Nurlaelatul Aqifah, Sang "Ratu Sampah" dari Pantura
Daur ulang barang bekas sudah menjadi jalan hidup Nurlaelatul Aqifah (46). Saking cintanya pada sampah, seluruh dekorasi pernikahan anaknya pun berbahan sampah plastik. Dengan sampah, ia mendorong warga berdaya, sekaligus menjaga keasrian kampung kawasan pantai utara Tegal.
Kristi Dwi Utami
Rumah Nur, begitu sapaan karib Nurlaelatul di Kelurahan Kraton, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, Kamis (25/7/2019), kembali ramai. Rumahnya sederhana, tetapi perabotnya unik. Di teras rumah, kursi dan mejanya terbuat dari ecobrick, botol plastik yang diisi sampah plastik. Di depan rumahnya juga ada tanaman yang ditanam di botol bekas berbahan plastik.
Pagi itu, ia menerima sekitar 50 orang tamu dari Kabupaten Blora yang menempuh perjalanan hingga enam jam untuk belajar cara pengolahan sampah padanya. Nur secara suka cita menyisihkan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa dibayar. Ia hanya ingin menumbuhkan kesadaran orang-orang untuk mengurangi sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA).
"Mengolah sampah itu memang tidak mudah. Perlu komitmen dan konsistensi supaya pengolahan sampah bisa berkelanjutan," kata Nur, kepada para tamunya.
Sebelum menggeluti bidang sampah, Nur bekerja sebagai penjahit. Pada 2012, ia sudah mulai memanfaatkan kain-kain perca. Sampai suatu ketika, permukiman rumahnya di Kelurahan Kraton dilanda banjir. Salah satunya akibat selokan tersumbat sampah. Karena prihatin, Nur bertekad mengolah sampah di sekitarnya agar tidak terjadi lagi banjir di kemudian hari.
Ia pun fokus pada pengolahan sampah plastik pada 2014. "Tahun 2014 saya dan beberapa tetangga membentuk kelompok usaha bersama pengolahan sampah plastik. Kelompok ini kemudian bubar karena tidak semua orang tahan bergelut di bidang sampah," tuturnya sembari tersenyum.
Nur belajar membuat produk dari sampah plastik secara otodidak. Seiring waktu, ia mampu membuat beragam produk berbahan sampah plastik bernilai ekonomi.
Bubarnya kelompok usaha yang dirintis Nur tak lantas membuatnya patah arang. Ia tetap berproduksi dan menjual produk-produk daur ulangnya. Produk-produk yang dibuat seperti tas berbahan plastik kresek, sepatu dari plastik kresek, topi, tempat telepon seluler, tas kecil, dan tempat pensil. Selain itu ada pula bingkai foto dari koran, tempat tisu, tempat minum air kemasan gelas, hingga gaun dari sampah. Tak cuma dalam negeri, produk Nur pernah dijual sampai ke Malaysia.
"Tahun 2014 saya dan beberapa tetangga membentuk kelompok usaha bersama pengolahan sampah plastik. Kelompok ini kemudian bubar karena tidak semua orang tahan bergelut di bidang sampah," tuturnya sembari tersenyum.
Bank sampah
Sekitar 2016, Dinas Lingkungan Hidup Kota Tegal mengimbau masyarakat membuat bank sampah di daerah masing-masing. Kabar itu disambut penuh antusias oleh Nur. Dia pun merintis bank sampah yang diberi nama Mawar Biru. Akronim dari Mangan Wareg Bisa Turu, dalam bahasa Indonesia, Makan Kenyang Tidur Nyenyak.
Namun, upaya Nur merintis Mawar Biru tak mulus. Awal merintis bank sampah, tak jarang pandangan miring ia dapatkan. Bahkan, pernah ada tetangganya yang dengan sengaja membuang sampah tanpa dipilah untuk membuat Nur kesal. "Saya tetap sabar. Saya pilah sampah tetangga saya itu di depannya. Sambil saya beri pengertian kalau sampah yang dia buang lebih baik dipilah sebelum dibuang. Yang laku bisa dijual ke pemulung dan yang tidak laku bisa diberikan ke saya," ucap Nur.
