Pelaku usaha mengeluhkan kewajiban pemakaian sistem identifikasi otomatis atau AIS. Selain identik dengan vessel monitoring system/VMS, kewajiban menggunakan AIS untuk kapal ikan dinilai membebani pelaku usaha.
Oleh
BM LUKITA GRAHDYARINI / M CLARA WRESTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha mengeluhkan kewajiban pemakaian sistem identifikasi otomatis atau AIS. Selain identik dengan vessel monitoring system/VMS, kewajiban menggunakan AIS untuk kapal ikan juga dinilai membebani pelaku usaha.
Ketua II Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus menyatakan, kewajiban memakai AIS telah disosialisasikan kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan. Sebanyak 163 kapal rawai (longline) tuna anggota ATLI diwajibkan menggunakan alat itu mulai 20 Agustus 2019.
Ketentuan penggunaan AIS oleh Kementerian Perhubungan itu juga dinilai tumpang-tindih dengan ketentuan pemakaian VMS oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. ”Kami diwajibkan memakai kedua alat, AIS dan VMS, yang fungsinya hampir sama. Apabila salah satu alat tak dipasang, kapal tidak bisa beroperasi,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (8/6/2019).
Alat AIS berfungsi menunjukkan posisi kapal dan menghindari tabrakan antarkapal. Fungsi itu identik dengan VMS yang selama ini sudah digunakan kapal perikanan untuk memonitor pergerakan kapal. Di sisi lain, penggunaan AIS disyaratkan oleh regulasi internasional, termasuk untuk kapal rawai tuna yang memiliki jangkauan hingga ke laut lepas dan terikat aturan internasional.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Hendra Sugandhi menambahkan, pihaknya berharap pelaku usaha perikanan tidak dibebani lagi biaya AIS yang fungsinya sama dengan VMS. Biaya air time VMS Rp 6 juta per tahun dan peralatan VMS sekitar Rp 12 juta-Rp 13 juta. ”Seharusnya salah satu saja yang dipilih,” katanya.
Keselamatan
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Agus Suherman menyatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Sejauh ini, pemanfaatan AIS masih dalam pengembangan. Biaya AIS berkisar Rp 4,5 juta per unit.
Penggunaan AIS tidak menghilangkan pemakaian VMS karena fungsi dan kegunaannya berbeda. ”AIS berfungsi menjamin keselamatan pelayaran, kapal yang satu dengan yang lain dapat memonitor situasi lalu lintas pelayaran terdekat, dan juga terpantau oleh otoritas pelayaran. Sementara VMS berfungsi memantau pergerakan kapal-kapal perikanan untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,” kata Agus.
AIS menjamin keselamatan pelayaran dan terpantau oleh otoritas pelayaran, sedangkan VMS berfungsi memantau pergerakan kapal.
Penggunaan VMS mengacu kode etik perikanan bertanggung jawab dari Organisasi Pangan dan Pertanian untuk mendorong manajemen sumber daya perikanan berkelanjutan dan terintegrasi dengan laporan hasil tangkapan ikan. Pemakaian VMS diwajibkan untuk kapal ikan berukuran di atas 30 GT.
Sementara itu, AIS merupakan sistem dalam pelayaran yang digunakan untuk perangkat keselamatan kapal berdasarkan ketentuan yang diterbitkan Organisasi Maritim Internasional (IMO) bagi kapal berukuran di atas ukuran 300 GT.