Ribuan Santri di Cirebon Shalat Ghaib Doakan KH Maimoen Zubair
Sedikitnya 4.000 santri Pondok Pesantren KHAS Kempek, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menggelar shalat Ghaib dan tahlilan atas wafatnya KH Maimoen Zubair, Selasa (6/8/2019). Kegiatan itu untuk mendoakan ulama kharismatik yang sangat dihormati oleh semua kalangan tersebut.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·2 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Sedikitnya 4.000 santri Pondok Pesantren KHAS Kempek, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menggelar shalat Ghaib dan tahlilan atas wafatnya KH Maimoen Zubair, Selasa (6/8/2019). Kegiatan itu untuk mendoakan ulama kharismatik yang sangat dihormati oleh semua kalangan tersebut.
Shalat Ghaib dilaksanakan di Masjid Al-Jadied di Pondok Pesantren KHAS Kempek, setelah shalat Maghrib. Tidak hanya di dalam, para santri juga memadati pekarangan masjid dan selasar kelas. Bahkan, ada yang shalat di atas tanah beralaskan sajadah.
Pengasuh Ponpes KHAS Kempek sekaligus menantu KH Maimoen Zubair, KH Musthofa Aqiel Siroj, memimpin langsung shalat tersebut. Setelah shalat, para santri membaca Surah Yasin lalu melakukan tahlil akbar. Turut hadir Kapolres Cirebon Ajun Komisaris Besar Suhermanto.
Sebelumnya, KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen, wafat di Mekkah, Arab Saudi, Selasa. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, itu lahir di Rembang, tepat saat Kongres Pemuda II digelar 28 Oktober 1928.
Semasa hidup, almarhum pernah membaktikan diri sebagai anggota DPRD Kabupaten Rembang selama tujuh tahun dan anggota MPR utusan Jawa Tengah selama tiga periode. Mbah Moen adalah Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan.
KH Musthofa Aqiel mengatakan, hampir semua kiai di pesantren di Cirebon, seperti Ponpes Buntet dan Ponpes Babakan Ciwaringin, merupakan santri Mbah Moen.
”Mbah Moen adalah ahli semuanya, fikih, tasawuf, tafsir, bahkan politik. Oleh karena itu, kami merasa kehilangan atas wafatnya beliau,” ujar Musthofa.
Mbah Moen juga dikenal sebagai ulama yang tidak pernah memarahi santri nakal, tetapi mendekati dengan hati. Menurut KH Musthofa, wafatnya Mbah Moen untuk memenuhi panggilan Allah SWT. ”Allah merindukan beliau sehingga dipanggil di Tanah Suci,” ucapnya.
Hj Shobihah Maimoen, anak ketiga Mbah Moen sekaligus istri KH Musthofa Aqiel Siroj, mengatakan, selama hidup, Mbah Moen memberikan waktu dan pemikirannya untuk pesantren dan bangsa. Saat Ramadhan, misalnya, Mbah Moen mengajar para santri mulai dari Dzuhur hingga tengah malam.
”Bahkan, ketika ke luar negeri, banyak ulama dari negara lain meminta sanad kepada beliau. Abah (Mbah Moen) milik semua kalangan. Semoga kepergian beliau diikhlaskan,” kata Shobihah.