Selain itu, awalnya tidak banyak yang betah menjadi anggota bank sampah karena sering merugi. Nur dan para anggota sering mengeluarkan uang pribadi untuk menambahi pembayaran sampah kepada warga maupun memberikan suguhan makanan dan minuman saat kegiatan sosialisasi.
Mawar Biru pada awalnya hanya menerima sedekah sampah dari warga sekitar lalu menjualnya ke pengepul. Lambat laun mereka merasa, hasil penjualan tak seberapa dibandingkan tenaga dan waktu untuk memilah sampah.
"Saya lalu berpikir untuk membuat bank sampah bisa berproduksi dan mengolah sampah menjadi bernilai guna dan ekonomi,” kata ibu empat anak itu. Ia pun pelan-pelan mengajari seluruh angota bank sampah cara mendaur ulang sampah menjadi barang yang laku dijual. Dengan telaten, ia berbagi ilmu dengan para anggota bank sampah Mawar Biru.
Namun, stok sampah yang disetorkan ke Bank Sampah Mawar Biru semakin sedikit. Hal tersebut lantaran warga lebih memilih menjual sampah ke pemulung. "Supaya tidak bersaing dengan pemulung, sampah yang kami terima adalah sampah yang tidak laku dijual ke pemulung seperti bungkus plastik kresek, plastik bungkus makanan, hingga bungkus minuman saset,” ujar lulusan SMK tersebut.
Nur sadar, kampanye daur sampah mulai dari rumah butuh keterlibatan banyak orang. Untuk itu, ia pun membentuk jejaring. Pada 2017, dia membentuk komunitas peduli sampah yang diberi nama Runtah Tegal Laka-laka atau Rutela. Dalam bahasa Tegal, "runtah" berarti sampah.
Melalui Rutela, orang-orang yang memiliki “jalan hidup” sama mengolah sampah diberi wadah untuk berkonsolidasi. Anggota Rutela juga memiliki kesempatan memperluas jaringan pemasarannya dengan cara mengikuti pameran produk dan mendapatkan sumbangan bahan baku produksi.
Hingga saat ini, Rutela memiliki sekitar 21 anggota dengan konsentrasi pengolahan sampah yang berbeda. Ada yang fokus mengolah sampah koran, sampah paralon, sampah kardus, sampah plastik, dan beberapa jenis sampah lain.
Keluarga Nur sangat mendukung kecintaan Nur pada dunia daur ulang sampah. Anaknya sudah biasa melihat separuh rumah mereka dipenuhi sampah. Hal itu karena sejak awal, Nur memberikan edukasi kepada keluarganya terlebih dahulu tentang arti penting mengolah sampah. Kini, anak-anaknya mulai mengikuti jejak Nur mengolah sampah. Ada juga yang pernah diajak memberikan sosialisasi sadar sampah ke luar kota.
Bahkan, pada 2018 lalu Nur membuat konsep pernikahan unik bagi anaknya. Seluruh dekorasi pernikahan mulai dari pelaminan, gaun pengantin, hingga cendera mata pernikahan semuanya menggunakan bahan dari sampah plastik.
Lebih dari pemberdayaan, konservasi lingkungan, dan peningkatan ekonomi, mengolah sampah, membuat Nur merasa menjadi manusia berarti. Ia bersyukur, langkah kecilnya bermakna, setidaknya bagi warga sekitar. Ia pun berharap, virus mengolah sampah bisa menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air.
Nurlaelatul Aqifah
Lahir: Tegal, 8 Desember 1974
Suami: Surguntoro (51)
Anak: Adibatul Latifah (23); Kharisatul F (21); Faiz AR (17); Umar AB (8)
Pendidikan: SMKK Negeri Tegal
Prestasi:
- Pengelola Lingkungan Hidup Teladan Melalui Daur Ulang Sampah dari Pemerintah Kota Tegal (2017)
- Pemenang Utama Lomba Kreativitas dan Inovasi Masyarakat Tingkat Provinsi Jawa Tengah (2018)
- Masyarakat Peduli Lingkungan Kota Tegal dari Wali Kota Tegal (2018)
- Penghargaan Kalpataru sebagai Perintis, Pengabdi, dan Penyelamat Lingkungan Hidup Tingkat Jateng (2019)
Aktivitas: Direktur Bank Sampah Mawar Biru Kelurahan Kraton, Tegal