Berbagai perangkat dan peralatan yang kita gunakan sehari-hari memerlukan pasokan sumber daya listrik. Sehari-hari, masyarakat sudah banyak yang menggunakan penanak nasi dan lemari es yang memerlukan listrik dalam pengoperasiannya. Bekerja menggunakan komputer dan gawai juga perlu listrik. Apalagi, aplikasi di gawai kian marak sehingga listrik menjadi kebutuhan penting.
Listrik mati. Bukan hanya rumah jadi gelap. Namun komunikasi dan akses data juga bisa terganggu karena jaringan telekomunikasi membutuhkan pasokan listrik untuk beroperasi. Penjualan secara dalam jaringan juga terganggu. Pembayaran secara nontunai –yang kini semakin biasa dilakukan konsumen- terpaksa kembali ke tunai.
Memang, gerai penjualan punya generator pembangkit listrik berbahan bakar minyak, namun kapasitasnya terbatas sehingga harus memilih peralatan apa saja yang mesti diaktifkan. Termasuk, sebagian gerai memilih untuk tidak mengaktifkan mesin pembaca data sehingga transaksi menggunakan kartu debit tak bisa dilakukan.
Dari sisi usaha, produksi bisa terganggu. Sebagian pabrik sudah memiliki generator untuk menggantikan pasokan listrik dari PLN yang terputus. Namun, pasokan pengganti terbatas, sehingga produksi mesti dikurangi. Akibatnya, jam kerja karyawan juga berkurang. Sementara, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang tidak memiliki cadangan sumber daya listrik terpaksa menunda produksi.
Dalam Indeks Daya Saing Global 2018 yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia (WEF), Indonesia ada di peringkat 45 dari 140 negara. Salah satu dari 12 pilar yang dinilai dalam menentukan daya saing adalah infrastruktur. Komponen di dalam pilar infrastruktur antara lain rasio elektrifikasi atau persentase penduduk yang sudah bisa mengakses listrik dibandingkan jumlah penduduk keseluruhan. Untuk komponen ini, Indonesia yang memiliki rasio elektrifikasi 91,2 persen (pada saat penilaian dilakukan WEF) ada di peringkat 98 dari 140 negara. Adapun komponen transmisi tenaga listrik dan kehilangan dalam proses distribusi diberi nilai 9,4 dan ada di peringkat 56 dari 140 negara.
Secara keseluruhan, pilar infrastruktur Indonesia ada di peringkat 71 dari 140 negara dengan nilai 66,8. Komponen lain dalam pilar infrastruktur di antaranya indeks konektivitas jalan raya, keterhubungan bandara, dan indeks konektivitas pelabuhan. Dari keseluruhan 12 pilar, peringkat terendah bagi Indonesia adalah pilar kesehatan, yakni peringkat 95 dari 140 negara. Adapun peringkat untuk pilar infrastruktur merupakan terendah ketiga, yakni setelah kesehatan dan pasar ketenagakerjaan (82 dari 140).
Kelistrikan tak hanya jadi ukuran penilaian dalam daya saing. Saat merumuskan dan menilai kemudahan berbisnis suatu negara, Bank Dunia menempatkan akses terhadap listrik sebagai salah satu dari 10 hal yang dinilai. Kemudahan berbisnis di Indonesia pada 2018 ada di peringkat 73 dari 190 negara dengan nilai 67,96.
Khusus untuk akses terhadap listrik, Indonesia dinilai cukup baik, yakni peringkat 33 dari 190 negara. Peringkat untuk akses terhadap listrik ini paling tinggi dibandingkan 9 hal lain yang dinilai.
Jika dirinci, nilai untuk mengakses listrik di Indonesia sebesar 86,38. Data yang dirilis Bank Dunia menyebutkan, perlu waktu 34 hari untuk bisa mengakses listrik di Indonesia. Adapun biaya untuk memperoleh akses listrik ini sebesar 252,8 persen terhadap pendapatan per kapita.
Pasokan dan distribusi listrik dari pembangkit ke konsumen mesti terjaga. Sebab, berbagai hal dan kebutuhan masyarakat tak bisa lepas dari ketersediaan listrik.
Dalam lingkup investasi, jangan sampai kondisi listrik yang mati menyurutkan minat investor, baik investor domestik maupun asing, untuk berinvestasi dan berusaha di Indonesia. Jangan sampai juga kondisi kelistrikan menjadi faktor penghambat kegiatan usaha masyarakat.
Listrik yang mati selama berjam-jam pada Minggu (4/8/2019) mesti ditelusuri penyebabnya. Jika sudah ditemukan penyebabnya, buat prosesur yang lebih baik agar kejadian serupa tak terulang lagi. Jangan sampai mati listrik lagi. Jangan sampai niat berusaha surut. (Dewi Indriastuti)