Malu kepada Suku Dayak
Meliput masyarakat Dayak Long Gliit membuat saya malu kepada diri sendiri. Laku Dayak Long Gliit adalah apa yang mereka tulis dan ucapkan. Sementara saya, masih sering menyimpang dari apa yang saya tulis.
Mendengar frasa ”suku Dayak” yang bermukim di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, yang terbayang adalah masyarakat yang eksotis, masih ”primitif”, tidak berpendidikan, dan tidak terliterasi. Namun, ternyata citra yang ada di kepala saya itu salah sama sekali.
Beruntung, saya mendapat kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan suku Dayak Long Gliit—dibaca Long Glaat—pada awal Mei 2019. Setelah mengenal mereka, sayalah yang justru harus belajar kepada mereka yang pantas disebut sebagai guru kehidupan.
Saya mengunjungi tempat tinggal suku Dayak Long Gliit di Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, bersama rombongan WWF Indonesia untuk meliput di kawasan jantung Borneo.
Belum pernah menginjakkan kaki di Kalimantan, saya justru ditempatkan bertugas di Balikpapan, pusat perekonomian di Kaltim. Saat undangan WWF datang, saya baru sebulan bertugas di kota itu.
Perjalanan menuju Desa Long Tuyoq cukup lama. Saya harus naik pesawat perintis sekitar satu jam dari Samarinda sebelum mendarat di Bandar Udara Datah Dawai di Kecamatan Long Pahangai.
Setelah itu, kami harus menyusuri Sungai Mahakam selama 1,5 jam dengan menumpang perahu kayu bermesin (long boat). Perahu menjadi kendaraan utama di Kabupaten Mahakam Ulu karena antardesa belum tersambung jalan dan terpisah oleh hutan.
Lebar Sungai Mahakam yang kami lewati sekitar 200 meter. Airnya kecoklatan dengan hutan di kanan-kirinya. Namun, di antaranya terlihat beberapa permukiman dengan rumah-rumah berupa rumah panggung berbahan kayu.
Sesampainya di Long Tuyoq, saya disambut Kelompok Sadar Wisata Embao’ Blaam. Mereka mengikatkan gelang manik-manik sebagai simbol terjadinya ikatan persaudaraan baru antara tamu dan masyarakat setempat. ”Supaya nanti datang lagi ke sini,” kata Kawit Tekwan, ketua kelompok sadar wisata.
Desa Long Tuyoq dihuni 133 keluarga, sebagian besar adalah suku Dayak Long Gliit. Rumah di sana mayoritas berbentuk rumah panggung dengan ketinggian beragam, antara 1 meter dan 4 meter. Rumah paling tinggi adalah rumah lamin milik keluarga kepala suku.
Rumah panggung dibuat agar mereka tidak terimbas air pasang Sungai Mahakam saat hujan lebat di hulu sungai. Sebab, permukiman hanya berjarak sekitar 100 meter dari tepi sungai. Dengan demikian, mereka tetap dekat ke sumber air, tetapi terhindar dari banjir. Meskipun tidak memiliki pengetahuan tata wilayah secara akademis, dengan kearifan setempat, mereka tetap mampu bersiasat dengan alam.
Di Sungai Tepai, anak Sungai Mahakam di Long Tuyoq, tak ada yang boleh mengambil ikan berlebihan, apalagi dengan cara diracun.
Ini berbeda dengan masyarakat perkotaan. Di Samarinda, misalnya, Perumahan Bengkuring yang dibangun di Sempaja Timur justru merupakan daerah rawa. Saat banjir Juni lalu, daerah ini kebanjiran hingga 3 meter yang menyebabkan masyarakatnya harus mengungsi.
Masyarakat Dayak juga memiliki peraturan adat yang luhur. Hidup yang bergantung pada alam membuat mereka merasa perlu memanfaatkannya dengan bijak. Di Sungai Tepai, anak Sungai Mahakam di Long Tuyoq, tidak ada yang boleh mengambil ikan berlebihan, apalagi dengan cara diracun.
Apabila ada yang melanggar, siapa pun itu akan didenda satu buah tempayan. Jika diuangkan, sekitar Rp 750.000. Uang itu akan masuk ke lembaga adat untuk keperluan adat. Sementara hasil tangkapan ikan disita lembaga adat. Peraturan adat melarang menangkap ikan berlebihan kecuali untuk kepentingan adat. Selain itu, masyarakat hanya boleh menangkap ikan sesuai dengan kebutuhan rumah tangga.
Eksotis
Laiknya suku Dayak lainnya, saya bisa menjumpai wanita bertelinga panjang dengan rajah di tangan dan kaki. Ini merupakan simbol kecantikan bagi suku Dayak. Saat ini hanya tersisa sekitar 10 orang di Long Tuyoq dan semuanya berusia di atas 60 tahun.
