Label Impian Nuryatin
Keluarga Nuryatin sudah turun-temurun menjadi pembuat kue kering khas Bima. Resep-resep kue didapatkan dari ibu dan neneknya.
Keluarga Nuryatin sudah turun-temurun menjadi pembuat kue kering khas Bima. Resep-resep kue didapatkan dari ibu dan neneknya.
Awalnya, produksi kue kering Nuryatin tidak terlalu banyak. Omzetnya juga hanya sekitar Rp 500.000 per hari. Sejak empat tahun lalu, usahanya berkembang pesat karena mendapat tambahan modal.
”Saat ini omzet saya sekitar Rp 3 juta per hari,” kata Nuryatin yang ditemui di rumahnya di Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Rabu (31/7/2019).
Jadi, misalnya ada anggota kelompok yang tidak dapat membayar cicilan utangnya, beban itu akan ditanggung oleh anggota kelompok lainnya. Dengan cara seperti ini, tingkat gagal bayar menjadi kecil.
Nuryatin mendapatkan pembiayaan dari Bank BTPN Syariah. Bank ini memberikan pembiayaan hanya untuk ibu-ibu dari keluarga prasejahtera produktif. Mereka harus membuat kelompok jika ingin mendapatkan pembiayaan yang hanya digunakan untuk keperluan produktif, bukan konsumtif.
Satu kelompok dapat terdiri dari delapan hingga 30-an orang. Anggota kelompok ini menanggung renteng pengembalian pinjaman. Jadi, misalnya ada anggota kelompok yang tidak dapat membayar cicilan utangnya, beban itu akan ditanggung oleh anggota kelompok lainnya. Dengan cara seperti ini, tingkat gagal bayar menjadi kecil.
Lima tahun lalu, Nuryatin membentuk kelompok yang terdiri atas beberapa tetangganya. Di antara mereka, ada pula karyawannya. Awalnya, kelompok ini mendapatkan pinjaman modal sebesar Rp 5 juta.
Ketika itu, karyawannya hanya dua orang dan memproduksi dua jenis kue. Setelah pinjaman tersebut selesai dibayarkan, pada periode berikutnya pinjaman bertambah menjadi Rp 8 juta. Pekerja juga bertambah menjadi delapan orang.
Saat ini, pembiayaan yang diterima oleh Nuryatin mencapai Rp 20 juta. Produksi kuenya meningkat menjadi tujuh jenis. Dengan modal yang bertambah, stok bahan baku, termasuk kayu bakar, pun cukup untuk 10 hari.
Label
Nuryatin mendistribusikan kuenya melalui beberapa distributor yang disebut kanvas. Sebutan ini merujuk pada kantong-kantong kanvas besar yang disampirkan di sisi sepeda motor yang digunakan untuk mengangkut kue-kue itu.
”Setelah maghrib, mereka datang ke sini, mengambil kue-kue ini,” ujar Syukran, anak Nuryatin.
Sebagian dari distributor itu adalah suami dari karyawan Nuryatin yang pada pagi harinya membuat kue. Syukran menjelaskan, para distributor mengambil kue dengan perhitungan satu tas kresek berisi 13 kotak mika kue yang dijual Nuryatin seharga Rp 83.000 dan dijual lagi ke warung seharga Rp 100.000.
Keesokan harinya, para distributor menyetorkan uang hasil penjualan sekaligus mengambil lagi kue produksi hari itu.
”Dengan cara seperti ini, modal cepat berputar. Kami pernah mau titip di bandara, tetapi kalau laku baru dibayar. Modalnya tidak bisa cepat berputar,” ujar Syukran.
Nuryatin dan Syukran yang menjadi manajer dalam bisnis kue ini sangat ingin memberikan label pada kuenya. ”Dengan adanya label, jadi lebih mudah dikenali dan nanti bisa saja orang langsung pesan ke saya jika ada nomor telepon di label,” ujar Nuryatin.
Nuryatin juga memiliki mimpi lain, menjadikan daerahnya sebagai sentra penjualan kue tradisional Bima.
Dia juga ingin mendapatkan label halal untuk kue produksinya. Selama ini, kue yang dijual tidak berlabel, hanya dikemas dengan kotak plastik mika saja meski bahan dan proses produksinya dijamin halal. Bisa jadi, tangan kedua yang membeli kue ini bebas melabeli kue.
Dengan label, dia juga bisa memasok kue ke minimarket. Nuryatin dan Syukran sedang mencari tahu cara mendaftarkan produk mereka untuk mendapatkan izin pangan industri rumah tangga (PIRT).
Bupati Bima Indah Damayanti Putri mengungkapkan, label hasil produksi usaha kecil menengah menjadi salah satu perhatian pemerintah daerah setempat. Menurut Dinda, sapaan Indah Damayanti, pihaknya terus mengajarkan pembuatan label produk rumahan.
Selain label, Nuryatin juga berharap pemasaran kuenya akan semakin meluas hingga ke Lombok. Penjajakan perluasan pemasaran ini sudah dimulai.
Diharapkan, menjelang akhir tahun kue khas Bima ini sudah sampai ke Lombok. Nuryatin juga memiliki mimpi lain, menjadikan daerahnya sebagai sentra penjualan kue tradisional Bima.
”Jadi, kalau ada tamu, bisa langsung ke sini untuk mendapatkan kue khas Bima,” ujarnya.
Sudah terlintas di benaknya untuk membangun kios kecil di tepi jalan raya tidak jauh dari rumahnya untuk menjual kue khas Bima ini. Dengan kerja keras, mimpi-mimpi Nuryatin tentu akan terwujud.