Sebagai satu-satunya maskapai milik negara, para penyelenggara negara dalam Garuda Indonesia seharusnya mengutamakan negara, bukan malah memperkaya diri sendiri.
Oleh
Sharon Patricia
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menahan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Beneficial Owner Connaught International yang juga pemilik PT Mugi Reksa Abadi, Soetikno Soedarjo. Mereka ditahan dalam kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus dan Rolls-Royce kepada Garuda Indonesia.
KPK juga menetapkan tersangka baru, yaitu Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada Garuda Indonesia periode 2007-2012 Hadinoto Soedigno. Emirsyah ditahan pada Rabu (7/8/2019) untuk 20 hari pertama di rumah tahanan (rutan) C1 KPK, Jakarta. Sementara Soetikno ditahan di Rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur, Jakarta.
”Kami merasa sangat kecewa melihat praktik korupsi di perusahaan negara dengan nominal yang cukup fantastis. Ditambah lagi, kasus ini diduga berskala internasional,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.
KPK menetapkan Emirsyah dan Soetikno sebagai tersangka sejak 19 Januari 2017 atas kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus dan Rolls-Royce kepada PT Garuda Indonesia (Persero). Dalam kasus ini, Emirsyah diduga menerima suap dari Soetikno sebesar 1,2 juta euro (Rp 19,1 miliar) dan 180.000 dollar AS (Rp 2,5 miliar).
Suap tersebut berwujud uang dan barang yang tersebar di Singapura dan Indonesia. Suap diduga berkaitan dengan pengadaan mesin Roll-Royce untuk pesawat Airbus yang dipesan sepanjang Emirsyah menjabat sebagai direktur utama.
Laode mengatakan, sebagai satu-satunya maskapai milik negara, para penyelenggara negara dalam Garuda Indonesia seharusnya mengutamakan negara, bukan malah memperkaya diri sendiri. ”Kami harap tidak ada lagi penyelenggara negara di perusahaan negara yang malah merugikan negara dengan melakukan praktik-praktik korupsi,” ujarnya.
Pencucian uang
Setelah melakukan penyidikan selama kurang lebih dua tahun, KPK menemukan fakta-fakta baru yang membuat skala penanganan perkara Garuda Indonesia menjadi jauh lebih besar dari konstruksi awal. Dalam pengembangan kasus, Emirsyah dan Soetikno juga ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana pencucian uang.
Laode menyampaikan bahwa dalam menyidik pokok perkara tersebut, KPK menemukan fakta-fakta yang signifikan. KPK menemukan bahwa uang suap yang diberikan Soetikno kepada Emirsyah dan Hadinoto tidak hanya berasal dari perusahaan Rolls-Royce, tetapi juga berasal dari pihak pabrikan lain yang mendapatkan proyek dari Garuda Indonesia.
”Untuk program peremajaan pesawat, ESA (Emirsyah) melakukan beberapa kontrak pembelian dengan empat pabrikan pesawat pada 2008-2013 dengan nilai miliaran dollar AS,” ujar Laode.
Beberapa kontrak tersebut antara lain kontrak pembelian mesin Trent seri 700 dan perawatan mesin (total care program) dengan perusahaan Rolls Royce, kontrak pembelian pesawat Airbus A330 dan Airbus A320 dengan perusahaan Airbus SAS, kontrak pembelian pesawat ATR 72-600 dengan perusahaan Avions de Transport Regional (ATR), dan kontrak pembelian pesawat Bombardier CRJ 1000 dengan perusahaan Bombardier Aerospace Commercial Aircraft.
Selaku konsultan bisnis atau komersial dari Rolls-Royce, Airbus, dan ATR, Soetikno diduga telah menerima komisi dari tiga pabrikan tersebut. Selain itu, Soetikno juga diduga menerima komisi dari perusahaan Hong Kong bernama Hollingsworth Management Limited International Ltd (HMI), yang menjadi sales representative dari Bombardier.
”Pembayaran komisi tersebut diduga terkait dengan keberhasilan SS (Soetikno) dalam membantu tercapainya kontrak antara PT Garuda Indonesia (Persero) dan empat pabrikan tersebut. SS selanjutnya memberikan sebagian dari komisi tersebut kepada ESA dan HDS (Hadinoto) sebagai hadiah atas dimenangkannya kontrak oleh empat pabrikan,” ujar Laode.
Rincian pemberian Soetikno kepada Emirsyah dan Hadinoto, yaitu untuk Emirsyah, Soetikno diduga memberi Rp 5,79 miliar untuk pembayaran rumah beralamat di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ada juga 680.000 dollar AS (Rp 9,71 miliar) dan 1,02 juta euro (Rp 16,25 miliar) yang dikirim ke rekening perusahaan milik Emirsyah di Singapura serta 1,2 juta dollar Singapura (Rp 12,32 miliar) untuk pelunasan apartemen milik Emirsyah di Singapura. Jika ditotal, setara dengan Rp 38,28 miliar.
Sementara untuk Hadinoto, Soetikno diduga memberi 2,3 juta dollar AS (Rp 32,83 miliar) dan 477.000 euro (Rp 7,59 miliar). Uang tersebut dikirim ke rekening Hadinoto di Singapura atau setara dengan Rp 40,42 miliar.
Pemulihan aset
Laode menyampaikan, dalam penanganan kasus ini, selain bekerja sama dengan berbagai pihak di dalam negeri, KPK juga bekerja sama dengan beberapa institusi penegak hukum yang ada di luar negeri. Secara khusus dengan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura dan Serious Fraud Office (SFO) Inggris.
”Untuk memaksimalkan pengembalian ke negara, KPK saat ini melakukan pelacakan aset seluruh uang suap beserta turunannya yang diduga telah diterima dan digunakan oleh tersangka ESA dan tersangka HDS baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri,” kata Laode.
Sejauh ini, KPK telah menyita satu unit rumah yang beralamat di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Selain itu, otoritas penegak hukum di Singapura juga telah mengamankan satu unit apartemen milik Emirsyah dan melakukan pemblokiran atas beberapa rekening bank di Singapura.
”KPK mengucapkan terima kasih kepada otoritas penegak hukum di Singapura dan Inggris atas seluruh bantuan yang telah diberikan baik sejak awal penyidikan bersama maupun penyerahan alat bukti melalui jalur Mutual Legal Assistance (MLA). KPK juga mengucapkan terima kasih kepada central authoritiy MLA Kementerian Hukum dan HAM atas kerja samanya selama ini,” tutur Laode.
Dalam pengembangan kasus ini, diduga ada keterlibatan beberapa pabrikan asing yang perusahaan induknya ada di negara yang berbeda-beda. Untuk itu, KPK membuka peluang kerja sama dengan otoritas penegak hukum dari negara-negara tersebut terkait dengan penanganan perkara ini.
”Kami juga berharap dukungan dan bantuan dari pemerintah, khususnya Kementerian BUMN untuk perbaikan tata kelola BUMN. Serta bantuan Kementerian Luar Negeri untuk diplomasi dan kerja sama internasional dalam penyelesaian kasus-kasus multiyuridiksi,” kata Laode.