Retorika Swasembada Susu
Target swasembada susu segar tahun 2020 dihadapkan pada fakta melambatnya pertumbuhan produktivitas susu sapi dalam negeri hampir satu dasawarsa belakangan.
Target swasembada susu segar tahun 2020 dihadapkan pada fakta melambatnya pertumbuhan produktivitas susu sapi dalam negeri hampir satu dasawarsa belakangan. Pertumbuhan populasi sapi perah tak sepadan dengan produksi susu sapi dalam negeri.
Swasembada susu yang ditargetkan pemerintah berarti, setidaknya 90 persen kebutuhan nasional dipenuhi dari dalam negeri (Kompas, 15/12/2018). Sementara produksi susu segar di Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan fluktuatif antara tahun 2009 dan tahun 2018. Data yang dirilis oleh BPS menunjukkan rata-rata produksi susu segar di Indonesia berkisar 891.000 ton per tahun selama sembilan tahun terakhir.
Selama periode tersebut, produksi susu segar mencapai puncaknya pada 2011. Produksi susu sapi tahun 2011 mencapai angka tertinggi, berkisar 975.000 ton atau naik 7,2 persen dari produksi susu segar tahun sebelumnya.
Tingginya produksi pada 2011 selaras dengan tingginya pertumbuhan populasi sapi perah di Indonesia pada periode yang sama. Secara kuantitas, populasi sapi perah tahun 2012 adalah yang paling tinggi sepanjang 2009 hingga 2018, hampir mencapai 700.000 ekor.
Namun, selaras dengan produksi, angka pertumbuhan populasi sapi perah mencatat tertinggi pada tahun 2011, yakni mencapai hampir 23 persen. Secara keseluruhan, sepanjang tahun 2009 hingga tahun 2018, tren populasi sapi perah Indonesia cenderung tinggi. Rata-rata populasi sapi perah juga bertambah lebih kurang 5 persen per tahun dalam lima tahun terakhir.
Produksi susu segar di Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan fluktuatif antara tahun 2009 dan tahun 2018.
Gambaran tren populasi sapi perah di satu sisi dan produksi susu sapi pada sisi lain menunjukkan besarnya populasi tidak serta merta berkorelasi positif dengan produksi susu segar yang tinggi. Produksi susu segar tidaklah selaras dengan peningkatan populasi yang terjadi. Tren produksi susu segar selama sembilan tahun belakangan justru cenderung stagnan. Bahkan, tahun terakhir, saat populasi mengalami pertumbuhan sebesar 1,79 persen, produksi justru menurun sebesar 1,99 persen.
Ketidakselarasan antara pertumbuhan populasi sapi perah dan produksi susu segar ini berdampak pada produktivitas. Ketika peningkatan populasi sapi perah tidak dibarengi dengan produksi susu segar yang juga meningkat, justru stagnan atau bahkan menurun, produktivitas susu segar juga menunjukkan tren melambat.
Sepanjang tahun 2009 hingga tahun 2018, rata-rata produktivitas susu segar di Indonesia tercatat sebanyak 1,69 ton per ekor per tahun. Tahun terakhir, angka produktivitas justru berada dibawah angka rata-rata produktivitas, yaitu sebesar 1,65 ton per ekor per tahun. Mirisnya, tren produktivitas justru menurun sepanjang sembilan tahun.
Pola produksi
Data Badan Pusat Statistik mencatat ada tiga provinsi dengan populasi sapi perah dan produksi susu segar terbesar di Indonesia yakni Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Provinsi Jawa Timur, sepanjang tahun 2009 hingga tahun 2018, merupakan provinsi dengan populasi sapi perah sekaligus produksi susu segar terbanyak. Adapun Jawa Tengah menjadi provinsi terbesar kedua populasi sapi perah terbanyak, sedangkan di urutan ketiga adalah Jawa Barat.
Di Jawa Timur, tren populasi sapi perah menunjukkan pola yang konsisten dengan produksi susu segar. Tren populasi sapi perah yang menurun di Jawa Timur dalam sembilan tahun belakangan diimbangi juga dengan tren menurun produksi susu segar. Dampaknya, tren produktivitas susu segar di Jawa Timur menunjukkan kecenderungan yang terus turun sepanjang periode tersebut.
Adapun Jawa Barat, provinsi dengan populasi sapi terbesar ketiga sesudah Jawa Timur dan Jawa Tengah, selalu mencatat angka produksi susu segar lebih besar daripada Jawa Tengah sepanjang 2009-2018. Tren produktivitas susu segar di Jawa Barat juga cenderung meningkat sekalipun populasinya menunjukkan kecenderungan menurun.
Sebaliknya, Jawa Tengah yang mencatat populasi sapi perah lebih banyak ketimbang Jawa Barat justru mencatat tren produksi susu segar lebih rendah. Produktivitas sapi perah di Jawa Tengah juga menunjukkan tren yang cenderung stagnan dalam sembilan tahun belakangan.
Menabung sapi
Pola produksi yang bervariasi antardaerah, khususnya di tiga provinsi sentra susu segar dalam negeri, tidak lepas dari sejumlah faktor. Sapi perah, dalam kultur peternak di Indonesia, tak hanya berperan sebagai investasi seperti perusahaan besar.
Sapi perah juga mempunyai fungsi tabungan yang dikonversikan menjadi ”uang tunai”. Banyak peternak yang menjual sapi perah berusia produktif manakala berhadapan dengan desakan kebutuhan hidup.
