Di Provinsi Ini, Demokrasi Belum Berbuah
Sekalipun terbukti bahwa indikator demokrasi berelasi terhadap capaian kualitas pembangunan manusia Indonesia, hal itu tak berlaku untuk sebagian provinsi. Jarak senjang ketertinggalan yang telanjur terbangun membuat kesejahteraan pada wilayah itu masih sebatas harapan.
Sejalan dengan dipublikasikannya Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) akhir Juli 2019, maka semakin jelas terungkap bahwa pilihan berdemokrasi di negeri ini mempunyai signifikansi yang positif. Sekalipun dalam beberapa indikator masih tampak makin memprihatinkan, secara umum dari sisi pengategorian, kualitas demokrasi berada dalam kondisi ”sedang”.
Menariknya, selama satu dasawarsa pencermatan, yakni tahun 2009-2018, terlihat tren peningkatan. Secara statistik, peningkatan skor itu memang tidak spektakuler, tetapi masih cukup signifikan perubahannya.
Setidaknya, pada paruh lima tahun terakhir, indeks mampu dipertahankan dengan skor di atas 70,0, lebih besar dari periode lima tahun sebelumnya yang mencatat indeks kurang dari 70,0.
Capaian ini terbilang membanggakan, terlebih jika kondisi demokrasi yang tergambarkan terbukti juga berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Sebelumnya, hasil kajian ini telah memetakan, semakin tinggi skor indeks demokrasi, kian tinggi pula kondisi kesejahteraan yang diwujudkan dalam besaran indeks pembangunan manusianya (Grafik 1).
Akan tetapi, capaian tersebut dapat bersifat relatif, terutama jika ukuran keberhasilan capaian dinilai dari variasi jarak yang terbentuk pada setiap indeks. Dengan menghitung skor indeks pada semua provinsi, baik skor indeks demokrasi maupun indeks pembangunan manusia, rentang jarak yang terbangun di antara provinsi terpetakan.
Dalam hal ini, semakin besar rentang jarak yang terbangun, semakin jauh perbedaan skor indeks di antara provinsi. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil jarak perbedaan yang terbangun, perbedaan skor indeks di setiap provinsi mengecil.
Artinya, sekalipun demokrasi telah terbukti menunjang kesejahteraan, jika hal itu tak terjadi secara merata dan bahkan menimbulkan jarak yang sangat senjang di antara provinsi, capaian tersebut menjadi kurang sempurna.
Pertanyaannya kini, bagaimanakah konfigurasi capaian indeks pada setiap provinsi? Seberapa jauh pula jarak senjang yang kini terbangun?
Pada indeks demokrasi, kajian BPS menunjukkan skor tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta. Capaian indeks demokrasi DKI Jakarta tahun 2018 ialah 85,09, jauh di atas rata-rata skor Indonesia (72,39).
Jaraknya semakin jauh lagi jika dibandingkan dengan skor indeks terendah yang terjadi di Provinsi Papua Barat (58,29). Skor DKI Jakarta dan Papua Barat berjarak hingga 26,79.
Dengan perbedaan tersebut, akan cukup lama bagi Papua Barat untuk mengatasi ketertinggalannya dalam skor demokrasi. Dengan memperhitungkan kecepatan rata-rata peningkatan indeks demokrasi provinsi ini selama 10 tahun terakhir, diperlukan waktu seperempat abad guna memangkas jurang perbedaan itu.
Kondisi yang juga senjang terjadi pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data BPS menunjukkan, pada 2018, skor IPM terbesar terjadi di DKI Jakarta (80,47). Sebaliknya, yang terendah di Provinsi Papua (60,06).
Artinya, di antara kedua provinsi terentang perbedaan sebesar 20,41. Berdasarkan rata-rata kecepatan pertumbuhan IPM setiap tahun di kedua provinsi, diperlukan waktu lebih dari 35 tahun bagi Papua untuk mencapai kondisi pembangunan manusia di DKI Jakarta.
Jarak senjang yang ditunjukkan pada kedua indeks menjadi problem besar bagi suatu negara. Itulah sebabnya, tidak cukup hanya ada pembuktian bahwa demokrasi berbuah kesejahteraan. Idealnya, buah demokrasi itu juga dirasakan manis pada setiap individu di semua provinsi di Indonesia.
Empat kelompok
Persoalannya kini, bagaimana memahami kondisi di setiap provinsi. Dalam kajian ini, dengan mengaitkan indeks IDI dan IPM yang terbukti berelasi positif, setidaknya terkonfigurasikan empat kelompok capaian.
