KPU akan segera menetapkan raihan kursi dan calon anggota legislatif terpilih sebagai tindak lanjut putusan MK atas perkara perselisihan hasil pemilu legislatif. Putusan MK sudah bersifat final dan mengikat.
JAKARTA, KOMPAS —Setelah Mahkamah Konstitusi memutus sengketa perselisihan hasil pemilihan umum legislatif, Komisi Pemilihan Umum segera memerintahkan jajarannya untuk menetapkan raihan kursi sekaligus menetapkan calon anggota legislatif terpilih. KPU punya waktu maksimal tiga hari sejak putusan Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan raihan kursi dan caleg terpilih.
Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (6/8/2019), diagendakan membacakan 67 putusan perselisihan hasil pemilu (PHPU) pada Pemilu Legislatif 2019. Dari 67 perkara itu, hingga pukul 17.20, sebanyak 54 perkara selesai dibacakan. Dari jumlah itu, hanya tiga perkara yang dikabulkan. Sisanya, yakni 8 perkara ditarik kembali, 15 perkara dinyatakan gugur, 18 perkara dinyatakan tak dapat diterima, dan 10 perkara diputuskan ditolak.
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Ilham Saputra, mengatakan, banyaknya perkara yang tidak diterima atau ditolak MK mengindikasikan KPU di daerah telah optimal menyelenggarakan pemilu. Dalil-dalil yang dikemukakan pemohon, antara lain penggelembungan suara, kecurangan petugas, dan ketidaknetralan petugas, dinyatakan tidak terbukti oleh MK.
Sebagai tindak lanjut atas putusan MK itu, KPU menginstruksikan KPU di daerah agar segera menetapkan raihan kursi ataupun calon terpilih. Sesuai Undang-Undang Pemilu, daerah yang tak lagi terdapat sengketa hasil pemilu atau telah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap dalam waktu tiga hari harus menetapkan raihan kursi dan calon terpilih.
”Apa pun putusan MK harus kami laksanakan karena sifatnya final dan mengikat. Nanti akan segera kami sampaikan kepada KPU daerah untuk ditindaklanjuti,” katanya.
Berdasarkan data KPU, KPU baru menetapkan hasil pemilu di 21 dari 34 provinsi. Penetapan hasil pada 13 provinsi lainnya masih harus menunggu putusan MK tuntas dibacakan pada 6-9 Agustus 2019. Menurut Ilham, penetapan caleg terpilih di sebagian provinsi sudah dilakukan setelah ada putusan dismissal (penghentian) di MK pada 22 Juli 2019.
”Hari ini (Selasa) pun, ketika sudah diputuskan, kami akan memerintahkan KPU daerah untuk segera menetapkan, terutama untuk provinsi yang telah selesai dibacakan, seperti Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Riau, karena perkara yang ditangani tidak ada yang dikabulkan,” tutur Ilham.
Penetapan hasil pemilu itu juga disesuaikan dengan akhir masa jabatan (AMJ) setiap anggota legislatif di kabupaten/kota yang beperkara. AMJ setiap daerah berbeda sehingga penetapan hasil pemilu harus dipercepat untuk daerah yang waktu AMJ anggota legislatifnya telah mepet. Namun, hal ini tetap dilakukan dalam kerangka waktu yang ditentukan UU Pemilu.
Tidak sesuai
Dalam putusan MK kemarin, sebagian besar perkara dinyatakan tidak dapat diterima karena hukum acara yang tidak dipenuhi. Sebagian dari perkara itu diajukan melebihi tenggat yang diatur UU Pemilu. Ada pula pemohon yang dalam persidangan pendahuluan tidak hadir, padahal sidang perdana menjadi kesempatan pemohon mengemukakan permohonannya di hadapan mahkamah.
”Untuk pemohon yang tak menghadiri sidang pendahuluan tanpa alasan yang sah,
dapatlah dimaknai pemohon tak sungguh-sungguh dan tak berkenan melanjutkan permohonannya. Maka untuk permohonan yang demikian, patut dianggap gugur,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam putusannya.
Selain itu, sebagian besar permohonan yang tidak dapat diterima MK disebabkan oleh dalil-dalil hukum yang tidak berkesesuaian dengan permintaan pemohon. Ada pula permohonan yang satu dengan lainnya bertentangan. Dalam persoalan yang demikian itu, MK menyatakan permohonan tidak jelas atau kabur.
MK juga menyatakan tidak dapat menerima perkara yang tidak menyoal Surat Keputusan (SK) KPU RI Nomor 987 Tahun 2019 tentang Penetapan Hasil Pemilu. Sebagian pemohon justru menyoal SK KPU provinsi atau kota/kabupaten yang bukan merupakan obyek sengketa sebagaimana diatur oleh Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Cara Beracara dalam PHPU Legislatif. MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan semacam itu karena bukan kewenangan MK. Selain itu, MK juga menyatakan tidak dapat menerima perkara yang tidak menyoal selisih hasil suara.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, salah satu masalah dalam permohonan sengketa hasil pemilu ialah minimnya pemahaman pemohon soal hukum acara di MK. Kondisi itu membuat banyak permohonan yang keliru obyek permohonannya atau bahkan disampaikan melewati tenggat. Padahal, ketentuan-ketentuan itu sifatnya prosedural, bukan substansi permohonan. (REK)