Ironi Pertumbuhan Kota-kota Baru di Pinggiran Jakarta
Kota-kota baru yang dikelola pengembang swasta terus tumbuh di pinggiran Jakarta dan terus meluas hingga ke ujung Cikarang dan Tangerang hingga ke seluruh penjuru arah mata angin. Di lahan-lahan yang dikuasai swasta itu, rumah-rumah baru terus dibangun.
JAKARTA, KOMPAS — Kota-kota baru yang dikelola pengembang swasta terus tumbuh di pinggiran Jakarta dan terus meluas hingga ke ujung Cikarang dan Tangerang hingga ke seluruh penjuru arah mata angin. Di lahan-lahan yang dikuasai swasta itu, rumah-rumah baru terus dibangun.
Namun, ironisnya, warga yang bekerja di Jakarta sendiri semakin sulit memperoleh rumah dengan jarak tempuh manusiawi ke tempatnya bekerja.
Rumah-rumah baru demi memenuhi kebutuhan pekerja Jakarta terus dibangun semakin jauh dari pusat kota Jakarta, tempat mereka mencari penghasilan.
Harga properti di DKI Jakarta melambung di atas kemampuan sebagian besar warganya. Akibatnya, pekerja Jakarta terpaksa mencari rumah di kawasan yang berjarak lebih dari 10 kilometer dari tempatnya bekerja.
Fenomena itu disebut urban sprawling atau pengembangan kawasan perkotaan secara tak terarah dari pusat kota awal. Fenomena ini menyebabkan harga perumahan terus melambung di pusat kota dan turut mengerek harga rumah hingga ke kawasan pinggiran. Sebab, kawasan pinggiran pun semakin terinvasi oleh pembangunan hunian ekslusif. Kampung dan desa menghilang.
Menurut data yang dipaparkan Executive Director Real Estate Indonesia (REI) Dhani Muttaqin, perkembangan kota-kota baru sekitar Jakarta demikian pesat.
Sekitar tahun 1990, terdata sekitar 20 township (kota baru yang dikelola pengembang) di seputaran Jabodetabek. Sekarang, jumlahnya mencapai 33 township dengan luas sekitar 50.338 hektar atau sudah hampir setara dengan luas DKI Jakarta sendiri sekitar 66.150 hektar.
Menurut Dhani, pengembang juga terpaksa semakin ke pinggir karena kenaikan harga tanah di pusat-pusat kota di Jabodetabek pun begitu tinggi. Peningkatan harga lahan di Jabodetabek mencapai 24,54 persen per tahun dengan laju kenaikan tertinggi di Depok mencapai 37,13 persen.
”Ketersediaan lahan yang semakin kecil menjadi tantangan penyediaan pemukiman dengan harga terjangkau di pusat kota. Pengembang harus terus mencari kawasan yang harga lahan masih murah, tapi punya akses ke pusat-pusat perekonomian,” ujarnya setelah diskusi CitiesTalk2 di Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Ketersediaan lahan yang semakin kecil menjadi tantangan penyediaan pemukiman dengan harga terjangkau di pusat kota. Pengembang harus terus mencari kawasan yang harga lahan masih murah, tetapi punya akses ke pusat-pusat perekonomian.
Di tengah maraknya pembangunan perumahan ini, warga menengah ke bawah semakin tersingkir hingga harus mencari rumah jauh ke kawasan pinggiran bahkan ke luar kota.
Jakarta, Cikarang, hingga perbatasan Karawang sudah tersambung oleh kota-kota baru yang dikelola pengembang itu. Di paling ujung, terdapat kota mandiri Meikarta dan Deltamas yang menggantikan desa-desa berbasis sawah dan ternak. Harga rumah di kompleks perumahan di ujung Cikarang yang terlihat ditawarkan Rp 500 juta.
Para penghuni kota-kota baru itu didominasi pendatang yang bekerja di Jakarta. Mulyadi Maulana (19), yang lahir dan tumbuh di Kampung Parung Lesang, Cikarang Pusat, mengatakan, banyak warga kampungnya pindah ke kampung lebih ke pinggir lagi saat lahannya dibeli pengembang. Mereka umumnya tak mampu membeli rumah baru yang dibangun di tempat kelahiran mereka.
