Raison de’tre pembentukan Komisi Antikorupsi pada akhir era Orde Baru adalah masifnya korupsi dan ketidakpercayaan publik kepada penegak hukum.
Embrio awal semangat antikorupsi pasca-Orde Baru diwujudkan dalam pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Semangat kebangsaan untuk perang terhadap korupsi itu dipayungi dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Semangat untuk membentuk Komisi Antikorupsi tak bisa dilepaskan dari dua figur sentral, Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada 27 Desember 2002, Presiden Megawati menandatangani UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembahasan UU KPK dimulai pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Presiden BJ Habibie berperan dalam mengegolkan lahirnya Tap MPR yang membangkitkan semangat bangsa ini melawan korupsi.
Bangsa ini patut bersyukur kepada ketiga presiden itu. Tanpa komitmen besar para presiden itu, mustahil KPK bisa lahir dan bisa bertahan sampai tahun 2019. Kita berterima kasih kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo yang masih punya komitmen mempertahankan eksistensi KPK.
Semangat awal keberadaan (raison de’tre) adalah maraknya korupsi dan tingkat kepercayaan kepada lembaga penegak hukum. Dalam posisi dan semangat itulah, KPK dibangun dan dipertahankan sampai sekarang. Publik memahami dukungan politik terhadap KPK naik dan turun. Pada posisi sekarang ini bisa dibaca menurunnya dukungan politik terhadap KPK.
Semangat kebatinan itulah yang harus ditangkap Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK. Panitia seleksi telah mengumumkan 40 nama calon pimpinan KPK. Di tangan panitia seleksilah harapan publik terhadap masa depan KPK ditambatkan. Posisi panitia seleksi penting dalam memilih calon komisioner. Panitia harus betul-betul menyeleksi orang yang memiliki integritas dan mempunyai rekam jejak pemberantasan korupsi. Orang yang ditengarai memiliki agenda tersendiri terhadap KPK tidak boleh masuk menjadi calon pimpinan.
Mengapa posisi panitia seleksi penting? Sebab, setelah melalui panitia seleksi, pertimbangan politik yang akan menjadi lebih dominan. Publik juga harus mengetahui dukungan partai politik terhadap KPK sebenarnya tidak terlalu besar. KPK hanya mengandalkan dukungan publik yang mulai kelelahan dan sebagian lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Panitia seleksi dan Presiden Jokowi juga bisa menangkap semangat kebatinan bahwa KPK bukanlah representasi dari lembaga penegak hukum. Komposisi pimpinan KPK harus disesuaikan dengan tantangan besar melawan korupsi yang kian canggih. Calon pimpinan KPK ke depan harus mampu mengonsolidasikan organisasi KPK ke depan, termasuk menata hubungan antarfungsi di dalam organisasi KPK.