Kebutuhan hidup dalam konteks tersebut lebih bersifat khusus. Umumnya, peternak bertahan memenuhi kebutuhan harian mereka dari uang setoran hasil perahan susu sapi yang mereka pelihara. Namun, Peternak akan menjual sapi perah saat mereka harus memenuhi kebutuhan tertentu yang memerlukan biaya besar. Kebutuhan yang tergolong besar itu beragam, mulai dari membayar utang, membeli kendaraan, merenovasi rumah, biaya sekolah, atau bahkan untuk ”biaya kepantasan” semisal hajatan.
Menjual sapi perah untuk menutup biaya sekolah pernah dilakukan Suwardi (46), warga Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Pada 2014, Suwardi menjual salah satu sapi perahnya untuk membiayai kuliah anak sulungnya.
”Untuk biaya masuknya saja sekitar Rp 16,5 juta. Untungnya, anak saya dapat beasiswa Rp 12 juta dari universitas. Namun, saya masih harus menutup Rp 4,5 juta kekurangan biaya masuk, ditambah lagi uang pangkal Rp 3 juta, dan membeli komputer Rp 3 juta untuk modal kuliah anak. Saya jual satu sapi, laku Rp 11 juta untuk menutup biaya itu,” tutur Wardi merinci pengeluarannya.
Budaya memperlakukan sapi perah sebagai tabungan masih berlaku hingga kini. Suwito (43), warga desa yang sama, juga menjual sapi miliknya menjelang pernikahan anaknya bulan Mei lalu. Sapi tersebut dijual untuk memenuhi semua ”biaya kepantasan” putrinya yang berlangsung selama dua hari. ”Biayanya? Kira-kira cukup kalau menjual dua sapi perah,” ujar Wito.
Kebijakan kuota
Karakteristik khas pengelolaan sapi perah oleh peternak kerap kurang dipahami secara komprehensif oleh pengambil kebijakan. Dalam kacamata pemerintah, kebijakan yang diambil tak jarang merupakan simplifikasi persoalan yang belum tentu efektif menyelesaikan persoalan mendasar yang dihadapi peternak.
Kebijakan kuota impor sapi bakalan (anak sapi) di tahun 2013 merupakan salah satu contohnya. Sepanjang tahun 2011-2013, terjadi kesamaan tren populasi dan produksi yang terjadi baik secara nasional maupun pada ketiga provinsi sentra susu segar. Pola yang sama menunjukkan populasi sapi perah dan produksi susu segar yang cenderung menurun selama kurun tersebut.
Penurunan tersebut merupakan muara dari kebijakan kuota di sisi hulu. Tahun 2011, pemerintah menetapkan kuota impor sapi sebanyak 560.000 ekor dalam satu tahun. Namun, pada 2013, jumlah sapi yang diizinkan untuk diimpor dalam satu tahun turun menjadi sebanyak 276.000 ekor sapi.
Kebijakan ini dilakukan demi melindungi komoditas dalam negeri dan upaya mencukupi kebutuhan pangan nasional dari hasil dalam negeri. Kendati, yang terjadi adalah sebaliknya. Harga daging sapi terus melonjak. Pada awal tahun 2012 tercatat harga daging sapi masih Rp 65.000 per kilogram, kemudian naik menjelang Lebaran 2012 menjadi Rp 85.000/kg dan di awal tahun 2013 kembali melonjak hingga kisaran Rp 90.000-Rp 95.000 per kilogram.
Mahalnya harga daging sapi pada akhirnya mendorong banyak peternak sapi, termasuk peternak sapi perah, ikut menjual sapi mereka. Para peternak sapi perah merasa akan lebih menguntungkan jika mereka menjual sapi mereka. Karena pada saat yang sama, harga susu rendah, sedangkan harga daging lebih mahal.
Pada tahun-tahun tersebut, marak terjadi konversi sapi yang sedikit banyak berdampak pada penurunan produksi susu segar di Indonesia. Sapi perah dikonversi menjadi daging karkas. Daging karkas adalah sapi yang dipotong kemudian dibuang bagian kaki dan kepalanya serta dibuang semua organ dalamnya.
Maka tidaklah mengejutkan jika data sensus pertanian tahun 2013 yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik menunjukkan populasi sapi dan kerbau tinggal 14,2 juta ekor, atau turun 15,3 persen dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 16,7 juta ekor.
Hasil survei BPS tersebut juga menunjukkan, dari 33 provinsi di Indonesia, penurunan populasi antara lain terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Populasi sapi dan kerbau di Jawa Timur tahun 2013 tercatat turun sekitar 24 persen dari 5,1 juta ekor di tahun 2011 menjadi 3,8 juta ekor tahun 2013. Sementara itu, di Jawa Tengah populasi sapi dan kerbau turun menjadi lebih kurang 1,7 juta ekor pada 2013.
Hasil pemeriksaan BPK semester II tahun 2012 atas program Swasembada Daging Sapi tahun 2010-2012 memperkuat kenyataan banyaknya penyembelihan sapi betina produktif, termasuk sapi perah. Penyembelihan sapi betina produktif (SBP) di Indonesia telah mencapai tingkat yang membahayakan bagi keberlangsungan pengembangan populasi sapi nasional, yaitu sebanyak 200.000 ekor per tahun.
Data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan RI juga menunjukkan data bahwa penyembelihan SBP pada 2010 telah mencapai 204.196 ekor atau 11,8 persen dari jumlah sapi yang disembelih secara nasional.
Kecenderungan arah data populasi sapi perah, produksi susu segar dan produktivitas sapi perah pada akhirnya menunjukkan bahwa keberpihakan kepada peternak tidak cukup hanya dengan mengatur kuota. Kebijakan yang lebih konkret dan berpihak kepada peternak sangat diperlukan jika pemerintah menginginkan target swasembada susu tahun depan tidak hanya sebatas retorika. (AGUSTINA PURWANTI/LITBANG KOMPAS)