Sekelas Pekerja Bergaji UMR, Rumah Milik Cuma Mimpi
Rumah dambaan tidak melulu tergambar sebagai rumah gedongan di kawasan hunian eksklusif. Ada kalanya, rumah dengan dua kamar dan halaman untuk sekadar tempat hidup tanaman kecil pun sudah jadi cita-cita.
Oleh
J Galuh Bimantara
·4 menit baca
Rumah dambaan tidak melulu tergambar sebagai rumah gedongan di kawasan hunian eksklusif. Ada kalanya, rumah dengan dua kamar dan halaman untuk sekadar tempat hidup tanaman kecil pun sudah jadi cita-cita. Namun, bagi sebagian pekerja di Jakarta dengan penghasilan pas-pasan, rumah semacam itu bahkan hanya berhenti di brosur. Sukar jadi kenyataan.
Hari Senin (29/7/2019), apel di Kantor Lurah Pisangan Timur, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur, memberikan percik harapan bagi Rendi Hadi Saputra (28). Pembina apel saat itu, salah satu atasan di kantor lurah, membagi-bagikan brosur penawaran rumah di Cibarusah, Kabupaten Bekasi, kepada petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) kelurahan, termasuk Rendi.
Mereka didorong untuk segera mengambil peluang sebelum harga rumah naik lagi, jika berminat.
Mata Rendi berbinar melihat desain rumah yang ditawarkan melalui brosur. Bangunan ukuran 21 meter persegi dan tanah 60 meter persegi. Tidak luas, yang penting masih ada sisa tanah sebagai halaman rumah.
”Wah, kebayang, itu halaman bisa buat main anak, buat nongkrong sore-sore,” tuturnya sewaktu bercerita di kontrakannya di Pisangan Timur—tetapi imajinasinya terbang ke rumah sederhana impiannya—pada Kamis (1/8/2019).
”Bisa bawa mama saya ke sana, adik juga bisa menginap,” ucap Novianti Anggraeni (26), istri Rendi, yang turut larut dalam khayalan. Namun, brosur itu sekarang telah hilang entah ke mana, seperti hilangnya semangat Rendi dan Novianti mendapatkan rumah tersebut.
Setelah berdiskusi, kedunya berakhir pada kesimpulan, membeli rumah belum rasional dengan kondisi mereka sekarang. Pekerjaan Rendi sebagai petugas PPSU saat ini merupakan satu-satunya andalan untuk membiayai kehidupan keluarga. Memang gaji Rendi terbilang lumayan dibandingkan dengan profesi lain, yakni mencapai sekitar Rp 3,9 juta.
Rumah dengan cicilan Rp 1 juta lebih sedikit setiap bulannya, selama 15 tahun, bakal mereka ambil andaikata petugas PPSU berkesempatan menjadi karyawan tetap, bukan pekerja kontrak seperti sekarang. Seandainya Rendi tidak lolos seleksi di tahun berikutnya, ia belum tentu mendapat pekerjaan lain dengan gaji minimal setara. Tidak ada jaminan untuk mampu membayar tepat waktu setiap bulan.
Jika memutuskan membeli rumah, Rendi dan Novianti harus mengatur keuangan untuk mencicil kebutuhan lain, yaitu sepeda motor. Sebab, Rendi wajib mulai bekerja pukul 05.00 dan jarak Cibarusah-Kantor Lurah Pisangan Timur lebih dari 50 kilometer. Waktu tempuh sekitar dua jam.
Belum lagi pengeluaran untuk kebutuhan lain. Buah hati mereka, bayi perempuan berusia 1 tahun 4 bulan bernama Renvika Aprilia Putri, sedang butuh popok dan susu. Dalam sebulan, biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan itu sekitar Rp 500.000. Membayar kontrakan plus listrik, Rp 800.000-an per bulan.
Rendi juga punya tanggung jawab membantu pembayaran keperluan sekolah empat adik tirinya, minimal Rp 500.000 per bulan. Seluruh pertimbangan itu membuat mereka untuk sementara mengubur impian membeli rumah sendiri.
Kenyataan saat ini masih harus diakrabi entah hingga kapan: tinggal di kontrakan yang lebih cocok disebut kamar kos, berukuran 3 meter kali 3 meter (untungnya ada kamar mandi dalam), dengan kasur tanpa dipan dan barang memadati dinding serta setiap sudut. Untuk masuk ke kontrakan yang berlokasi di lantai dua, mereka mesti melalui tangga curam.
Rendi menceritakan, anak salah seorang tetangga kontrakan pernah melompat dari tangga atas hingga terempas di dasar. Kepala si anak terluka. Ia pun dibayangi kekhawatiran setiap saat soal keselamatan Renvika di kontrakan.
Keluar kontrakan pun tidak banyak tawaran tempat yang ramah anak. Di antara permukiman padat, hanya tersedia gang-gang selebar 1,5 meter yang hanya cukup dilintasi sepeda motor. Anak-anak diintai bahaya tertabrak saat bermain.
Meski demikian, menurut pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, membeli rumah sebaiknya tidak dipaksakan jadi solusi bagi pekerja Jakarta dengan pendapatan yang tidak memadai. Rumah sewa yang layak huni, dengan lingkungan yang sehat, serta wajib berbiaya murah, direkomendasikan menjadi prioritas.
Namun, itu pun bukan tanpa masalah. ”Kalau membangun rumah sewa, pengembang tidak tertarik,” kata Yayat.
Kalau membangun rumah sewa, pengembang tidak tertarik.
Sebagai gambaran, penghuni 57 persen atau 9.094 unit rumah susun sederhana sewa milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum membayar uang sewa. Jika ditotal, nilainya diperkirakan mencapai Rp 30 miliar-Rp 35 miliar (Kompas, 3/7/2019). Itu risiko yang sangat besar bagi pengembang swasta.
Karena itu, Yayat menyarankan pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan skema subsidi untuk rumah sewa warga berpenghasilan kelas bawah. Ia mencontohkan, dana insentif yang direncanakan disematkan pada kartu prakerja sebaiknya juga dialokasikan untuk meringankan biaya sewa rumah.
Dengan adanya jaminan subsidi seperti itu, Yayat yakin pengembang bersedia membangun rumah sewa. Fasilitas bantuan sewa rumah pun sebaiknya dibatasi, misalnya diberikan maksimal lima tahun.