Tarik-Ulur Lahan Rumah Rakyat
Mencari perumahan yang terjangkau di sekitar Jakarta, bukan perkara gampang. Sebagian tanah kosong, ladang, atau sawah sudah dimiliki pengembang besar. Sementara rumah di kompleks tak terjangkau warga kebanyakan.
Mencari perumahan yang terjangkau di sekitar Jakarta, bukan perkara gampang. Sebagian tanah kosong, ladang, atau sawah sudah dimiliki pengembang besar. Sementara rumah di kompleks tak terjangkau warga kebanyakan.
Lahan di Kota Bekasi tidak memungkinkan untuk dibangun perumahan baru berbiaya murah. Dari luas wilayah 21.000 hektar, 82 persen lahan sudah dimanfaatkan untuk zona bisnis, zona perumahan, dan zona industri.
Keterbatasan lahan itu disampaikan Kepala Bidang Perencanaan Ruang Dinas Tata Ruang Kota Bekasi Dewi Astiyanti. Meski begitu, Dewi mengakui, sebagian besar lahan dimanfaatkan untuk kawasan perumahan.
"Sejauh ini, pola penggunaan lahan perumahan di Kota Bekasi lebih besar dari zona distribusi lainnya. Data kami, zona yang dimanfaatkan untuk kawasan perumahan mencapai 12.142,57 hektar (57.8 persen)," ucapnya, Rabu (31/7/2019).
Ia membenarkan bahwa penyediaan lahan untuk pembangunan rumah murah merupakan tugas pemerintah. "Kendalanya ada di penyiapan lahan yang bisa dipakai untuk rumah murah karena harga lahan di Kota Bekasi tidak ada yang murah lagi," tuturnya.
Ketersediaan lahan yang terus menyempit itu memaksa Pemerintah Kota Bekasi kembali merevisi Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Penataan Ruang Wilayah Kota Bekasi Tahun 2011-2031. Revisi dilakukan untuk menyesuaikan pembangunan delapan proyek strategis nasional yang melewati kota ini.
Proyek itu antara lain rel kereta dwiganda, kereta Lintas Raya Terpadu (LRT) Jabodebek, kereta cepat Jakarta-Bandung, tol Jakarta Cikampek Elevated, Jakarta Cikampek Elevated II Selatan, Tol Cimanggis-Cibitung, dan Tol Becakayu.
"Hal-hal itu yang akan mengubah wajah kota, infrastruktur kota, dan mengubah kaitan dengan jaringan prasarana jalan. Akhirnya, mengubah kaitan dengan utilitas yang ada juga," kata Dewi.
Ia menambahkan, pihaknya fokus menyediakan ruang terbuka hijau. Adapun untuk penyediaan kawasan perumahan, fokusnya berupa penyediaan hunian vertikal, seperti apartemen dan rumah susun sewa.
Skala kampung
Di Kota Bogor, perumahan "skala kampung" bermunculan sebagai solusi sekelompok orang yang tidak bisa mengakses pemukiman skala besar. Pemukiman kecil yang merambah kebun singkong dan sawah ini antara lain terlihat di Kelurahan Bojongkerta, Kecamatan Bogor Selatan.
Berdampingan dengan Kampung Bojong Pesantren, satu kawasan pemukiman seluas sekitar satu hektar muncul sejak enam tahun lalu. Sebagian warga Kelurahan Bojongkerta serta warga Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, yang lahannya dibebaskan untuk proyek tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) pindah ke situ. Permukiman itu dijuluki Kampung Baru.
Inisiator Kampung Baru adalah Ketua RW 04 Bojongkerta Ena Sutisna (42). Ia awalnya membeli lahan kebun dan sawah seluas 6.000 meter persegi, antara lain memanfaatkan uang yang dibayarkan untuk pembebasan lahan tol. “Saya tidak mikir rumah dulu. Yang penting jadi tanah dulu, kemudian sebagian dijual ke warga agar mereka tidak perlu sampai pindah ke mana-mana,” ucap dia.
Lokasi kampung baru dan bekas permukiman mereka yang sudah beralih rupa menjadi tol masih dalam satu kelurahan.
Awalnya, Ena membeli tanah Rp 400.000 per meter persegi. “Sekarang, yang di pinggir jalan sudah Rp 1,3 juta semeter perseginya,” ujarnya.
Saat ini, Kampung Baru dihuni 105 keluarga. Namun, kawasan itu tidak didesain sebagai permukiman yang tertata sejak awal. Akibatnya, jalan atau gang menuju rumah-rumah tidak memadai, mengandalkan kebaikan hati pemilik tanah untuk mengalokasikan sebagian lahan sebagai jalan setapak.
