Mekanisme pembiayaan dari perbankan kepada rumah sakit untuk menutupi keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan masih menuai kendala. Belum semua rumah sakit bisa mengakses program ini karena masalah administrasi yang dinilai cukup berbelit.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mekanisme pembiayaan dari perbankan kepada rumah sakit untuk menutupi keterlambatan pembayaran klaim dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan masih menuai kendala. Belum semua rumah sakit bisa mengakses program ini karena masalah administrasi yang dinilai cukup berbelit.
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia Susi Rusli saat dihubungi di Jakarta, Selasa (6/8/2019), menyampaikan, mekanisme program pembiayaan dari perbankan atau disebut supply chain financing (SCF) butuh proses yang cukup lama sehingga tidak bisa langsung diakses oleh rumah sakit. Padahal, pembiayaan ini dibutuhkan segera untuk kebutuhan operasional rumah sakit.
”Tentu setiap rumah sakit punya kendala yang berbeda dalam mengakses SCF. Sebagian rumah sakit masih kesulitan memenuhi persyaratan yang diberikan. Prosesnya juga perlu waktu yang agak lama,” ujarnya.
Selain itu, kendala yang dihadapi rumah sakit dalam mengakses SCF adalah besaran pagu talangan dari bank yang berbeda-beda untuk rumah sakit. Penerapan bunga bank juga berbeda untuk rumah sakit, tergantung dari negosiasi antara bank dan rumah sakit.
”Pagu talangan yang diberikan dari bank berbeda untuk setiap rumah sakit. Ini akan menjadi masalah apabila pagu dana talangan habis karena BPJS Kesehatan belum membayar utang klaim. Kami usulkan BPJS yang berhubungan langsung ke bank sehingga rumah sakit tinggal menerima dana sesuai klaim masing-masing,” tutur Susi.
Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Kuntjoro Adi Purjanto menambahkan, meski bunga yang diberikan di bawah denda keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan, yakni kurang dari 1 persen, jumlah itu dinilai masih memberatkan.
Selain itu, tenor atau jangka waktu angsuran yang ditetapkan juga terlalu singkat.
”Tenor yang diberikan itu 90 hari. Kami, rumah sakit, perlu waktu yang lebih panjang karena faktanya pembayaran yang diberikan BPJS Kesehatan lebih dari 90 hari. Jika waktu tenor diperpanjang, akan membuat rumah sakit menjadi lebih nyaman,” ujar Kuntjoro.
Menurut dia, mekanisme SCF yang ditawarkan pemerintah hanya menjadi solusi jangka pendek. Rumah sakit berharap ada langkah sistematis agar pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan bisa lancar. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, ekosistem keuangan rumah sakit bisa terganggu. Produktivitas rumah sakit pun bisa menurun karena tidak ada cadangan biaya yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki.
”Kenaikan iuran harus segera dilakukan. Jika ada dana talangan dari pemerintah, segera diberikan. Jangan lama-lama dibahasnya,” kata Kuntjoro.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menuturkan, mekanisme SCF hanya bisa menutupi masalah pembayaran BPJS Kesehatan untuk sementara waktu. Akar masalah keterlambatan pembayaran karena iuran premi yang diterima tidak bisa menutupi klaim yang diajukan rumah sakit.
Berdasarkan hitungan sementara, lanjutnya, utang BPJS Kesehatan ke rumah sakit per 30 Juni 2019 sebesar Rp 9,3 triliun. Jumlah itu belum termasuk denda 1 persen yang harus dibayarkan, yakni Rp 93 miliar.
Persoalan lainnya adalah potensi defisit yang terus meningkat sekitar Rp 1,5 triliun per bulan atau sekitar Rp 28 triliun terhitung pada akhir 2019.
”Realisasi kenaikan iuran premi harus dilakukan, jangan hanya rencana dan pembahasan. Kenaikan iuran juga diusulkan agar diberlakukan untuk semua segmen peserta. Setidaknya untuk kelas III diusulkan Rp 30.000 dan kelas II sebesar Rp 55.000. Kenaikan ini sesuai dengan asas gotong royong,” tuturnya.
Kenaikan iuran premi
Dikonfirmasi terpisah, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasioal (DJSN) Tubagus Achmad Choesni mengatakan, usulan terkait kenaikan iuran premi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sudah diusulkan ke pemerintah.
”Untuk besaran (kenaikan iuran) belum bisa disampaikan kepada pers. Kami baru usulkan ke pemerintah. Nanti ada waktunya,” ucap Tubagus.
Anggota DJSN dari unsur ahli, Zaenal Abidin, berpendapat, kenaikan iuran yang akan dilakukan tidak bisa menyelesaikan masalah defisit BPJS Kesehatan yang terjadi secara akumulasi. Dari simulasi yang dilakukan DJSN, kenaikan iuran yang diberlakukan saat ini baru akan berdampak pada hilangnya defisit di tahun depan.
”Solusinya harus dilakukan secara menyeluruh. Pemerintah perlu menutupi seluruh defisit yang ada saat ini dengan transfusi dana agar kondisi keuangan BPJS Kesehatan bisa stabil. Di lain sisi, kenaikan premi iuran juga dilakukan dengan jumlah yang sesuai,” ujarnya.