”Tak mungkin kami beli rumah di sini lagi. Terlalu mahal buat kami, biasanya dibeli orang yang kerja di Jakarta,” katanya.
Padahal, dari Slipi, Jakarta Pusat, menuju kawasan itu dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam melalui jalan tol. Jarak yang tak pendek untuk perjalanan pulang-pergi ke kantor.
Perjalanan kerap diwarnai kemacetan karena banyaknya kendaraan angkutan berat, baik truk maupun trailer, menuju kawasan-kawasan industri yang tersebar di sana. Kondisi ini terjadi di sepanjang penjuru mata angin. Di bagian Utara, misalnya, terdapat Pulau Indah Kapuk.
Pengamat tata kota dari Universitas Tarumanegara mengatakan, proses pengembangan kota-kota baru oleh developer sudah dimulai sejak 1980-1984-an.
Baca juga : Kisah Para Saksi Perubahan
Saat itu, para pengembang berusaha menguasai sebanyak mungkin lahan dengan memanfaatkan kebijakan pemerintah memberikan izin penguasaan lahan untuk pengembangan permukiman, termasuk penyediaan perumahan murah untuk warga menengah ke bawah.
Pada waktu itu, kata Suryono, Badan Pertanahan Nasional mencatat data sekitar 92.000 hektar lahan dikuasai dengan izin untuk pembangunan kawasan perumbahan di Jabodetabek.
Saat ini, kota-kota yang dikelola pengembang itu bahkan sudah menjadi lebih kuat daripada pemerintah daerahnya sendiri. Konsolidasi di antara kota-kota baru itu memperkuat posisi mereka.
Tak hanya dari sisi luasannya yang sudah saling tergabung satu pengembang dan lainnya, kota-kota baru yang dikelola pengembang itu juga dikelola dengan fasilitas publik berstandar internasional.
Saat ini, kota-kota yang dikelola pengembang itu bahkan sudah menjadi lebih kuat daripada pemerintah daerahnya sendiri. Konsolidasi di antara kota-kota baru itu memperkuat posisi mereka.
Konsolidasi antarkota-kota baru yang dikelola itu terus tumbuh semakin kuat karena dapat menggerakkan ekonominya sendiri. Mereka tumbuh menjadi kota internasional, bukan hanya kota baru yang meninggalkan kota induknya sendiri.
”Seperti konsolidasi BSD, Lippo Karawaci, Gading Serpong, dan Alam Sutra yang sudah mengalahkan pemerintah daerah Kota Tangerang, Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang. Semua pusat aktivitas dan pelayanan publik di sana sudah tingkat internasional. Sekolah, rumah sakit, universitas, hingga toko-tokonya,” katanya.
Memprihatinkan
Sementara itu, kondisi perumahan di DKI Jakarta pun masih memprihatinkan. Secara nasional, kepemilikan rumah warga DKI Jakarta masih rendah dibandingkan daerah-daerah lain.
Menurut data survei sosial dan ekonomi nasional (susenas) Maret 2017, sebesar 51,77 persen keluarga di DKI Jakarta belum mempunyai rumah sendiri. Mereka umumnya masih mengontrak atau menumpang.
Baru 1,36 juta keluarga dari total jumlah keluarga 2,82 juta keluarga warga DKI Jakarta yang mempunyai rumah sendiri. Artinya, masih ada kebutuhan rumah (backlog) sebesar 1,46 juta rumah untuk warga DKI Jakarta saja.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih jauh tertinggal dalam mewujudkan program perumahan terjangkau.
Tahun ini, dari kebutuhan 1,46 juta unit, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baru bisa memfasilitasi 700 unit rumah susun milik dengan program rumah DP 0 Rupiah di Klapa Village. Unit-unit itu direncanakan diserahterimakan pada Agustus 2019 setelah seleksi yang ketat karena tingginya peminat yang mencapai 2.359 pendaftar.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi DKI Jakarta Kelik Indriyanto mengatakan, rencana ke depan untuk program Rumah DP 0 Rupiah Samawa akan ada titik-titik berikutnya yang akan dibangun. ”Mungkin ada kerja sama dengan pihak-pihak lain selain dari Sarana Jaya,” katanya.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi DKI Jakarta Kelik Indriyanto mengatakan, untuk program Rumah DP 0 Rupiah Samawa akan ada titik-titik berikutnya yang akan dibangun. ”Mungkin ada kerja sama dengan pihak lain selain Sarana Jaya,” katanya.