Hal itu karena anak-anak muda Long Gliit tidak banyak lagi yang merajah tubuh dan memanjangkan telinga karena mulai mengenal standar estetika lain lewat sekolah.
Ada pula anggota suku Dayak Long Gliit yang menjadi pegawai negeri sehingga tidak menyematkan rajah di tubuhnya. Di tengah perkembangan sosial-budaya itu, suku Dayak Long Gliit tak meromantisasi tradisi.
Setidaknya ini tecermin lewat perkataan Kepala Suku Dayak Long Gliit Blawing Belareq. Ia berpendapat bahwa tradisi mesti lentur dengan zaman. Nilai-nilai tradisi harus diresapi, tetapi tidak harus semuanya dipertahankan. Ia mencontohkan tradisi nemlaai yang masih diperingati setiap lima tahun sekali oleh suku Dayak Long Gliit, tetapi dengan cara berbeda.
Pada masa silam, nemlaai adalah perayaan kemenangan perang dengan membawa kepala musuh ke kampung oleh para kesatria. Saat ini, perayaan itu tetap dilaksanakan dengan nilai yang positif. Kemenangan diartikan sebagai kesuksesan atau capaian hidup setiap suku Dayak.
Melihat fenomena tersebut, Blawing yang hanya lulusan sekolah rakyat bersubsidi itu sadar bahwa pengarsipan penting. Perkembangan masyarakat tidak bisa ditolak, tetapi tradisi dan budaya bisa dicatat untuk menjadi pelajaran generasi selanjutnya.
”Saya sedang menulis tiga fase adat kehidupan Dayak Long Gliit, yakni adat kehidupan, adat masa tanam, dan adat kematian,” kata lelaki 76 tahun itu.
Saya tercekat. Di tengah rimba Kalimantan yang tak terjamah internet ini, pemikiran masyarakatnya jauh melampaui batasan geografis tempat mereka tinggal. Kesederhanaan pengetahuan yang mereka miliki justru menjadi kekuatan. Pendidikan formal yang rendah tidak lantas membuat wawasan mereka lemah.
Bagi suku Dayak Long Gliit, kekayaan materi bukan yang utama dalam hidup. Kedamaian hidup lebih utama. Bagi mereka, itu semua bisa dicapai jika alam, tempat mereka menggantungkan hidup, bisa dikelola dengan arif. Blawing mencatat semua itu dalam cara berladang Dayak Long Gliit.
Membuka lahan juga ada prosesi adatnya. Itu perlu dipertahankan supaya hidup tenteram dan damai, jadi tidak sembarang tebang buka lahan.
Seperti kebanyakan suku Dayak lain, masyarakat Long Gliit menggunakan sistem ladang berputar. Tanah di Kalimantan tidak sesubur tanah Jawa karena tidak memiliki gunung api aktif. Setelah lahan selesai dipakai untuk berkebun, masyarakat harus menggunakan lahan lain sambil menunggu tanah sebelumnya meremajakan diri secara alami. Begitu seterusnya hingga kembali lagi ke lahan awal.
”Membuka lahan juga ada prosesi adatnya. Itu perlu dipertahankan supaya hidup tenteram dan damai, jadi tidak sembarang tebang buka lahan,” ujar Blawing.
Nilai-nilai itu juga diterapkan oleh anak muda Long Tuyoq. Mereka mengembangkan wisata alam tanpa mengubah kondisi alam di sana. Putra keempat Blawing, Adrianus Liah Blawing, mendirikan perkumpulan arung jeram Giham. Ia juga membuat wisata olahraga ekstrem arung jeram bekerja sama dengan kelompok sadar wisata.
”Sungai Mahakam yang melintasi desa kami memiliki jeram yang panjang dalam berbagai kondisi. Ini bisa dimanfaatkan untuk wisata alam tanpa merusaknya,” kata Liah.
Saya memang hanya empat hari di Long Tuyoq, tetapi pelajaran hidup yang saya dapat sangat melekat. Mereka tidak memberikan nasihat, tetapi menunjukkan laku hidup luhur.
https://youtu.be/PZg0Zv3lIgo
Saya tumbuh di lingkungan urban Bekasi, kota yang berkembang dengan pembangunan pesat. Meski kerap menulis persoalan sampah dan polusi, saya masih membuang sampah di mana saja dan menggunakan kendaraan pribadi.
Meliput masyarakat Dayak Long Gliit membuat saya merasa menjadi masyarakat yang mundur. Saya malu. Laku Dayak Long Gliit adalah apa yang mereka tulis dan ucapkan. Semesta rimba Kalimantan membuat mereka meresapi hidup. Mereka adalah guru kehidupan.