksi yang izin HPH-nya masih aktif, tetapi lahannya tidak diurus perusahaan.
Ketidakjelasan status lahan tersebut, membuat pembalakan liar marak terjadi. Biasanya, lanjut Rudi, pembalakan hutan itu diiringi dengan penguasaan lahan. Lahan yang dikuasai secara sepihak itu ditanami sawit atau tanaman lainnya yang strategis.
Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah memantau perkembangan implementasi HPH di Jambi. Jangan sampai izinnya ada, tetapi lahannya tidak digarap. Kelengkapan perizinan HPH itu juga harus diperhatikan.
“Pemerintah juga harus memeriksa seluruh izin di kawasan hutan, atau zona penyangga hutan sejauh mana implementasinya,” katanya.
Di kantor Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian RI (Polri), Jakarta, Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Komisaris Besar Irsan mengatakan, polisi menahan M (42), dalang pembalakan liar di batas Jambi-Sumatera Selatan. M membayar sekitar 40 orang karyawan untuk menebang pohon di lahan hutan produksi milik salah satu perusahaan swasta.
"Perusahaan pemilik izin HPH mengaku kewalahan mengatasi pembalakan hutan ini," kata dia.
Irsan melanjutkan, kayu yang sudah ditebang itu diangkut melalui kanal-kanal kecil yang bermuara di gudang M, Dusun III Pancuran, Desa Muara Merang, Bayung Lincir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Di lapangan, polisi menyita kayu sebanyak 2.000 meter kubik dengan berbagai jenis. Hingga kini, polisi masih mendalami orang atau perusahaan yang menampung kayu ilegal itu.
Atas perbuatannya, M terancam pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar. Ini sesuai dengan Pasal 88 Ayat (1) Huruf (a) juncto Pasal 16 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.