Menurut Rencana Tata Ruang dan Wilayah DKI Jakarta 2030 (Peraturan Daerah DKI Jakarta No 1/2012) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah DKI Jakarta 2017-2022, rencana pengadaan rumah milik dirancang melalui program pengadaan rumah susun milik melalui pendanaan uang muka 0 rupiah yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan Rp 4 juta-Rp 7 juta per bulan.
Pembangunan ditargetkan 14.000 unit oleh badan usaha milik daerah (BUMD) dan 218.214 unit melalui mekanisme KPBU dan mekanisme pasar.
Adapun rencana penyediaan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bagi masyarakat berpenghasilan Rp 4 juta ke bawah sebanyak 14.564 unit dengan rencana peningkatan sarana prasarana lengkap di 23 lokasi, dan pemeliharaan/perawatan berkala 15/377 unit rusun.
Pemborosan
Wakil Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Faela Sufa mengatakan, urban sprawling yang terjadi di Jakarta semakin meminggirkan orang menengah dan miskin dari pusat ekonomi. Dengan demikian, sektor transportasi semakin menjadi beban dengan rangkaian dampak yang panjang.
Pola ini, menurut dia, merupakan bentuk ketidakadilan bagi warga miskin. ”Artinya, mereka membutuhkan semakin banyak biaya setiap hari, menghabiskan lebih banyak energi, dan menurunkan kualitas hidup serta kesehatan,” katanya.
Pola urban sprawling atau penjalaran tak terarah yang sekarang terjadi, kata Faela, merupakan pemborosan dari sisi ekonomi, energi, hingga lingkungan. Dari sisi ekonomi, pola ini memaksa pemerintah terus membangun infrastruktur ke kota-kota baru yang terus bertambah. Jalan-jalan baru, rel, hingga beragam fasilitas publik yang tidak murah.
Sementara itu, pola hunian yang sekarang berkembang eksklusif dengan akses yang didesain untuk kendaraan bermotor dan membatasi pergerakan pejalan kaki. Akibatnya, warga di kota-kota baru itu pun akan terus terdorong menggunakan kendaraan bermotor, seperti mobil atau sepeda motor.
”Jadi, seberapa pun fasilitas dan infrastruktur transportasi yang dibangun pemerintah ke sana, kemacetan akan terus jadi ancaman karena orang akan terus menggunakan kendaraan pribadi,” katanya.
”Jadi seberapa pun fasilitas dan infrastruktur transportasi yang dibangun pemerintah ke sana, kemacetan akan terus jadi ancaman karena orang akan terus menggunakan kendaraan pribadi,” katanya.
Kendati infrastruktur transportasi publik dibangun di sana, jalan yang jauh dari kompleks perumahan menuju stasiun atau halte akan tetap mendorong warga menggunakan kendaraan pribadi.
Menurut Faela, seharusnya pemerintah merancang pembangunan kota terpusat. Salah satu contoh pengembangan pembangunan kota terpusat adalah konsep transit oriented development (TOD).
Menurut Faela, Jakarta masih sangat mungkin menerapkan kebijakan ini. Apalagi, saat ini masih banyak kawasan di pusat kota Jakarta yang densitasnya rendah.
”Di Setiabudi, misalnya, masih banyak rumah tapak satu lantai. Padahal, kalau ada kebijakan pengembangan permukiman terpusat, di sana bisa menjadi hunian susun yang bisa menampung jumlah warga berkali-kali lipat,” katanya.
Kebijakan itu harus disertai keberpihakan pada masyarakat berpenghasilan rendah sehingga hunian-hunian baru di pusat kota juga tersedia untuk warga dari berbagai kelas ekonomi.
Dengan pembangunan permukiman terpusat, warga bisa didorong untuk berjalan kaki atau bersepeda menuju tempat kerja karena jarak rumah dan tempat kerjanya terjangkau. Hal ini juga akan memperbaiki kualitas lingkungan Jakarta. Setidaknya pencemaran udara dari sektor transportasi bisa ditekan dengan turunnya penggunaan kendaraan pribadi.
(Ratih P Sudarsono/Pingkan Elita Dundu/Stefanus Ato)