Pertama, kelompok dengan skor kedua indeks sama-sama tinggi, yakni di atas nilai rata-rata indeks nasional. Dapat dikatakan, inilah kelompok provinsi dengan indeks demokrasi dan indeks kesejahteraan yang relatif lebih tinggi dari indeks nasional. Bagaikan di lahan subur, bibit demokrasi tumbuh baik, diikuti peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Hasil pencermatan menunjukkan, terdapat delapan provinsi dalam kelompok itu. Namun, jika ditelisik lebih jauh, hanya Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bali yang terlihat menonjol (Grafik 2).
Kedua, kelompok yang berisikan provinsi dengan perolehan setiap skor indeks berbeda kualitasnya. Ada sekumpulan provinsi dengan indeks demokrasi melebihi rata-rata nasional. Akan tetapi, skor kesejahteraan provinsi-provinsi tersebut masih berada di bawah skor nasional. Provinsi Kalimantan Barat, Maluku, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, Jawa Timur, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Barat masuk dalam kelompok ini.
Pada kelompok ini pergulatan demokrasi dan kesejahteraan masih berlangsung. Demokrasi masih berproses agar mampu meningkatkan kesejahteraan warganya. Yang pasti, di kelompok ini, buah demokrasi dan kesejahteraan masih terasa masam (Grafik 3).
Ketiga, kelompok yang mengalami kondisi sebaliknya, yakni terdapat provinsi dengan capaian indeks demokrasi di bawah skor IDI nasional. Namun, menariknya, justru pada wilayah ini kesejahteraan masyarakat relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Pada wilayah ini, tampaknya demokratisasi tidak dengan serta-merta mendorong kesejahteraan warga. Faktor-faktor lain lebih dominan menjadi penggerak kesejahteraan masyarakat ataupun kualitas individu di daerah ini.
Provinsi Sumatera Barat, misalnya, menjadi satu-satunya wilayah dengan skor indeks pembangunan manusia di atas rata-rata nasional (71,73). Akan tetapi, indeks demokrasi di provinsi ini tergolong di bawah rata-rata nasional (67,06). Jalan demokrasi sebagai pilihan peningkatan kesejahteraan relatif belum terbukti keberhasilannya di wilayah itu.
Adapun kelompok keempat justru bertolak belakang dengan kelompok pertama. Pada kelompok ini, skor kedua indeks tergolong di bawah nilai skor nasional. Artinya, baik demokrasi maupun kesejahteraan masyarakatnya kecil, di bawah angka nasional (Grafik 4).
Kebebasan sipil
Terdapat 11 provinsi yang masuk dalam kelompok tersebut. Sejauh ini, pergulatan mereka dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat masih menjadi persoalan. Di sisi lain, kebutuhan akan kebebasan sipil, hak-hak politik warga, dan berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi masih dipermasalahkan.
Dari semua pengelompokan di atas, pangkal kekhawatiran sesungguhnya terkait dengan betapa lamban perubahan yang berlangsung. Begitu pula sisi pemerataannya, masih terdapat jarak yang lebar di antara keempat kelompok tersebut. Sekalipun peningkatan kualitas kesejahteraan berlangsung, hal itu belum mampu memperkecil kesenjangan suatu wilayah terhadap wilayah lainnya.
Dalam 10 tahun perhitungan, misalnya, tetap saja DKI Jakarta dan Yogyakarta menjadi provinsi yang secara konsisten menuai manisnya buah kesejahteraan. Di sisi yang berseberangan, Provinsi Papua dan Papua Barat tetap bergulat dengan ketertinggalan. Begitu pula yang terjadi pada provinsi-provinsi lainnya, seperti Sumatera Utara, Sulawesi Barat, dan Lampung, yang tak menunjukkan lonjakan signifikan.
Persoalannya kini, apakah jalan demokrasi yang dipilih tidak lagi memiliki kuasa untuk mengatasi ketertinggalan yang terjadi? Masih serba hipotetikal memang. Namun, mencermati apa yang berlangsung selama ini, pola hubungan kausalitas antara demokrasi dan kesejahteraan terbukti tidak berjalan sendirian. Keberadaan faktor lain, khususnya hadirnya kualitas sosok pemimpin yang tidak bersifat artifisial, menjadi kunci penentu perubahan.
Kemunculan pemimpin, sekalipun terpilih secara demokratis dalam ajang pemilu, dalam berbagai kasus justru tidak bersifat demokratik. Pola-pola oligarki, patronase politik, hingga perilaku koruptif dan transaksional lebih kental mewarnai sosok pemimpin yang dilahirkan. Jika pola semacam ini masih terus terjadi, jangan berharap demokrasi menghasilkan buah. (LITBANG KOMPAS)