Ruwatan Tolak Bala ”Murwakala Candi Kidal”
Perkembangan zaman membuat sebagian masyarakat Jawa boleh jadi telah melupakan tradisi ruwatan. Namun, sebagian lain masih melakukan ritus itu, bahkan mengemasnya menjadi sebuah atraksi wisata. Seperti yang diselenggarakan di Candi Kidal, di Kabupaten Malang, Jawa Timur, baru-baru ini.
Dengan kepala basah oleh guyuran air tirta aji (air suci), beberapa anak muda meninggalkan pelataran Candi Kidal di Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Minggu (14/7/2019), di tengah panas terik matahari musim kemarau. Namun, wajah mereka tampak berseri. Beberapa kali tawa kecil mengembang saat ada rekan dari kejauhan meledek dengan maksud bercanda.
Di belakang mereka, puluhan warga laki-laki dan perempuan berbeda usia masih berbaris antre. Mereka menunggu giliran untuk mendapatkan siraman air serupa yang dibagikan panitia sebagai tanda bahwa mereka telah diruwat. Ya, siang itu, mereka memang tengah mengikuti ruwatan masal bertajuk ”Murwakala Candi Kidal”.
Disaksikan seribuan pasang mata warga setempat dan luar daerah yang memenuhi sekitar pelataran, panitia mempersilakan siapa saja yang ingin meruwat diri. Mereka diminta maju guna untuk mendapatkan tirta aji. Kegiatan itu dilakukan secara cuma-cuma.
Guyuran tirta aji sebenarnya hanya simbolis bahwa seseorang telah disucikan. Keburukan (sukerto) yang ada dalam dirinya telah dibersihkan. Menurut panitia, semua orang yang hadir menyaksikan prosesi itu secara otomatis telah ikut diruwat meskipun orang-orang tersebut tidak mendapatkan basuhan air suci.
Sementara itu, pararel dengan kegiatan pemberian, tirta aji di sudut sisi barat laut pelataran candi, Dalang Ki Wiji Wening Carito masih terus memainkan wayang dengan Lakon ”Murwakala”. Diiringi seperangkat gemelan yang mengentak, sang dalang memainkan wayang berdurasi sekitar satu jam.
”Senang,” ujar M Iwan (32), salah satu warga setempat. Meski setiap tahun datang ke lokasi ruwatan di Kidal, Iwan mengaku baru kali ini spontan maju ikut diruwat. Meski semua dikembalikan ke kepercayaan masing-masing, Iwan berharap dirinya dan keluarga selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti halnya dengan Iwan, Didik Wahyudi (23), warga Karangploso, Kabupaten Malang, juga berharap selalu mendapatkan keselamatan dan terhindar dari hal-hal buruk. Prosesi ini juga kali pertama Didik menjalani ruwatan. Secara umum, prosesi ruwatan di Candi Kidal kali ini dibuka dengan menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” dan sendratari Garudeya Adi Parwa atau Garuda.
Tarian oleh Sanggar Laras Aji Malang ini mengadopsi relief garuda yang ada di candi tersebut. Kidal merupakan candi pendharmaan Raja Singhasari Anusapati yang dibangun tahun 1248 M. Usai tarian, dilanjutkan prosesi doa oleh beberapa pemangku kepentingan. Lokasinya di dalam bilik candi yang dilanjutkan dengan pemotongan ujung rambut.
”Murwakala adalah meruwat hal yang kurang bagus, baik di dalam diri warga, pemerintah daerah, maupun pimpinan. Sifat buruk dalam diri dihilangkan,” ujar pelaku budaya Malang, Bambang Supomo.
Dikemas lebih baik
Menurut Bambang, konsep ruwatan di tempat ini sama dengan ruwatan pada umumnya di beberapa lokasi. Namun, yang membedakan hanya lokasinya berupa candi. Di Candi Kidal, ruwatan dilakukan setiap tahun dan baru kali ini dikemas lebih menarik menjadi tuntunan, sekaligus tontonan. Proses itu bukan sekadar mistis.
Sejumlah kegiatan budaya mengiringi, mulai dari pawai yang menyusuri jalan desa hingga pameran batik tulis oleh perajin di Desa Kidal. Ruwatan sebagai tradisi sudah lama berkembang di masyarakat Jawa. Belum ada yang tahu pasti kapan ruwatan pertama kali dilakukan.
Adapun di Candi Kidal, menurut Bambang, ruwatan sudah muncul sejak masa Anusapati memimpin Singhasari. Pada masa setelah kemerdekaan, ruwatan di Candi Kidal mulai dilakukan dalam seremonial agak besar sejak 1980-an.
Sri Teddy Rusdy dalam kata pengantar buku karyanya, Ruwatan Sukerta dan Ki Timbul Hadiprayitno, ruwatan bukan saja merupakan adat tradisi budaya Jawa yang penting terkait ritus, tetapi juga sebagai cara membersihkan sekaligus mencegah diri dari malapetaka.
Menurut Sri Teddy, ruwatan masih sering dilaksanakan masyarakat Jawa, termasuk mereka di perkotaan sebagai tradisi yang kuat. Sebab, bagi mereka, ruwatan berarti terbebas dari penderitaan dan terbebas dari wujud salah. ”Manusia yang tergolong dalam penderitaan itu berkaitan dengan berbagai hal atau kejadian yang tidak disengaja atau dikehendakinya,” katanya.
Sementara itu, pendapat Ketua Umum Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia Suparmin Sunjoyo— yang dikutip dari buku tersebut, tujuan ruwatan adalah menghindarkan diri dari malapetaka, bencana, kesalahan, dan kekeliruan dalam kehidupan. ”Ruwatan itu adalah menghilangkan segala kesialan dan kesulitan akibat kondisi yang menyertainya sejak lahir,” katanya.
Terlepas dari kepercayaan masing-masing orang, perkembangan teknologi membuat sebagian orang, khususnya generasi muda, banyak yang tidak mengerti tentang tradisi ini. Oleh karena itu, kegiatan ”Murwakala Candi Kidal” diharapkan bisa menjadi media pelestari budaya. ”Nguri-uri budaya Jawi (Melestarikan budaya Jawa),” kata Bambang.
Terobosan
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang Made Arya Wedanthara mengatakan, pihaknya berusaha membuat terobosan dengan melibatkan masyarakat sekitar candi. Bagaimana masyarakat diikutsertakan dalam pergelaran yang dikemas secara menarik sehingga berpotensi mendatangkan wisatawan.
”Ini terobosan kami. Kita evaluasi bagaimana keterlibatan masyarakat. Kami mencoba tahun ini, bagaimana kami menjaring masukan dari pemerintah desa dan tokoh setempat. Apa maunya? Kami ingin ada inovasi. Hasilnya adalah hari ini dengan terselenggaranya kegiatan ruwatan yang menarik. Candi Kidal ini, kan, ada potensi untuk pengembangan pariwisata,” ujarnya.
Kegiatan budaya, menurut Made, tidak saja dilakukan di Kidal. Semua candi bisa digunakan dengan tujuan untuk melestarikan seni dan budaya. Beberapa candi di Malang yang acap kali dipakai sebagai lokasi atraksi budaya antara lain Candi Badut di Kecamatan Dau dan Candi Jago di Kecamatan Tumpang.