Rencana Amerika Serikat untuk menempatkan rudal jarak menengah di Asia menandai perkembangan baru persaingan antarkekuatan utama di dunia.
Seperti ditulis harian ini, Senin (5/8/2019), Menteri Pertahanan Amerika Serikat Mark Esper mengungkapkan rencana Washington untuk menempatkan rudal di Asia. Hal ini disampaikannya beberapa hari setelah AS secara resmi meninggalkan Pakta Kekuatan Nuklir Jarak Menengah (INF).
Dalam pakta yang dihasilkan tahun 1987 itu, AS dan Uni Soviet (sekarang Rusia) tak diperbolehkan memiliki peluncur rudal, rudal jelajah, dan rudal balistik berbasis darat (diluncurkan dari daratan) berjangkauan 500-1.000 kilometer (jarak pendek) serta 1.000-5.500 kilometer (menengah). Keluarnya AS—didahului dengan tuduhan Washington bahwa Moskwa telah melanggar INF—membuat perjanjian ini berakhir. Pertimbangan lain yang digunakan AS ialah INF belum mengikutsertakan China.
Washington sebelum ini memang menyampaikan keinginan membentuk pakta yang diikuti tiga kekuatan: AS, Rusia, serta China. Alasan AS, China telah berkembang sebagai negara dengan kemampuan rudal cukup besar. Seperti ditulis The New York Times, Laksamana Harry B Harris Jr pada 2017, yang saat itu Panglima Komando Pasifik AS, mengatakan di depan Kongres bahwa militer China mengontrol ”kekuatan rudal terbesar dan paling beragam di dunia, dengan inventaris lebih dari 2.000 rudal balistik dan jelajah”. Ia mengklaim, kemampuan AS tertinggal karena patuh terhadap perjanjian dengan Rusia, sementara jika China menandatanganinya, 95 persen misilnya melanggar pakta.
Namun, sebagaimana telah ditulis situs Kementerian Luar Negeri China pada Februari 2019, China menolak perluasan pihak yang terlibat dalam INF. Media China, Global Times, mengungkapkan, negara itu berbeda dari AS dan Rusia dalam tujuan pengembangan senjata nuklir, ukuran persenjataan nuklir, dan cara penyebarannya. Persenjataan nuklir China jauh lebih kecil daripada AS dan Rusia sehingga tak ada alasan menarik China ke dalam perjanjian antara AS dan Rusia.
Dengan kondisi itu, perlombaan senjata—dalam bentuk pengembangan rudal yang terbuka peluang dipasangi hulu ledak nuklir—memasuki babak baru, yakni dimungkinkannya wilayah Asia sebagai lokasi penempatan rudal AS. Global Times menyebut bahwa dua negara di dekat China diduga akan diminta kesediaan mereka untuk menjadi lokasi penempatan rudal AS.
Situasi ini memberi tantangan berat bagi Asia. Persaingan AS-China ternyata tak hanya berhenti pada perang dagang dan kontestasi di Laut China Selatan, tetapi menyentuh pula isu penempatan rudal. Negara-negara Asia Tenggara, yang merupakan bagian dari kawasan Asia-Pasifik, sudah sepantasnya merespons perkembangan terbaru ini secara komprehensif. Kepentingan Asia Tenggara atas terciptanya situasi damai yang mendukung pertumbuhan akan terkena dampaknya.