Jangan Biarkan Petani Memikirkan Nasibnya Sendiri
Berbagai masalah dalam aktivitas perdagangan tidak hanya monopoli petani tembakau, tetapi juga dialami petani komoditas lain, terutama sayuran. Hal ini terjadi karena minimnya perhatian pemerintah dalam pertanian.
”Pemerintah tidak pernah melakukan perlindungan komoditas pertanian secara spesifik,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji, Sabtu (1/6/2019).
Hal ini nyata dirasakan karena petani tembakau biasanya juga menanam komoditas lain secara bergantian. Agus mengatakan, dirinya juga pernah tertipu dalam aktivitas produk hortikultura. Agus mengalami kerugian hingga puluhan juta rupiah karena pembayaran produk cabai yang dijual tidak sesuai perjanjian. Semua itu terjadi karena oknum tertentu yang memang sengaja ingin mengambil keuntungan lebih besar.
”Oknum itu seperti mafia dalam aktivitas perdagangan apa pun. Mereka tidak bisa dihindari dan akan selalu muncul di mana saja,” ujarnya. Masalah dalam tata niaga tembakau juga muncul karena perilaku industri rokok yang sering menunggu. Mereka baru membeli tembakau saat harga turun di akhir musim panen.
”Kondisi tersebut akhirnya membuat banyak petani tidak bisa menikmati harga tinggi seperti di awal atau pertengahan musim panen,” ujarnya. Terkait hal itu, Agus berharap, pemerintah memberikan perhatian lebih khusus dalam pertanian. Pemerintah tidak hanya fokus pada komoditas padi, jagung, atau kedelai.
Permasalahan yang dihadapi petani tembakau pun semakin kompleks, kata Agus, karena tembakau yang dihasilkan adalah bahan baku utama bagi rokok. Petani kini makin terpojok karena dihadapkan pada isu dan aturan terkait perlindungan terhadap masalah kesehatan.
Agus mengatakan, pihaknya sebenarnya tidak melawan isu terkait kesehatan. Namun, jika memang rokok dinilai tidak menyehatkan, seharusnya pemerintah menyiapkan alternatif pemanfaatan tembakau selain untuk rokok.
”Kami pun senang jika dalam perdagangan tembakau ada pembeli lain selain pabrik rokok. Namun, pembeli lainnya itu juga dipastikan harus mampu menyerap tembakau sebanyak seperti yang dibutuhkan oleh produksi rokok,” ujarnya.
Di Indonesia, terdapat 15 provinsi yang menjadi produsen tembakau. Volume produksi tembakau terbanyak dan areal terluas terdapat di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas areal tembakau di seluruh Indonesia, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2017, mencapai sekitar 206.000 hektar.
Meningkat
Dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan, penerimaan cukai rokok ke kas negara terus menunjukkan trend meningkat. Bahkan, pada 2018 mencapai angka Rp 153 triliun. Namun, sayangnya, kontribusi dana yang begitu besar tidak dikembalikan untuk mendukung kesejahteraan petani sebagai produsen tembakau.
Wahyu yang intens melakukan penelitian terkait tembakau dan petani sejak tahun 2011 mengatakan, penggunaan dana yang tidak mendukung kesejahteraan petani tembakau tersebut terlihat dari penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Dana itu tidak dipakai untuk mendukung ekonomi petani tembakau. Bekerja sama dengan berbagai pihak, Wahyu intens melakukan penelitian di sejumlah daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat.
Karena tembakau tidak menjadi komoditas yang dilarang, menurut ia, pemerintah pun semestinya juga memberikan perhatian pada nasib dan kesejahteraan petani tembakau. ”Tembakau masih menjadi komoditas legal untuk ditanam. Jadi, jangan sampai petani tembakau seolah-olah dimusuhi dan dibiarkan memikirkan nasibnya sendiri,” ujarnya.
Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang (UMM) Retno Rusdjijati, mengatakan, upaya beralih ke komoditas lain merupakan bentuk perlawanan petani terhadap tata niaga tembakau yang tidak menguntungkan.
Selain untuk menyelamatkan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan, upaya beralih tanam atau profesi sekaligus menunjukkan bahwa mereka pun bisa hidup tanpa tembakau. Sebagian petani di antaranya bahkan sukses dan mengaku bisa mendapatkan penghasilan lebih baik dibanding tembakau.
Keberhasilan tersebut antara lain diukir oleh sebagian petani di Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, yang menanam ubi jalar. Sebagian petani di Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung, yang kini banyak menanam kopi.
Namun, di luar mereka yang berhasil, masih ada lebih banyak petani yang ragu untuk berhenti menanam tembakau. Selain karena menganggap pertanian tembakau sudah menjadi budaya, banyak petani bimbang karena hampir semua komoditas pertanian tidak ada yang menawarkan kestabilan dan keadilan harga bagi petani.
Masih banyak petani ragu menentukan sikap dan melanjutkan hari. Mudah-mudahan ke depan, mereka pun tidak melulu dibiarkan memikirkan semua seorang diri. (REGINA RUKMORINI)