Alarm Demokratisasi
Indeks Demokrasi Indonesia 2018 naik tipis dibandingkan tahun 2017. Namun, turunnya dua dari tiga aspek yang diukur dalam indeks itu bisa dimaknai sebagai sebuah sinyal peringatan.
Kenaikan satu aspek lainnya pun dipicu oleh momentum pemilu yang mendorong terjadinya akselerasi kerja lembaga demokrasi. Dengan kata lain, proses konsolidasi demokrasi di Indonesia bisa dikatakan menghadapi tantangan yang tidak kecil.
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2018 naik 0,28 poin dibandingkan dengan IDI 2017 yang mencapai 72,11. Kenaikan signifikan dari IDI 2018 disumbang oleh aspek lembaga demokrasi yang naik 2,76 poin dari 72,49. Dalam skala 0-100, semakin tinggi nilai, makin baik pula indeks demokrasinya.
Kenaikan aspek lembaga demokrasi itu memberi kompensasi atas dua aspek lainnya yang turun, yakni aspek hak-hak politik dan aspek kebebasan sipil. Aspek hak-hak politik turun 0,84 poin dari 66,63 pada 2017. Adapun aspek kebebasan sipil turun 0,29 poin menjadi 78,46.
Kenaikan tipis yang dibarengi dengan turunnya dua aspek indeks demokrasi itu sejalan dengan tren lesunya demokrasi di dunia, seperti tecermin dari laporan Freedom House tahun 2019. Indonesia dalam laporan itu ditempatkan sebagai negara yang baru ”bebas sebagian” atau partly free dengan kecenderungan indeks demokrasi yang menurun.
Freedom House mencatat, lesunya demokrasi global antara lain dipicu penguatan pemimpin populis, yang di banyak negara berhasil memenangi pemilu. Isu populis yang kerap diusung antara lain penguatan kedaulatan nasional secara sempit, termasuk kebijakan anti-imigran, dan pemaksaan kehendak mayoritas.
Gambaran demokrasi di tataran global yang lesu itu, sekalipun tidak bisa dikaitkan langsung dengan tiga aspek yang diukur di dalam IDI 2018, setidaknya bisa jadi refleksi bagi perjalanan 20 tahun demokratisasi di Tanah Air.
Kritik membangun
Dari aspek hak-hak politik, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menggarisbawahi adanya penurunan nilai yang konsisten sejak tahun 2015. Indikator yang diukur dalam aspek hak-hak politik ini antara lain hak memilih dan dipilih, kualitas daftar pemilih tetap, persentase perempuan terpilih terhadap total anggota DPRD, demonstrasi dengan kekerasan, dan pengaduan masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan.
Pada 2018, BPS mencatat penurunan tajam pada indikator peran serta masyarakat dalam memberikan kritik terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Skor indikator kritik dari masyarakat itu turun dari 83,09 menjadi 78,19.
”Aspek-aspek hak politik menurun disebabkan kurangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan kritik dan masukan kepada pemerintah. Hal ini harus diwaspadai sehingga ke depannya perlu diberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk memberikan saran dan kritik kepada pemerintah,” kata Suhariyanto pada akhir Juli.
Dalam aspek kebebasan sipil, IDI 2018 mencatat meningkatnya friksi antarmasyarakat. Hal itu ditandai dengan memburuknya indikator ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat, yakni dari 90,26 jadi 82,35; dan ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat, yakni dari 51,47 menjadi 45,96.
Sementara itu, di aspek lembaga demokrasi, indikator yang membaik ialah kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik (parpol) peserta pemilu, yang naik dari 68,91 menjadi 80,25. Pemilu ditengarai menjadi faktor pendorong kaderisasi parpol.
Alarm demokrasi
Penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dalam Survei Nasional 20 Mei-1 Juni 2019 juga menunjukkan turunnya aspek kebebasan sipil dan hak-hak politik.
Survei menunjukkan, 38 persen responden takut terhadap perlakuan semena-mena aparat penegak hukum. Angka itu naik dibandingkan dengan survei pada tahun 2014, yang menunjukkan 24 persen responden merasa demikian. Sebanyak 43 persen responden juga takut berbicara politik, utamanya setelah kerusuhan 21-22 Mei 2019. Angka itu juga naik dibandingkan dengan rentang waktu yang sama tahun 2014, yakni 17 persen responden.
Menurut Direktur Program SMRC Sirojudin Abbas, ada kecenderungan demosi pada demokrasi, bukan promosi. Perlu segera ada tindakan untuk mengatasi kecenderungan ini sehingga hal ini tidak berkembang menjadi sinyal yang berbahaya bagi demokrasi Indonesia. ”Kita bisa terpeleset kembali ke jalur otoritarianisme,” katanya.
Kompetisi yang ketat dalam pemilu, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, di sisi lain juga membawa ekses berupa sikap yang menganggap pendapat berbeda berniat menyerang pribadi atau kelompok tertentu yang berseberangan.
”Seharusnya pendapat yang berbeda itu diperlakukan sebagai dinamika yang mendewasakan dan memperkuat fondasi kita berdemokrasi,” kata Titi Anggraini.
Tanpa upaya riil mewujudkan kebebasan sipil dan hak-hak politik warga, perjalanan demokrasi Indonesia yang telah diperjuangkan selama lebih dari 20 tahun terakhir berpotensi tergerogoti.
Penyelenggaraan Pemilu 2019 yang berjalan aman dan lancar seharusnya menjadi modal berharga bagi terus mekarnya demokrasi di Tanah Air.