Pindah ke kawasan yang sudah dirancang sebagai permukiman besar, menjadi pilihan yang tidak rasional bagi mereka. Perumahan Rancamaya Golf Estate yang berjarak hanya 1,5 kilometer dari Kampung Baru, misalnya, tidak menyediakan rumah dengan harga terjangkau bagi mereka. Merambah lahan produktif lainnya pun jadi keputusan terbaik.
Di Kabupaten Tangerang, perbedaan infrastruktur jalan amat terasa antara pemukiman besar dan perumahan rakyat. Di Suvarna Sutera, Kecamatan Sindang Jaya, memanjakan pengendara mobil dan sepeda motor dengan jalan-jalan yang amat lebar, sekitar 16 meter. Rumah-rumah tertata rapi juga menyenangkan mata, terutama bagi yang terbiasa dengan pemandangan hunian padat dan membuat dada terasa sesak.
Namun, pemandangan kontras langsung terhampar ketika keluar kawasan Suvarna Sutera dan masuk Desa Wanakerta, Sindang Jaya. Jalan akses di desa ini hanya selebar 4 meter, kadang-kadang lebih sempit lagi. Pada sejumlah titik, mobil dari arah berlawanan harus bergantian lewat saking sempitnya jalan.
Memasuki permukiman di Kampung Kawaron Girang, Desa Wanakerta, keasrian menjadi suguhan. Pohon-pohon besar mudah dijumpai. Kebun dan sawah terlihat di beberapa lokasi. “Lahan itu sudah punya PT,” ucap Sapnah (47), istri Ketua RT 03 RW 03 Desa Wanakerta.
Ucapan Sapnah seakan menjadi pertanda bahwa nasib keasrian Kampung Kawaron Girang berada di tangan pengembang. Kampung itu sewaktu-waktu beralih rupa menjadi bagian dari kawasan hunian eksklusif. Entah jadi rumah elite, entah kawasan komersial.
Sapnah mengatakan, banyak rumah di Kampung Kawaron Girang yang tinggal menunggu waktu untuk dirobohkan karena tanah sudah dibeli pengembang Suvarna Sutera. “Di RT 03 sini, sepertinya sudah 50 persen tanahnya milik PT,” ujarnya.
Ia menambahkan, pengembangan Suvarna Sutera juga memicu berkurangnya lahan-lahan sawah. Akibatnya, sebagian warga tidak bisa lagi mendapatkan manfaat dari penanaman dan pemanenan padi.
Sapnah dahulu kerap dimintai tolong memanen padi pada sawah milik orang. Bayaran bukan berupa uang, melainkan jatah beras. Efeknya, keluarga Sapnah tidak perlu berbelanja beras hingga tiga bulan dalam setahun. Kini, ia tidak punya kesempatan lagi untuk merasakan manfaat sawah yang sudah berganti jadi rumah-rumah mewah.
Harga termurah satu rumah di kompleks pengembang itu Rp 800 jutaan. Harga ini tentu tak terjangkau bagi warga kebanyakan di sekitar perumahan itu.
Dalam lima tahun terakhir pembangunan pengembangan kawasan di Kabupaten Tangerang terus berlangsung. Tuntutan akan kebutuhan perumahan memunculkan terdesakan lahan. Sawah tergerus dan rumah warga tergusur. Kawasan kota baru pun terbentuk.
Pengamat kebijakan publik Adi Susila dari Universitas Islam 45 Bekasi (Unisma) mengatakan, pembangunan kawasan perumahan mengabaikan masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal itu karena masyarakat kelas bawah lebih banyak bermukim di wilayah pinggiran.
"Tetapi, di pinggiran praktis sudah dikuasai pengembang besar. Jadi, untuk kelas mengah ke bawa sepertinya sudah tidak tersisa lagi," ucap Adi, Sabtu (3/8/2019), di Bekasi.
Adi menambahkan, salah satu opsi yang bisa jadi pilihan untuk menyediakan perumahan murah bagi warga berpenghasilan rendah, adalah membangun konsep hunian vertikal, seperti rumah susun sewa atau apartemen. Namun, pembangunan itu sulit didukung dengan utilitas jaringan transportasi, karena sejak awal tidak ada perencanaan yang baik.
"Penataan tata ruang wilayah yang tidak konsisten, sehingga tidak sesuai dengan peruntukan awal. Misalnya di samping Unisma itu daerah resapan. Tetapi karena kepentingan bisnis, itu sekarang dipakai untuk pusat bisnis," ucapnya.
(PIN/RTS/IRE)