Jika negosiasi (dagang) antara Amerika Serikat dan China tidak dilanjutkan dengan cepat, perkembangan terakhir saat ini kemungkinan akan menciptakan efek limpahan negatif baik di China, AS, maupun secara global khususnya di Asia.” Komentar bernada peringatan itu disampaikan Martin Petch, Wakil Presiden Sovereign Risk Group pada lembaga keuangan Moody’s Investors Service, dalam surat elektronik yang diterima Kompas, Selasa (6/8/2019).
Perkembangan terakhir yang dimaksudkan Petch tidak ada lain adalah melemahnya mata uang China, yuan, ke level terendahnya sejak tahun 2008 pada awal pekan ini. Nilai tukar yuan sempat menembus level 7 per dollar AS. Sebagai tanggapan, dengan didahului pernyataan Presiden AS Donald Trump, Departemen Keuangan AS menyebut hal itu adalah kebijakan bank sentral China. Washington pun menyebut pelemahan yuan itu sebagai manipulasi nilai tukar.
Penyebutan Washington kepada Beijing sebagai manipulator mata uang menandai peningkatan ketegangan perdagangan antara AS dan China. Situasi ini merupakan perkembangan terbaru setelah keluarnya kebijakan AS yang diumumkan Trump menjelang akhir pekan lalu. Trump memutuskan akan menetapkan tarif 10 persen atas barang-barang impor dari China senilai 300 miliar dollar AS per 1 September. Dengan kebijakan itu, bisa dikatakan hampir semua barang impor asal China ke AS senilai 600 miliar dollar AS akan dikenai tarif.
Petch mengingatkan, kemungkinan tuduhan AS pada China sebagai manipulator mata uang itu akan berkontribusi pada pengerasan posisi masing-masing. Itu berarti ada peningkatan kemungkinan Washington akan menerapkan tarif impor yang lebih tinggi dari kondisi saat ini. Di sisi lain, tindakan pembalasan lebih lanjut juga dapat diterapkan Beijing.
Mengutip analis Cowen Inc, Chris Krueger, skala perlawanan Beijing bakal mencapai level 11 sekalipun skala level yang tersedia 1-10. Perang dagang yang berlarut-larut dalam perkembangannya bisa menjadi perang mata uang. Akibatnya pun bisa lebih fatal bagi perekonomian global.
”Pada tahap ini, kami tidak mengharapkan pernyataan Departemen Keuangan AS (tentang manipulator mata uang) itu memiliki dampak material pada kebijakan valuta asing China. Namun, ekspektasi pasar akan potensi devaluasi yuan lebih lanjut dapat menyebabkan devaluasi dalam mata uang lain, terutama yang memiliki ikatan perdagangan kuat dengan China,” kata Petch.
Bank sentral China mengatakan, Selasa, bahwa keputusan Washington untuk memberi label Beijing sebagai manipulator mata uang akan sangat merusak tatanan keuangan internasional dan menyebabkan kekacauan di pasar keuangan. Keputusan AS untuk meningkatkan ketegangan lebih lanjut terkait mata uang awal pekan ini juga akan mencegah pemulihan ekonomi dan perdagangan global.
Hal itu menjadi tanggapan resmi pertama Bank Rakyat China (PBOC) terhadap tuduhan Washington. Tanggapan cepat itu ditujukan atas ”tembakan salvo” AS terbaru dalam perang perdagangan kedua pihak yang meningkat dengan cepat. Beijing pun meminta AS mengevaluasi kesalahan-kesalahan terkait dengan kebijakannya.
”China belum menggunakan dan tidak akan menggunakan nilai tukar sebagai alat untuk menangani sengketa perdagangan,” kata PBOC dalam pernyataan di situs resminya, seperti dikutip Reuters.
Memang terjadi penguatan nilai tukar yuan, Selasa kemarin, dari posisi sehari sebelumnya. Beijing pun mengumumkan rencana pemerintah menjual obligasi berdenominasi yuan di Hong Kong. Namun, ketegangan AS-China tampaknya belum akan reda.
Risiko buruk
Perang mata uang adalah salah satu hal yang paling merusak dan ditakuti dalam ekonomi internasional. Hal itu disebutkan dan dikupas James Rickard dalam bukunya yang bertajuk Currency Wars: The Making of the Next Global Crisis (2012).
Risiko perang mata uang bisa berwujud antarnegara saling mencuri peluang pertumbuhan. Sementara risiko paling buruk adalah kemungkinan terjadinya serangan secara berurutan mulai dari inflasi, resesi, aksi pembalasan, hingga kadang-kadang kekerasan yang sebenarnya.
Jika dibiarkan, perang mata uang berikutnya bisa saja menyebabkan krisis yang lebih buruk daripada krisis tahun 2008. Perang mata uang telah terjadi sebelumnya dan selalu berakhir buruk. Nilai tukar melemah, aset dibekukan, emas disita, dan kontrol modal diberlakukan.
Peneliti pada Pusat Studi China di Oxford University, George Magnus, dalam analisisnya yang dimuat Bloomberg menyatakan bahwa yuan yang lebih murah akan membantu eksportir China bersaing di AS dan pasar global. Dalam jangka pendek, hal itu menopang momentum pertumbuhan China yang rapuh.
Namun, implikasi negatifnya lebih parah. Konsumen China harus membayar lebih untuk impor. Pergeseran ekonomi yang lebih berorientasi konsumen juga terhambat. Risiko kredit serta kerentanan properti China dan perusahaan peminjam dollar AS meningkat. Pelemahan yuan bisa memicu depresiasi mata uang, terutama di negara bagian, dari rantai pasokan dan pesaing produk-produk China. Dollar AS sebagai penerima manfaat sering kali menandai goyahnya ekonomi dunia. Melorotnya yuan akan merugikan produsen dan eksportir AS saat ekonomi Amerika melemah.
(BENNY D KOESTANTO)